Memperluas Wawasan Tentang Tuli bersama Komunitas Handai Tuli
Solider.id- Handai Tuli menjadi media belajar untuk memahami persppektif anatara orang Dengar dengan Tuli. Berawal dari Rully Anjar, Surya Sahetpy dan Adhi membuat platform di media sosial Instagram.
Di masa pandemi, komunitas yang berdiri sejak Juni 2018 ini beberapa kali menyelenggarakan diskusi daring melalui zoom, termasuk kegiatan webinar bertajuk Menembus Dunia Tuli yang diselenggarakan pada Sabtu (11/7). Diskusi tersebut, menghadirkan Rully Anjar, Juru Bahasa Isyarat JBI, Adhi serta Lies, ibunda dari Udana dan dimoderatori Surya Sahetapy.
Rully Anjar menceritakan tentang latar belakangnya sebagai orang Dengar yang tertarik mempelajari bahasa isyarat Indonesia. Salah satunya karena dia kuliah di PLB Universitas Sebelas Maret. Mnurut Rully, pada saat itu masih jarang sekali mahasiswa PLB yang memilih konsentrasi ke Tuli. Sebab ada anggapan bahwa tingkat kesulitas dan sensitifitas Tuli yang mudah tersinggung.
Lebih lanjut Rully menjelaskan, pada kurun waktu 2009-2011 relawan Dengar masih sangat sedikit. Selama ini, ia banyak belajar dari buku-buku teori yang membahas terkait Tuli. Menurutnya, belum banyak buku yang menggali pengalaman Tuli itu sendiri, terutama gerakan Tuli di Indonesia.
“Ada mas Pong, menjadi relawan Deaf Volunteer Organization (DVO). Saya di Solo berpartner Tuli di SD dan SMP dengan membantu les pelajaran. Lalu berkegiatan bersama dengan Gerkatin Solo,” terang Rully.
Rully menjelaskan, sekarang gerakan Tuli semakin massif. Di DVO mereka punya keterampilan fotografi dan seni. DVO membuat kolaborasi bersama Gerkatin untuk membuat wadah belajar bahasa isyarat dan mengempangkan keterampilan yang dimiliki.
“Waktu itu seperti mas Bias yang belum bisa bahasa isyarat membagi pengetahuan tentang sablon/cetak. Yang akhirnya mas Bias bisa. Sekarang dia jadi JBI. Jadi jangan membatasi orang yang gak bisa bahasa isyarat untuk gabung dengan DVO,” imbuh Rully.
Rully melanjutkan, sebagai orang Dengar, dia tidak boleh mengajarkan bahasa isyarat karena Bisindo berasal dari kebutuhan komunikasi teman-teman Tuli. Sehingga proses belajar bahasa isyarat harus melalui Interaksi langsung dengan Tuli. Dia juga bercerita pernah mendiskriminasi teman Tuli, hal itu kini dia sadari karena faktor pemahaman terkait Tuli dan merasa superior.
Surya Sahetapy menanggapi hal yang dialami Rully merupakan sesuatu hal yang wajar di masyarakat, jika memang belum memiliki pengetahuan tentang Tuli. Hal itu bisa dilihat dari terminology tunarungu yang digunakan masyarakat selama ini. Meski begitu, terminology Tuli sekarang lebih populer dan banyak digunakan.
Contoh lain menurut Surya, beberapa anggapan keliru yang masih ada di keluarga. Seturut dengan pengalamannya sewaktu Sekolah Dasar, bahasa isyarat hanya digunakan ketika berkomunikasi di dalam rumah. Namun saat keluar rumah mereka tidak menggunakan bahasa isyarat karena akan ada banyak stigma.
Surya Sahetapy yang baru lulus dari Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat dengan predikat cum laude ini menyatakan bahwa di Rochester ada 9000 Tuli.
“Ketika ada polisi, para polisi itu bisa berbahasa isyarat. Ketika di rumah sakit, tenaga medis dan paramedis juga cakap berbahasa isyarat,” tutur Surya, melalui JBI.
Mereka memakai bahasa isyarat Amerika atau American Sign Language (ASL). Terkait pendidikan di kampus, mereka menyediakan noteker dan teks. Ada pusat belajar Tuli yang diampu profesor Dengar dan Tuli, jika kesulitan. Ada area yang disebut ASL Zone yang disana diperuntukkan mahasiswa Tuli dan Dengar. Dari 10 ribuan mahasiswa, ada 1000 mahasiswa Tuli dan juru bahasa isyarat, 175 penulis teks dan 70 noteker.
Lies Arum Wardhani, ibunda Udana menceritakan pengalamannya mengajarkan tulisan kepada anaknya. Selain membaca buku, dia meminta Udana untuk menuliskan ulang di WhatsApp dan mengoreksi kata-kata mana yang belum tepat.
“Buatlah keluarga untuk menerima karena bagi Tuli keluarga mempunyai pengaruh,” tutup Lies.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor: Robandi