Organisasi Difabel Keluarkan Pernyataan Sikap Dugaan Korupsi Kemensos, Ini Latar Belakangnya
Solider.id, Surakarta - Nuning Suryatiningsih dari Ohana dalam ruang Zoom, Minggu (13/12) menyatakan beberapa hal yang melatarbelakangi pernyataan sikap organisasi difabel terhadap kasus dugaan korupsi di Kemensos. Hasil survey yang dilakukannya pada saat pandemi COVID-19 mendapatkan data bahwa terapi, satu hal yang sangat dibutuhkan bagi anak difabel berat terutama cerebral palsy yang biasanya dilakukan dua kali seminggu ditiadakan. Sejak Oktober 2020 sudah ada terapi namun hanya dilakukan dengan online. Nuning juga menyoroti Jamkesus yang dihentikan layanannya karena pandemi COVID-19, kemudian diminta berhubungan langsung dengan Bapel Jamkesos.
Maulani Rotinsulu, Ketua HWDI Pusat mengemukakan bahwa satu komponen terlupakan yakni hak kesehatan reproduksi bagi orang-orang yang seharusnya diselamatkan di saat pandemi COVID-19, dengan bantuan alat kespro. Ia juga mempertanyakan anggaran-anggaran dari kementerian dan lembaga yang diminta oleh Presiden Joko Widodo dipusatkan untuk penanganan dan penanggulangan COVID-19, menurutnya anggaran kementerian dan lembaga tersebut harusnya untuk memenuhi hak dan kebutuhan difabel saat krisis di pandemi ini.
Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Sehat mencurahkan pendapatnya bahwa sebenarnya sudah lama difabel ingin keluar dari Kementerian Sosial, dan menghendaki isu difabel berada di lintas kementerian dan lembaga. Dan dengan adanya penangkapan ketiga Menteri Sosial (Menteri Sosial saat ini dan dua menteri yang pernah menjabat sebelumnya), melalui Perpres nomor 68 tahun 2020 tentang KND yang dipaksakan kesekretariatannya di Kemensos, bagaimana jika anggaran di Kemensos dan menteri saat ini ditangkap? Padahal anggarannya peruntukannya menyusun KND?
Yeni menghimbau kepada Presiden Joko Widodo, agar difabel bukan lagi di bawah kementerian sosial, karena menurutnya di kemensos menjadi sarang korupsi. Ia menyerukan agar KND nantinya kesekretariatannya bukan di kemensos. Ia juga menyoroti bagaimana difabel mental/psikososial yang membutuhkan obat-obatan, ada kasus dosis mereka dikurangi, misalnya obat Seroquel 700 mg, yang dikaver oleh BPJS hanya 400 mg, sisa 300 mg difabel tersebut harus membeli sendiri dengan kisaran harga Rp. 30.000, maka jika ia membutuhkan setiap hari, maka dalam sebulan harus merogoh kocek Rp. 900.000. Ini berakibat banyak dari mereka yang mengalami relaps/kambuh dan harus rawat inap ke rumah sakit. “Seharusnya dana COVID-19 bisa digunakan untuk mengkaver sehingga teman-teman itu tidak membeli, itu yang membuat kami marah,” serunya. Yeni juga menyoroti kebutuhan rapid test bagi difabel mental/psikososial yang tinggal di panti-panti, yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah.
Potensi dugaan korupsi yang ditimpakan kepada Kemensos mungkin bukan hanya di bansos saja melainkan juga bantuan-bantuan untuk difabel. Demikian dikatakan oleh Fajri Nursyamsi dari PSHK. “Kami ingin pemerintah mereposisi KND yang mestinya dilekatkan di luar kabinet pemerintah. Ketika KND ditempelkan secara budget ke Kemensos, maka tidak bisa jalan dengan baik, khawatir disfungsi akan besar,” tegasnya.
Korupsi di Masa Pendemi COVID-19 adalah Pelanggaran HAM Berat
Risnawati Utami, Direktur Ohana, anggota komite UNCRPD menegaskan bahwa dari hukum HAM internasional, dugaan korupsi di Kemensos adalah pelanggaran HAM berat karena dilakukan saat situasi bencana, dan hukumannya mati. Menurut Risnawati, karena korbannya adalah difabel yang seharusnya Negara hadir, dan tokoh Negara harusnya melindungi masyarakatnya. Dalam konteks hukum Humaniter, hukuman mati ditimpakan untuk pelaku korupsi di masa pandemi.
Tentang Perpres KND yang dilakukan Juditial Review (JR), ia mengharapkan Presiden Joko Widodo melakukan publik dialog lagi, dan karena merugikan bagi difabel terutama bagi difabel yang invisible. Ia mengutuk mengapa kasus korupsi ini terjadi.
Beberapa hal menjadi temuan saat bansos dibagikan kepada masyarakat, termasuk masyarakat difabel. Seperti yang dikemukakan oleh Tri Astuti dari HWDI, bahwa banyak bantuan yang sudah lewat tenggat waktu/kadaluwarsa. Tri Astuti juga mempertanyakan yang semula bansos akan diberikan hingga Desember, namun berhenti di bulan Agustus dan nilai bantuan barang bila dirupiahkan harganya hanya sebesar Rp. 220.000 bukan Rp. 300.000 seperti yang dikatakan oleh pemerintah.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief