Mapala Inklusif dan Pendidikan Dasar Pecinta Alam
Solider.id - Pendidikan dasar pencinta alam, sebuah kata yang tidak asing didengar. Sebuah prosesi yang harus dijalani bagi calon penerus baru organisasi pegiat alam. Suatu ritual yang seakan menjadi momok menakutkan bagi mereka. Penuh tekanan, penuh persiapan, penuh finansial, sarat akan pembentukan mental. Namun, apabila yang mengaku menjadi pencinta alam, sebaiknya harus mencintai sesama manusia dengan tidak membeda-bedakan dari struktur ekonomi maupun fisik, apabila ada sesorang difabel yang ingin mengikuti kegiatan alam bebas, sebagai sesama manusia kami berhak untuk mengakses ruang yang sama tanpa harus membeda-bedakan sesama manusia.
Masih banyak organisasi Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang belum memiliki sistem pendidikan dasar bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Mapala yang bisa terbuka untuk difabel antara lain Mapagama UGM Yogyakarta, Mapa Gunadarma, Impala Universitas Brawijaya Malang, dan MPALH Universitas Negeri Padang.
Untuk Mapagama UGM, pernah ada liputan kegiatan untuk bermain sandboarding di Parangkusumo, Yogyakarta. Dan pada waktu sebelum melakukan kegiatan, malam harinya dewan pengurus Mapagama mendapatkan edukasi langsung dari Dodit, salah satu kawan Tuli dari Solo, untuk belajar bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) di depan halaman sekretariat Mapagama. Dengan cara mengedukasi teman-teman Mapagama, untuk bisa melancarkan kegiatan di esok harinya di Parangkusumo. Selain itu juga, kami yang teman dengar bisa merasakan dunia yang begitu sunyi dan sepi ketika jemari Dodit mulai menari untuk sekadar bercerita tanpa mengeluarkan isi pita suaranya. Karena tidak ada yang lebih megah dibanding rasa syukur
Sangat beruntung, bahwa Yogyakarta diciptakan dari rasa yang begitu istemewa. Dengan bisa memahami bahwa manusia diciptakan dengan berbagai keunikan dalam dirinya dan mereka bisa menerima dengan segala hambatan yang dimiliknya tanpa harus membeda-bedakan.
Terlebih, setelah kegiatan di Parangkusumo, Dodit dan beberapa teman Tuli dari Solo sangat ketagihan untuk berkegiatan di alam bebas, dengan pendampingan khusus dari teman-teman Mapagama UGM kala itu yang membawa Dodit dan teman-temannya menggapai puncak Merbabu, bisa terbayang situasinya bahwa tidak ada yang membeda-bedaakan dengan kondisi fisik, melainkan daya juang yang tinggi dengan segala prosedur yang dimiliki untuk bisa selamat setelah turun dari puncak Gunung. Pada intinya teman-teman Mapagama sudah mewadahi apabila ada teman difabel yang ingin berkegiatan di alam bebas.
Selain itu organisasi Mapala UGM, Mapa Gunadarma pun sudah bisa mewadahi apabila ada teman-teman difabel fisik, difabel netra dan Tuli apabila ingin mengikuti kegiatan di alam bebas.
“Ketika Mapa Gunadarma ingin berkegiatan di alam bebas, seperti arung jeram, susur gua atau mendaki gunung. Insya Allah kami siap untuk bisa membawa teman-teman disabilitas di Universitas Gunadarma yang ingin mengikuti kegiatan kami dengan catatan harus dengan pendampingan khusus, yang pasti safety procedure yang paling diutamakan. Dan kami terbuka untuk berkegiatan dengan Mapa Gunadarma dan itu akan membuat anggota Mapa Gunadarma pun mendapatkan pelajaran bahwa sesama manusia mempunyai hak yang sama, semoga kelak kedepannya kami juga bisa menyiapkan kurikulum untuk pendidikan dasar inklusi di Mapa Gunadarma nantinya.” Ucap Denanti, Ketua umum Mapa Gunadarma periode 2020-2021
Cerita baik juga datang dari organisasi Mapala di Universitas Brawijaya. Impala, organisasi mahasiswa pecinta alam yang berada di salah satu univeresitas terkemuka di Malang ini juga punya cerita untuk membuat Mapala yang inklusif. Raihan, Anggota Impala Universitas Brawijaya mengungkapkan bahwa setelah mendiskusikan beberapa tahun lalu untuk membuat kurikulum penerimaan anggota difabel, pada akhirnya anggota Impala Universitas Brawijaya menuju inklusi. pada tahun 2019 silam. Pendidikan dasar sudah mencoba untuk terbuka kepada mahasiswa difabel yang ingin menjadi anggota Impala, “kami menerima dengan berkoordinasi PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) saat kegiatan pendidikan dasarnya, akan tetapi memang belum ada mahasiswa difabel yang mendaftar pada saat itu. harapannya kepengurusan selanjutnya dapat meneruskan usaha itu untuk membawa impala menuju lebih inklusif karena Mapala berperan bahwa kita sesungguhnya manusia yang sama di hadapan Tuhan.”
