Merumuskan Sanksi Administrasi dalam Revisi Perda Difabel DIY
Solider.id - Saat ini, Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas tengah direvisi. Salah satu isu yang dibahas dalam Perda ini, yaitu pengaturan mengenai sanksi administrasi dalam Perda. Pada 22 Oktober 2020 lalu, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar kegiatan untuk menggalang masukan publik terkait isu sanksi administrasi. Pembahasan ini tentu menjadi menarik, mengingat pembahasan sanksi administrasi dalam sistem hukum Indonesia tak sepopuler sanksi pidana seperti penjara atau kurangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Secara umum, sanksi sendiri di definisikan sebagai aturan mengenai konsekuensi atas pelanggaran norma. Sementara itu, sanksi administrasi merupakan gagasan doktrinal yang tidak di definisikan dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi, secara umum sanksi administrasi di difinisikan sebagai sanksi yang dijatuhkan oleh pembentuk peraturan tanpa campur tangan pengadilan. Mengutip van Wijk/Konijnnenbelt dalam tulisan Sri Nur Hari Susanto, sanksi administrasi dipahami sebagai alat kekuasaan yang bersifat hukum publik, yang digunakan oleh penguasa (pemerintah) sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang ditentukan dalam norma-norma hukum administrasi.
Perbedaan utama sanksi administrasi dengan sanksi pidana, yakni terletak pada adanya intervensi pengadilan dalam penerapan sanksi pidana, sementara administrasi tidak. Sehingga, penjatuhan sanksi administrasi akan dilakukan oleh badan publik seperti pemerintah.
Khusus mengenai pengaturan sanksi administrasi dalam revisi Perda difabel DIY, penulis menganggap bahwa optimalisasi sanksi administrasi dalam rangka melindungi hak-hak difabel, merupakan hal yang tepat, alih-alih memperkuat sanksi pidana. Terkait hal ini, penulis mengajukan dua alasan utama. Pertama, ini merupakan implementasi dari prinsip ultimum remedium, dimana sanksi pidana dipandang sebagai jalan terakhir, apabila sanksi administrasi telah diterapkan. Kedua, Perda difabel DIY memang sebaiknya memperkuat pengaturan sanksi administrasi, karena perlindungan hak-hak difabel melalui sanksi pidana telah cukup kuat diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Jika melihat ketentuan pidana dalam Pasal 144 dan Pasal 145 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, terlihat bahwa sanksi pidana di level undang-undang lebih dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak difabel, dari pada sanksi pidana dimuat dalam peraturan daerah. Sebabnya, masing-masing pasal diatas telah mencantumkan ketentuan pidana penjara maksimal dua tahun dan lima tahun, serta maksimal pidana denda dua ratus juta rupiah dan lima ratus juta rupiah. Sementara itu, ada batasan maksimal pencantuman sanksi pidana dalam peraturan daerah yang termuat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019. Dalam Pasal 15 huruf B UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa Peraturan Daerah provinsi dan kabupaten/kota hanya dapat memuat pidana kurungan maksimal enam bulan dan pidana denda lima puluh juta rupiah.
Lalu, pertanyaannya kemudian, apa saja jenis sanksi administrasi yang dapat dimuat dalam Perda difabel DIY?. Menurut Ridwan HR. ada empat ragam sanksi administrasi. Keempat sanksi administrasi itu adalah paksaan pemerintah, pengenaan uang paksa, penarikan keputusan yang menguntungkan, dan pengenaan denda administrasi.
Pertama, sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah (bestuursdwang). Paksaan pemerintah adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, atau memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah atau sedang terjadi, yang bertentangan dengan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pengaturan dalam Perda difabel DIY, ini bisa saja dilakukan dengan penghentian kegiatan individu atau badan hukum yang melanggar Perda.
Kedua, sanksi administrasi yang dapat dimuat adalah penarikan keputusan yang menguntungkan. Sanksi ini dilakukan dengan menerbitkan keputusan tata usaha negara yang menarik keputusan sebelumnya yang memberi keuntungan bagi pihak tertentu. Secara praktik, ini bisa berbentuk penarikan izin kepada pihak tertentu.
Ketiga, sanksi administrasi berupa pengenaan uang paksa (dwangsom). Sanksi ini dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Ini biasanya menjadi alternatif, selain sanksi paksaan pemerintah (bestuursdwang).
Keempat, sanksi administrasi berupa denda administrasi (bestuurslijke). ini berbeda dengan pengenaan uang paksa, karena pengenaan denda administrasi merupakan alat untuk menimbulkan efek jera bagi pelanggar.
