Indonesia Inklusi Bukan Hanya Mimpi, Replikasi Desa Inklusi jadi Kunci
Solider.id, - Target untuk mencapai Indonesia inklusi 2030 mendatang terus digerakkan. Berbagai gagasan dan aksi nyata dalam bentuk praktik-praktik baik, mulai dari level kehidupan masyarakat terendah yaitu di tingkat desa sudah dimulai. Masyarakat difabel yang memiliki hak setara dan kedudukan sama dengan masyarakat lainnya, terus berupaya dalam pembenahan sebagai individu sosial di setiap lingkungan, hingga mampu melahirkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Masyarakat difabel sebagian besar hidup di desa. Ragam stigma negatif dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait isu difabel, menjadi faktor pemicu adanya pengabaian hak yang terus terjadi kepada para difabel. Minimnya akses terhadap bidang pendidikan yang berkualitas, bidang kesehatan dan mata pencaharian untuk masyarakat difabel, menjadikan mereka berada terus di level garis ketidak layakan secara perekonomian atau secara finansial. Kondisi yang demikian, membuat mereka sulit untuk berperan aktif dan berpartisipasi dalam setiap perencanaan pembangunan yang dibuat oleh pihak pemerintahan baik di lingkup tempat tinggalnya maupun di lingkup yang lebih luas lagi. Kesempatan untuk menjadi perangkat desa yang sangat minim untuk masyarakat difabel, menjadikan mereka sulit berperan sebagai individu yang membutuhkan aksesibilitas sesuai kebutuhannya.
Dari ragam permasalahan tersebut, muncul praktik baik sebagai bentuk perwujudan penghormatan terhadap masyarakat difabel terkait dengan perlindungan haknya. Regulasi tersebut dapat dilihat dari lahirnya berbagai kebijakan yang terus disempurnakan, seperti: ‘Lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang di dalamnya menyangkut urusan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan perberdayaan masyarakat desa.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyangdang Disabilitas, yang melindungi hak-hak masyarakat difabel dalam setiap aspek bidang kehidupan dalam masyarakat yang heterogen.
Lahirnya Permendes Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan kedua atas peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Lahirnya Perda Disabilitas di berbagai daerah.’
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)
Selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang dirancang masyarakat dunia, mewujudkan inklusi dimulai dari perangkat stuktur pemerintahan terbawah yaitu lingkungan desa yang bermuara pada tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Ada sekitar tujuh belas target atau goals yang ingin dicapai bersama, yaitu: ‘(1) No Poverty - Tidak ada kemiskinan. (2) Zero Hunger - Tidak ada kelaparan. (3) Good Health and Well Being - Kesehatan dan kesejahteraan yang baik. (4) Quality Education - Kualitas pendidikan. (5) Gender Quality - Kesetaraan gender. (6) Clean Water and Sanitation - Kesetaraan gender. Air bersih dan sanitasi. (7) Affordable and Clean Energy - Energi yang terjangkau dan bersih. (8) Decent Work and Economic Growth - Pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi. (9) Industry, Innovation and Infrastructure - Industri, inovasi dan infrastuktur. (10) Reduced Inequalities - Mengurangi ketidaksetaraan. (11) Sustainable Cities and Communities - Kota dan komunitas yang berkelanjutan. (12) Responsible Consumption and Production - Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. (13) Climate Action - Aksi iklim. (14) Life Below Water - Kehidupan di bawah air. (15) Life on Land - Kehidupan di darat. (16) Peace, Justice and Stong Institutions - Perdamaian, keadilan dan institusi yang kuat. (17) Partnership for The Goals - Kemitraan untuk mencapai tujuan.’
Mimpi masyarakat inklusif dan desa inklusif
Secara alamiah, masyarakat yang inklusif telah terbangun dalam tatanan setiap lingkungan. Masyarakat yang heterogen mulai dari adanya perbedaan agama, warna kulit, suku bangsa, agama, status ekonomi, kondisi fisik maupun mental, dan lain sebagainya merupakan ciri kondisi yang inklusif.
