Lompat ke isi utama
beberap perjalanan usaha peradilan yang fair bagi difabel

Keadilan Hukum bagi Difabel, Perkembangan dan Progresnya

Solider.id - Mungkin kita sangat jarang  mendengar kasus-kasus difabel yang berhadapan dengan hukum. Minimnya publikasi dan pengetahuan, menjadi salah satu faktor tenggelamnya kasus hukum yang dialami oleh masyarakat difabel. Padahal, masyarakat difabel rentan menjadi korban dan dianggap sebagai sasaran dalam sebuah kasus, sebab ketidak mampuan untuk membela diri secara cakap.

Di beberapa wilayah, kasus hukum yang melibatkan difabel sudah mulai diangkat dan diproses sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Wilayah yang sudah berproses melalui peradilan diantaranya: wilayah peradilan Makassar Sulawesi Selatan, Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat, Situbondo Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Pemerintah pusat baru saja mengeluarkan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disalibilitas Dalam Proses Peradilan. Butuh sekitar tiga tahun untuk melahirkan kebijakan ini, yang melibatkan peran banyak pihak yang terkait dengan lembaga-lembaga penegak hukum dan peradilan serta jaringan organisasi difabel di tanah air.

Lahirnya PP No. 39 Tahun 2020 ini, menjadi titik tonggak keberhasilan mewujudkan peradilan hukum yang fair bagi difabel. Perkembangan dalam mengimplementasikan peraturan yang telah hadir tersebut masih patut dikawal dalam tiap proses hukum di lapangan. Guna memastikan, manfaat dan efektifitas dari kekuatan  kebijkan yang baru disahkan. Dengan adanya peraturan hukum yang jadi pijakan, akan jadi satu langkah mendasar dalam pelaksanaannya. (Silahkan baca D:\PP Nomor 39 Tahun 2020.pdf)

Kita bisa pelajari bersama bagaimana masyarakat difabel yang berhadapan dengan hukum, bagaimana proses peradilan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum dari tiap kasus yang dialami. Selain itu, kita juga dapat membangun jejaring bersama dalam kerangka memberikan akses bagi difabel dan menjadi jejaring advokasi bagi kerangka hukum di Indonesia.

Faktor yang mempengaruhi tenggelamnya kasus peradilan hukum bagi difabel selama ini antara lain:

Masyarakat difabel banyak yang belum memahami tentang kasus-kasus hukum dan bagaimana berproses hukum. Rentan sebagai korban, masyarakat difabel masih belum maksimal memahami hal yang dialaminya tersebut merupakan kasus hukum atau bukan. Meskipun, mereka menyadari itu sebagai kasus hukum, langkah berikutnya yang harus mereka tempuh seperti apa.

Kondisi inilah, yang terkadang membuat beberapa kasus hukum yang dialami masyarakat difabel menguap begitu saja, tanpa adanya penanganan yang sesuai prosedur tindakan hukum.

Tidak ada data yang komprehensif tentang kasus difabel berhadapan dengan hukum, juga menjadi pemicu sulitnya keadilan hukum pada masyarakat difabel untuk lanjut diproses. Lemahnya penegakan hukum terkait kasus-kasus difabel. Masih adanya stigma, stereotipe, subordinasi dan diskriminasi terhadap difabel yang terjadi sangat masif dan terstruktur mulai dari keluarga, masyarakat, komunitas bahkan negara. Selain itu, masyarakat difabel masih dianggap sebagai subyek hukum yang tidak cakap dan tidak memiliki kapasitas hukum.

Tiga perspektif memahami kapasitas hukum masyarakat difabel.

All or Nothing: Setiap masyarakat difabel pasti tidak memiliki kapasitas hukum karena tidak cakap hukum. Pandangan masyarakat difabel yang tidak cakap hukum tadi berbasis terhadap stigma dan bukan hasil penilaian. Dari pandangan tersebut, status masyarakat difabel sebagai subyek hukum otomatis gugur. Punya keduanya atau tidak sama sekali. Saat masyarakat difabel tidak memiliki kapasitas hukum, maka setiap segala keputusan dapat diambil alih oleh orang lain (substituted decision making)

Universal: Setiap masyarakat difabel pasti memiliki kapasitas hukum, sebab mereka adalah manusia yang sudah pasti sebagai subyek hukum. Tidak melihat lagi kepada kemampuan mereka dalam menggunakan haknya, melainkan menyamakan mereka dengan segala kondisinya.

Continuum: Mengakui setiap masyarakat difabel adalah subyek hukum, tetapi tidak semuanya mampu menggunakan haknya dalam mengambil keputusan sendiri. Kondisi masyarakat difabel yang berbeda-beda, sehingga perlu ada penilaian. Dalam hal  ini masyarakat difabel dinilai tidak mampu menggunakan haknya, mereka harus diberikan dukungan agar tetap dapat mengambil keputusan secara mandiri (supported decision making)

Sistem kebijakan dan hukum, untuk mewujudkan peradilan hukum bagi difabel yang sudah berhasil dihadirkan melalui advokasi dan sudah bisa dilihat diantaranya:

Ratifikasi konvensi internasional tentang hak-hak masyarakat difabel melalui Undang-Undang No 11 Tahun 2019.

Pengesahan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan.

Surat Edaran Direktorat Jendral Badan Perlindungan Agama (SE Dirjen Badilag) Nomor: 23L.a/DiA/HM.00/ll/2012 tentang Perhatian Kepada Penyandang Disabilitas

Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 77/DJU/SK/HM02.3/2/2018 tentang PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) harus didesain untuk menyandang disabilitas.

Mahkamah Agung Republik Indonesia membuat Percontohan peradilan aksesibel di 25 pengadilan di Indonesia di tahun 2020 dan 50 lembaga pengadilan di tahun 2021.

 

Pada tahun ini Mahkamah Agung Republik Indonesia sedang mengerjakan penelitian infrastruktur peradilan aksesibel. Yang akan di kerangkakan menjadi panduan aksesibilitas lembaga peradilan.

Jejaring Penanganan Kasus Kasus Difabel berhadapan dengan hukum.

Di beberapa wilayah seperti: peradilan Makassar Sulawesi Selatan, Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat, Situbondo Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sehingga kasus- kasus difabel sudah mulai diproses secara hukum di peradilan. (Sumber dari : Jambore Keadilan Hukum Bagi Difabel)

 

Reporter: Srikandi Syamsi

 

Editor      : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.