Desa Inklusif, Mewujudkan Masyarakat yang Inklusif dari Desa
Solider.id, Yogyakarta - Dalam Pembukaan dan Seminar Nasional Temu Inklusi 2020 bertajuk Desa Inklusif: Membedah Indikator dan Regulasi, Merumuskan Strategi untuk Mereplikasi, Rabu (09/09) via daring, Suharto selaku Direktur Sigab memaparkan bahwa masyarakat inklusif adalah masyarakat yang heterogen, meliputi perbedaan agama, warna kulit, suku bangsa, agama, status ekonomi, kondisi fisik/mental dan lain-lain, tetapi dapat saling menghargai dan menerima serta tidak membeda-bedakan dan mendiskriminasikan. Sebuah desa dengan masyarakat yang inklusif menyediakan aksesibilitas fisik dan akomodasi yang layak sehingga ada kesempatan untuk berpartisipasi dan menikmati pembangunan bagi seluruh warga desa tanpa terkecuali.
“Dulu tidak ada program difabel di desa karena tidak pernah diundang berpartisipasi di desa, dengan adanya desa inklusif bertujuan untuk melibatkan difabel dalam Musdes (Musyawarah Desa) sehingga ada suara difabel kemudian ada program untuk difabel.” jelas Suharto.
Senada dengan hal tersebut, Abdi Suryaningati, atau yang lebih akrab dipanggil Yeni, team leader program Peduli dari The Asia Foundation, ketika mengantar diskusi sesi Inklusi Sosial dalam Kongres Kebudayaan Desa 2020 Juli lalu memandang bahwa masyarakat Indonesia memiliki keragaman luar biasa menyangkut apa yang disebut sebagai identitas. Perbedaan identitas tersebut bisa disebabkan karena banyak hal, diantaranya perbedaan fisik, keyakinan, aliran politik, suku, ras, orientasi seksual, difabilitas dan bahkan usia. Di satu sisi sebenarnya perbedaan identitas sering menjadi basis dari munculnya diskriminasi, stigma, pengabaian, penyingkiran dan bahkan kemunculan konflik dengan kekerasan antara yang berada di dalam identitas mayoritas dengan yang menjadi minoritas. Tapi di sisi lain, komunitas dan pemerintah tak jarang justru mampu melihat perbedaan identitas ini sebagai aset atau modal sosial yang layak dikembangkan lebih jauh untuk memperkaya pembangunan. Ketika penerimaan dan penghormatan antar identitas dilakukan, artinya relasi-relasi positif antar manusia dengan keragaman identitas tersebut dikembangkan. Modalitas dari beragam identitas tersebut dikuatkan, sehingga menghasilkan kolaborasi-kolaborasi untuk kesejahteraan bersama bagi tiap-tiap warga tanpa kecuali. Inilah yang menurut Yeni disebut sebagai masyarakat inklusif.
Berbicara tentang Desa Inklusif, difabel sebagai salah satu kelompok rentan sebagian besar tinggal di desa dengan minim akses misal aksesibilitas fisik, komunikasi dan lain-lain. Hal ini mendorong Sigab berupaya mulai membangun dari desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan bahwa dalam membangun Indonesia haruslah dimulai dari Desa. Sigab memulai program Rintisan Desa Inklusi (Rindi) sejak tahun 2015 di 2 desa di Kabupaten Sleman dan 6 desa di Kulonprogo. Salah satunya adalah Desa Sidorejo di Kulonprogo dimana Wahyu Adi Nugroho yang seorang difabel daksa menjadi kepala dusun di sana.
“Sebenarnya di desa mana pun di wilayah seluruh Indonesia, difabel rata-rata tinggalnya memang di desa.” ujar Nugroho mengamini pernyataan Suharto ketika ia bercerita tentang Desa Inklusi pada Kongres Kebudayaan Desa yang diselenggarakan Pemerintah Desa Panggungharjo Juli lalu. Kemudian untuk perlakuan masyarakat di desa kepada difabel juga beragam, ada keluarga yang masih malu mempunyai anggota keluarga yang difabel, ada juga masyarakat yang memandang bahwa menjadi difabel karena ada dosa orang tua yang mempunyai kesalahan atau kualat di masa lalu. Jadi menurut Nugroho memang diperlukan adanya proses kampanye untuk menumbuhkan empati kepada masyarakat bahwa difabel itu ada dan mempunyai kebutuhan, tapi bisa berbaur dengan masyarakat dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda yang dimiliki. Nugroho beranggapan bahwa memang harus ada penghilangan hambatan-hambatan oleh masyarakat dan lingkungannya agar difabel di desa bisa ikut dalam pembangunan di desa.