Dalam Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, menurut penelusuran penulis, hanya ada sanksi teguran tertulis dan sanksi administrasi berupa pencabutan izin. Sementara dalam rancangan Perda terbaru tanggal 12 Agustus 2020, selain sanksi teguran tertulis dan sanksi administrasi berupa pencabutan izin, juga dimuat sanksi penghentian kegiatan yang merupakan bentuk paksaan pemerintah.
Dalam hal ini, sesungguhnya, masih ada ragam sanksi administrasi yang dapat ditambahkan dalam rancangan perubahan Perda difabel DIY, yang berupa denda administrasi dan pengenaan uang paksa (dwangsom) sebagai alternatif paksaan pemerintah seperti penghentian kegiatan. Sejauh ini, sanksi denda yang dimuat dalam Perda Provinsi DIY No. 4 Tahun 2012 adalah sanksi denda dalam konteks pidana, bukan administrasi. ini tentu berbeda, karena memerlukan intervensi pengadilan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perumusan sanksi dalam perubahan Perda difabel DIY, yakni seharusnya setiap ketentuan sanksi administrasi didahului dengan teguran tertulis. Teguran tertulis ini harus memuat pelanggaran yang disangkakan dan jangka waktu bagi pelanggar untuk melakukan perbaikan. Apabila teguran tertulis itu tidak diperhatikan oleh pelanggar, barulah sanksi administrasi seperti paksaan pemerintah, pengenaan uang paksa, penarikan keputusan yang menguntungkan, dan pengenaan denda administrasi dapat diterapkan.
Sesungguhnya, hal ini sudah dimuat dalam Perda difabel DIY No. 4 Tahun 2012, namun sayangnya belum konsisten. Misalnya saja Pasal 19 menyebutkan bahwa setiap pemberi pelatihan kerja bagi difabel harus memberikan sertifikat kepada difabel. jika tidak, pelanggar akan diberikan teguran tertulis sebanyak, dan apabila masih tidak memperhatikan akan dikenakan penarikan keputusan yang menguntungkan berupa pencabutan izin.
Inkonsistensi ini terlihat misalnya dalam Pasal 31 ayat (2). Disana dikatakan “perusahaan swasta yang tidak memenuhi kuota satu persen bagi difabel, dikenakan sanksi teguran tertulis dan/atau pencabutan izin”. Penggunaan kata “dan/atau” ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebabnya, teguran tertulis dan pencabutan izin memiliki konsekuensi yang berbeda.
Selain itu, perumus Perda difabel DIY juga perlu mengkualifikasikan pelanggaran yang bersifat ringan, sedang, dan berat. Hal ini karena, masing-masing tentu harus mendapatkan sanksi yang berbeda.
Sampai disini, kemudian juga kerap muncul pertanyaan mengenai apakah sanksi administrasi yang diatur dalam Perda difabel DIY juga dapat dikenakan bagi aparatur pemerintahan yang melakukan pelanggaran. Menurut hemat penulis, apabila ada aparatur pemerintahan terindikasi melakukan pelanggaran dalam tugasnya untuk memenuhi hak-hak difabel, sudah ada sanksi lain yang siap dikenakan bagi aparatur pemerintahan. Untuk mengetahui hal ini, ada dua regulasi yang dapat menjadi rujukan, yakni Undang-Undang No. 30 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam regulasi tersebut, telah diatur sanksi administrasi dan sanksi disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran tugas. Sanksi yang telah diatur meliputi sanksi ringan, sedang, hingga berat. Ini berarti, perumus perubahan Perda difabel DIY tak perlu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membicarakan sanksi bagi aparatur pemerintahan, karena telah ada regulasi lain yang telah mengaturnya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas menjadi sangat penting dalam penegakan sanksi administrasi kedepan. Sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi DIY No. 4 Tahun 2012 dan rancangan perubahannya, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas memiliki tugas untuk menerima aduan dari difabel apabila terjadi pelanggaran Perda. Dalam posisi ini, peran Komite menjadi penting untuk menyampaikan aduan tersebut kepada aparatur pemerintah yang berwenang untuk menegakkan sanksi administrasi apabila pelanggaran dilakukan oleh badan hukum atau individu.
Sementara itu, apabila ada aduan dari difabel terkait pelanggaran yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil, Komite juga memiliki peran penting untuk menyampaikan aduan tersebut kepada Inspektorat Daerah selaku pengawas internal pemerintah daerah. Agar kemudian aduan tersebut dapat disampaikan kepada atasan pejabat Pegawai Negeri Sipil untuk ditindaklanjuti.
Dengan demikian, dalam bayangan penulis, kolaborasi Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dengan aparat pemerintah yang berwenang untuk menegakan sanksi administrasi dan inspektorat daerah, menjadi sangat esensial.[]
Penulis: Tio Tegar
Editor : Ajiwan Arief