Desa Inklusi Bukan Impian, Ia Adalah Proses!
Solider.id, Makassar - Awal peradaban selalu dari desa. Mahasiswa melakukan penelitian di desa, KKN di desa, belajar dari desa untuk kemudian membawa pengetahuannya ke dalam perpustakaan universitas masing-masing yang ada di kota. Bahan makanan di kota-kota berasal dari desa. Beras, kentang, ubi, sayur, cengkeh, dan semuanya berasal dari desa. Sederhananya, kota semaju apapun selalu ketergantungan dengan desa-desa. Inilah yang memotivasi Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan (PerDIK) memutuskan untuk masuk ke desa-desa, mengobrol dengan kepala desa, berbaur dengan warga, untuk kemudiannya mengadakan pelatihan-pelatihan sekolah desa inklusi.
Kebanyakan masyarakat di desa masih kurang sekali mendapat informasi terkait difabel. Anggapan bahwa anak cacat (begini biasa orang desa menyebut difabel) adalah anak pembawa sial, dan aib dalam keluarga membuat kebanyakan difabel di desa tersisihkan. Mereka tidak mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, bahkan tidak sedikit dari mereka dikurung dan disembunyikan dari dunia luar. Ini miris sekali. Ada berapa banyak saudara difabel kita yang tersembunyi dari dunia, meringkuk tanpa pengetahuan di rumah-rumah desa? Ada berapa banyak difabel penglihatan di desa yang tidak mengenali suara Damayanti, dan tidak pernah mengetahui adanya huruf braille yang bisa mereka baca? Ada berapa banyak teman tuli di desa yang melongok saat disuguhkan bahasa isyarat? Mereka tidak tersentuh kemajuan teknologi, tidak tersentuh pengetahuan, dan hanya tinggal di rumah masing-masing karena kurangnya informasi.
PerDIK memutuskan untuk datang ke desa-desa, mencari para difabel yang terisolasi di dalam rumah-rumah, lalu mengadakan pelatihan. Dalam pelatihan desa inklusi itu, PerDIK juga melibatkan perangkat-perangkat desa. PerDIK ingin pemerintah desa menyadari hak-hak para difabel, hak pendidikan dan hak untuk hidup yang layak. PerDIK menyuapi perangkat desa pengetahuan-pengetahuan mengenai difabel, potensi difabel, dan bahwa difabel tidak selamanya bisa dianggap tidak berdaya. Ada cara-cara yang bisa digunakan untuk membuat difabel-difabel ini bisa berdaya di tengah masyarakat desa.
Selama empat hari pelatihan desa inklusi di Kambuno, kecamatan Bulukumpa, kabupaten Bulukumba itu berlangsung (04-07 September 2020), banyak sekali raut antusias dari para peserta. Perangkat-perangkat desa yang peduli dan semangat sekali ingin membuat kelompok difabel desa (KDD), peserta difabel yang baru sadar akan adanya teknologi di luar sana yang bisa membantu mereka, dan teman-teman tuli desa yang baru mengetahui keberadaan bahasa isyarat. Mereka hanya butuh pengetahuan, untuk kemudian bergerak masing-masing.
Di acara itu PerDIK menghadirkan juru bahasa isyarat, walau 90% tuli dari desa tidak mengenal bahasa isyarat. Tidak masalah, itu adalah langkah untuk mengenalkan mereka bahasa yang bisa membuat mereka bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Beberapa orang desa, walaupun sudah empat hari mengikuti pelatihan, tetap saja menggunakan istilah lama seperti cacat dan tidak normal. Ini memang pekerjaan yang memerlukan waktu panjang. Sudah puluhan tahun mereka mengenal kata cacat dan tidak normal itu, perlu pembiasaan agar mereka bisa fasih menyebut kata difabel dan atau disabilitas.
Cara untuk memanusiakan manusia ialah berkunjung kedesa-desa, dan memberdayakan difabel yang ada di sana.
Disabilitas yang dibiarkan tanpa pengetahuan, sendiri dan terabaikan dari kemajuan teknologi adalah bentuk keterbatasan yang sebenarnya. Mereka bisa bersekolah, bisa menggunakan handphone, bisa bicara walau mereka tuli sekalipun. Hanya persoalannya adalah mereka tidak mendapat pengetahuan ini. Dan sebagai orang-orang yang terus bergerak untuk menyetarakan difabel, PerDIK harus turun ke desa-desa, dan mengenalkan mereka kepada teknologi-teknologi yang sudah sebegini majjunya. PerDIK tidak ingin menjadi lembaga yang hanya bisa koar-koar masalah keadilan, sosialisasi ke pemerintahan, lalu mengikrarkan diri sebagai agen perlindungan difabel. PerDIK merasa perlu untuk menyebarkan pengetahuan ke mana-mana, dan memberikan pengetahuan ke orang-orang yang paling tertinggal sekalipun.
Desa inklusi bukan impian, ia adalah proses meruntuhkan pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan pengabaian terhadap difabel yang telah berlangsung bertahun-tahun. Pikiran berkarat dan terus-menerus membebalkan diri tanpa interupsi betapa praktik itu meminggirkan dan merentankan banyak difabel. Beginilah cara PerDIK mengolesi pikiran berkarat itu dengan pengetahuan yang bak minyak peluntur korosi. PerDIK memperkenalkan gagasan baru, praktik baik, dan siapapun bisa meniru atau mencobanya dengan cara sama tapi rasa yang berbeda.[]
Reporter: Nur Syarif Ramadhan
Editor : Ajiwan Arief