“Dengan tahu kondisi dan kebutuhan difabel, masyarakat di lingkungan kita akan tahu ketika bertemu dengan kita cara berinteraksinya dengan tuna netra, tuna rungu, cara membantunya juga akan tahu.” imbuh Nugroho.
Cerita Desa Inklusi Sidorejo Kulonprogo
“Sebelum kemarin mengenal kita (difabel), masyarakat itu ewuh atau sungkan gitu untuk berbaur dengan kita. Tapi setelah pada tahun 2015 kami mencoba bersama Sigab merintis desa inklusi dengan cara kita membuat kelompok difabel yang ada di desa, kemudian masyarakat yang ada di desa mengenal kita dan teman-teman difabel juga lebih kuat lagi karena ternyata tidak merasa sendiri dan banyak teman, dan keluarga yang menyembunyikan difabel tadi menjadi terbuka.” kenang Nugroho.
Nugroho menceritakan kenapa dulu dirinya bisa sampai menjadi dukuh di Sidorejo. Awalnya, pada tahun 2015 ketika mau mencalonkan diri di desa Nugroho terlebih dahulu mempelajari tentang UU Desa yang disahkan setahun sebelumnya, juga peraturan lainnya terkait desa, misalnya tentang administrasi desa, sistem administrasi keuangan desa, sistem pemerintahan di desa. Nugroho mempelajarinya bahkan sebelum ia merintis desa inklusi bersama Sigab. Hasilnya, Nugroho meraih skor tertinggi ketika ujian dan bisa menjadi dukuh di Padukuhan Senden.
Sebagai sebuah entitas yang diakui keberadaannya di masyarakat desa, kelompok difabel adalah komunitas yang harus dilibatkan dalam seluruh pembangunan di desa, mulai dari akses, partisipasinya, penerima manfaatnya dan juga bahkan menjadi bagian dari tatanan desa yang untuk mendorong kemajuan lebih lanjut. Hal yang paling utama dan menjadi prasyarat dalam masyarakat yang inklusif adalah proses pendataan yang juga inklusif. Karena pengabaian terhadap kelompok difabel menyebabkan difabel tidak tampak dalam data-data desa. Nugroho menemukan ternyata banyak keluarga-keluarga yang memiliki anggota keluarga difabel kemudian mereka juga terbuka, pemerintah desa juga tahu, masyarakat lingkungan juga tahu, tentang kondisi dan kebutuhannya sehingga setiap ada perencanaan pembangunan difabel diundang hingga bagaimana pelaksanaannya kalau nanti ada program untuk difabel dan juga mengevaluasi secara bersama-sama.
Untuk database yang ada di desa Sidorejo, Nugroho bersama kelompok difabel dan para dukuh yang lain sudah mendata tentang difabel yang ada di desa, baik difabel secara perseorangan maupun keluarga yang mempunyai anggota keluarga difabel. Tahun 2018 desa Sidorejo menerbitkan Perdes No. 3 tahun 2018 sehingga apapun yang dilakukan oleh desa untuk anggaran kelompok difabel baik untuk pembangunan akses publik maupun pelayanan pemberdayaan ekonomi sudah tercantum dalam database.
Untuk pelayanan yang lain seperti pendidikan dan kesehatan, karena di desa tidak ada anggaran khusus jadi sudah dimasukkan dalam BPJS, jaminan kesehatan sosial provinsi. Sedangkan di bidang pendidikan, jika ada difabel yang bersekolah didorong untuk terus bersekolah dengan plot anggaran diikutkan Dinas Pendidikan yang diampu kabupaten, provinsi dan Pusat. Untuk jaminan-jaminan sosial lainnya yang belum bisa tercover oleh anggaran dari Pusat dan Daerah, dari desa diberikan pemberdayaan-pemberdayaan ekonomi yang sifatnya masih kelompok seperti membuat warung angkringan, peternakan kambing, warung kelontong, bagi difabel yang mampu, dan juga untuk keluarganya. Jika ada difabel yang tidak mampu maka yang diberdayakan keluarganya sebagai penggerak ekonomi. Desa berinisiatif membuatkan unit usaha atau pun rintisan usaha yang bisa dekat dengan anak difabel dan mendapatkan tambahan penghasilan.
Nugroho menuturkan bahwa regulasi memang penting tapi ia menganggap UU atau peraturan lainnya seperti UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, Perda No. 12 itu hanya sebagai pelengkap dan legal formal saja karena yang dibutuhkan adalah menumbuhkan empati kepada masyarakat luas bahwa difabel itu ada, mempunyai kebutuhan khusus, sehingga kalau kebutuhan itu bisa terpenuhi, maka difabel akan bisa berbaur dengan masyarakat luar sama dengan masyarakat yang lain tanpa ada perbedaan.
Reporter: Alvi
Editor : Ajiwan Arief