Akan tetapi, tujuan utama bermasyarakat dan bersosial untuk saling menghargai dan menerima sifat yang hererogen tadi masih memerlukan tingkat pengetahuan, kesadaran, kemampuan, hingga kepekaan tersendiri. Tidak jarang, perbedaan yang tampak juga dapat menimbulkan persoalan di tengah masyarakat, sehingga muncul istilah diskriminasi.
Masyarakat yang inklusif juga akan terwujud dengan tidak membeda-bedakan dan mendiskriminasikan satu individu atau satu kelompok yang ada dalam sebuah lingkungan. Mereka juga disediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam upaya pencapaian segala bidang kehidupannya. Seperti, kesempatan untuk berpartisipasi dan kesempatan untuk menikmati pembangunan.
Mimpi masyarakat yang inklusif adalah bisa menerima perbedaan sebagai keragaman, termasuk masyarakat difabel yang merupakan bagian dari bentuk keragaman tadi. Merangkul keragaman untuk harmoni. Adanya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak agar masyarakat difabel dan yang lain dapat turut berpartisipasi. Hingga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati pembangunan.
Sementara, mimpi desa yang inklusi adalah desa yang masyarakat dan pemerintahnya menerima perbedaan sebagai keragaman, termasuk dengan keberadaan individu difabel di dalamnya. Masyarakat dan pemerintahnya saling merangkul setiap keragaman untuk menciptakan harmoni. Pemerintahnya memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pemerintahnya menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak agar masyarakat difabel dan lainnya dapat berpartisipasi. Pemerintahnya juga menjamin hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati pembangunan. Pemerintahnya memberikan masyarakat difabel kesempatan yang sama untuk bekerja layak, termasuk untuk menjadi bagian dari perangkat desa yang berkompetensi. Pemerintahnya memiliki kebijakan dan mengalokasikan anggaran yang proposional dalam bidang yang menyangkut masyarakat difabel.
Pada level desa atau kelurahan yang memiliki kepala eksekutif dengan penamaan kepala desa atau lurah, di dalamnya memiliki Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau Lembaga Permusyawaratan Masyarakat Kota (LPMK).
Faktor lain sebagai pendukungnya adalah: kelompok difabel yang ada di desa, masyarakat dan kader desa termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat, pemerintah desa dan BPD, organisasi atau lembaga desa yang memiliki ketertarikan mereplikasikan model desa inklusi, pemerintah di level kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat.
Sembilan Indikator desa inklusif difabel
- Data dan info desa serta data difabel yang komprehensif dan ter- update.
Data pilah difabel dimanfaatkan untuk pembangunan, pendataan difabel secara akurat, dan sebagai update data difabel.
Informasi program pembangunan dan kegiatan kemasyarakatan yang aksesibel bagi masyarakat difabel.
Data program dan pembangunan dapat diaplikasikan dalam bentuk peluang pekerjaan dan lowongan pekerjaan.
Data profil desa mencakup: data geografis dan tempat-tempat umum, data kependudukan yang komprehensif, data aset desa, data lokasi rawan bencana.
Data penerima jaminan sosial.
- Ada wadah bagi warga difabel yang setara dengan lembaga desa lainnya.
Dibentuknya Kelompok Difabel Desa (KKD) atau organisasi difabel desa, dengan elibalatkan semua difabel. Surat Keputusan Kepala Desa yang mengakui KKD setara dengan lembaga desa lainnya. adanya support dana untuk kegiatan KDD. Pemberdayaan KDD yang meliputi membuat usaha bersama serta pendataan potensi dan kebutuhan. Serta membangun jejaring dengan lembaga lain.
- Keterlibatan difabel dalam pengambilan kebijakan.
Mulai dari keterlibatan dalam lingkup rukun tetangga maupun rukun warga, musyawarah dusun, musyawarah desa. Keterlibatan dalam musyawarah rencana pembangunan desa (Musrembangdes). Keterlibatan dalam tim rencana kerja pemerintah desa atau RKP Desa. Kesempatan untuk menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dan kesempatan menjadi perangkat desa.
- Anggaran yang inklusif difabilitas.
