Lompat ke isi utama
POSTER DISKUSI PERLINDUNGAN PENDIDIKAN ANAK DIFABEL

Anak-Anak Difabel Jangan Ditinggalkan, Agar Tidak Menjadi Beban Negara

Solider.id, Surakarta-Muhammad Zain, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama, menyatakan bahwa di tengah pandemi COVID-19 ada 70% anak difabel dan janganlah mereka ditinggal. Mereka yang difabel adalah anak-anak kita  (guru_red) sendiri. “Mereka harus ikut bersama dalam pendidikan di Indonesia, sebab jika ditinggal maka akan menjadi beban negara,”ungkap Muhammad Zain dalam Training of Trainer (ToT) fasilitator nasional pendidikan madrasah penyelenggara pendidikan inklusif yang didukung oleh Forum Pendidik Madrasah Inklusi, INOVASI dan Kedubes Australia.

 

Mark dari Kedubes Australia menyatakan bahwa hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan literasi. Kementerian Agama saat ini sedang mempersiapkan launching untuk bersama perpustakaan nasional  dan 770 ribu pengajar memberi penguatan dengan memberi literasi dan diberikan akses untuk bisa mendapatkan buku dan jurnal. Ia juga  memberi apresiasi terhadap guru difabel dan guru inspiratif.

 

Di Dirjen Pendidikan Islam Kemendikbud sendiri saat ini sedang ada transformasi untuk equality dan setara, yakni pendidikan untuk kesejahteraan dan ini menciptakan social oportunity untuk kemajuan bangsa. Di lain hal indeks toleransi dan gotong royong semakin baik.Lalu lahirlah Forum Pendidik Madrasah Inklusi (FPMI) yang terdiri dari para pendidik madrasah yang telah mendeklarasikan pendidik untuk madrasah inklusi 20 September 2020. Deklarasi ini disebut juga Deklarasi Serpong, yang terdiri atas dosen, pemerhati dan pendidik madrasah.

 

Sunarman dari Kantor Staf Presiden (KSP),  sebagai narasumber menyatakan bahwa program prioritas pemerintah lima tahun ke depan adalah pada pembangunan sumber daya manusia untuk Indonesia Maju. Termasuk memberikan perlindungan kepada kelompok difabel terutama memperluas akses lingkungan sosial dan pendidikan yang inklusif serta penyediaan fasilitas yang ramah pada difabel di fasilitas umum dan transportasi umum. Paradigma negara terhadap kaum difabel adalah paradigma Hak Asasi Manusia (HAM). Sunarman juga mengemukakan legal framework pendidikan di Indonesia adalah : UU no. 23 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU no.23 tahun 2014 tentang perubahan   UU nomor 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak, UU no. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi UNCRPD, UU no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Permendikbud 70 tahun 2009 pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, PP no. 70 tahun 2019 tentang perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dan PP no. 13 tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas.

 

Sunarman kembali menegaskan bahwa kunci pelaksanaan pendidikan inklusi ialah pada implementasi. Jika dikatakan bahwa 70% anak difabel bersekolah di madrasah, apakah benar mereka sudah terlayani dengan baik. Seperti yang ditanyakan oleh salah seorang peserta dari Sulawesi Selatan bahwa di sekolahnya belum ada Guru Pendamping Khusus (GPK). Lalu ada anggapan pula jika keberadaan madrasah inklusi ini kemudian seolah-olah menjadi saingan Sekolah Luar Biasa (SLB). Realitanya madrasah saat ini menjadi pilihan alternatif.[]

 

Reporter: Puji Astuti

Editor     : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.