Pendidikan dasar mapala bagi mahasiswa berkebutuhan khusus bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Di Padang, ada satu mahasiswa difabel netra yang berhasil menyelesaikan Pendidikan Dasar Mplah Universitas Negeri Padang. Namanya Ismail. ia menjadi difabel netra saat di sekolah dasar. Dan saat diterima di Universitas Negeri Padang ingin sekali bergabung dengan organisasi mapala di kampusnya. Saat itu Ismail bercerita sempat menjadi pro dan kontra ketika ia ingin mendaftarkan menjadi anggota mapala, tetapi saat itu dewan pengurus Mplah Universitas Negeri Padang pun langsung mengadakan rapat anggota untuk membuat kurikulum. Selain itu, mereka juga menyusun strategi agar bisa berbaur dengan calon anggota mapala dan pada sebuah kata sepakat, Ismail diterima untuk mengikuti proses kegiatan pendidikan dasar pencinta alam.
“Untuk proses pendidikan dasar di Mplah aku tidak diberikan pendampingan khusus oleh panitia, dan tidak diberikan porsi yang beda untukku, aku sama seperti anggota yang lainnya. Apabila yang lain disuruh push up, aku juga melakukannya. Aku hanya mendapat keringanan ketika secara visual salah satunya saat membaca peta, aku tidak diikutsertakan. Namun, secara konsep dan teori aku tetap diberikan penjelasan dan wajib menguasai. Aku tetap tergabung dan saling membantu bersama dengan kawan-kawan tim, inilah inklusi yang aku rasakan hingga menyelesaikan pendidikan dasar. Setelah tiga bulan berproses dan sebelas hari diantara mengikuti kegiatan secara full di lapangan, akhirnya aku dilantik menjadi anggota Mplah UNP. Dan dua tahun setelahnya, aku dilantik menjadi anggota penuh dengan sebelumnya menyelesaikan rangkaian proses dan berbagai pendidikan lanjutan.” Tutur Ismail.
Untuk mendukung mahasiswa berkebutuhan khusus, organisasi mapala harus menyediakan prosedur khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing mahasiswa. Salah satu contoh, mahasiswa tuli perlu mendapat fasilitas penerjemah bahasa isyarat. Sementara porsi latihan fisik bagi anggota difabel juga harus disesuaikan.
Untuk teman-teman mahasiswa difabel yang ingin bergabung dengan organisasi mapala harus selalu yakin kalau mereka bisa. Bahwa sesungguhnya manusia pun mempunyai batas dalam dirinya masing-masing dan untuk mencapai puncak batas dalam diri, kita harus bisa mendobraknya agar keluar dari zona nyaman.
Semangat dengan daya juang yang tinggi adalah harga mati, jangan dulu mati apabila kau belum menginspirasi. Tetap melangkah, melaju dan terus menuju. Dan tidak ada yang lebih megah, walaupun mendaki puncak gunung-gunung tertingi melainkan rasa syukur.
“Kami ditempa bukan untuk mati, tetapi kami ditempa untuk menghargai hidup. Satu kalimat yang selalu kucerna yaitu tabah sampai akhir.”
Penulis: Irfan Ramadhani
Editor : Ajiwan Arief