Anggaran khusus, seperti: pengadaan ternak. Pelatihan keterampilan bagi difabel. pelatihan rutin untuk Kelompok Difabel Desa (KKD). Pembuatan ramp dan toilet yang akses.
Anggaran mainstream, seperti: pembangunan gedung baru yang mempertimbangkan aksesibilitas. Posyandu yang menyelenggarakan deteksi dini difabilitas. Capacity building dalam inclusive bidgeting.
- Regulasi yang mendukung.
Surat Keputusan Kepala Desa tentang KDD. Peraturan Desa tentang difabel. Memastikan difabilitas masuk dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Memastikan anggaran untuk difabilitas dalam Anggaran Pendapatan Belanja desa atau APBDesa. Memastikan keterlibatan difabel dalam penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat dimanfaatkan.
- Kesetaraan akses pada layanan umum di Desa (Aksesibilitas Layanan)
Layanan kependudukan meliputi, memastikan semua difabel memiliki akte kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan lainnya.
Layanan pendidikan meliputi, pendidikan inklusif sedini mungkin, volunteer atau guru pembimbing khusus dari desa.
Layanan kesehatan meliputi, memastikan difabel memiliki BPJS kesehatan. Sistem rujukan dan penerimaan kembali Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP). Deteksi dini difabilitas untuk balita.
Layanan sosial meliputi, memastikan difabel masuk data Basis Data Terpadu (BDT) atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Memastikan difabel mengakses Program Keluarga Harapan (PKH) dan perlindungan atau jaminan sosial lainnya.
- Keberadaan sarana fisik yang lebih aksesibel (Aksesibilitas Fisik)
Fasilitas umum yang aksesibilitas, seperti di balai desa atau balai dusun, di tempat ibadah, di tempat pendidikan semisal sekolah, dan di fasilitas kesehatan.
Menyediakan aksesibilitas, seperti ramp, toilet aksesibel, lebar pintu dan jalan masuk. Bila memungkinkan, rumah warga dibuatkan tambahan agar aksesibel.
- Adanya tanggung jawab sosial dari masyarakat (Penerimaan terhadap difabel)
Mulai dari keluarga yang tangguh terhadap pemerimaan difabilitas, menghilangkan pembatasan dan pemasungan, menghindari overproteksi, dan tidak membeda-bedakan.
Menghilangkan stigma di masyarakat dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam kegiatan mereka yang berhubungan dengan edukasi dan penyuluhan kemasyarakatan.
Menghilangkan diskriminasi dengan menghilangkan syarat sehat jasmani dan rohani dalam seleksi perangkat desa, dan adanya akomodasi yang layak dalam proses seleksi.
Partisipasi difabel dalam sosial dan budaya, seperti melibatkan difabel dalam kegiatan kelompok kesenian, perti desa, kunjungan atau piknik, kerja bakti dan kegiatan lainnya.
- Adanya ruang untuk berinovasi dan berjejaring.
Inovasi atau terobosan baru, misal: membuat peraturan desa tentang difabilitas, legalisai KDD dengan diturunkannya SK dari Kepala Desa, dibangunnya rumah antara untuk Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP).
Membuka program untuk nondifabel yang diberlakukan untuk difabel, seperti: pengelolaan E- Warung, ternak untuk difabel, angkringan untuk difabel.
Jejaring yang dibuka untuk mengadakan studi banding desa inklusi lain, membangun jaringan dengan tiap organisasi difabel, indrusri dan pihak lain. Turut berpartisipasi dalam kegiatan berbagi pengalaman dan pengetahuan sebagai praktik baik.
(Sumber dari: Seminar Desa Inklusif. Temu Inklusi online #4 yang diselenggarakan pada 9 September 2020. Pemateri: Suharto, S.S., M.A. Direktur SIGAB Indonesia)
Rekomendasi untuk replikasi: Training of Trainers - ToT desa inklusif untuk tim asistensi desa. Sekolah Dasar Inklusif untuk difabel, kader dan perangkat desa. Penyebarluasan buku pedoman fasilitas desa inklusif ke setiap desa. Regulasi yang mengintruksikan penerapan desa inklusif. Penghargaan desa inklusif.[]
Reporter: Srikandi Syamsi
Editor : Ajiwan Arief