Menyoal Independensi Komisi Nasional Disabilitas
Solider.id, Yogyakarta - Isu independensi menjadi salah satu hal yang disorot dalam Perpres No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Sebabnya, dalam Perpres yang baru saja lahir tersebut, disebutkan bahwa Sekretariat Komisi Nasional Disabilitas akan menjadi bagian dari Unit Kerja yang ada di Kementerian Sosial. Ketentuan ini, dapat di jumpai dalam Pasal 9 ayat (4) Perpres No. 68 Tahun 2020.
Dalam rangka merespon ini, Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), menggelar sebuah diskusi yang menghadirkan beberapa pihak terkait. Dalam diskusi yang dihelat tanggal 30 Juni 2020 itu, hadir Beka Ulung Hapsara (komisioner Komnas HAM), Eva Kasim (perwakilan Kementerian Sosial), Saharuddin Daming (mantan komisioner Komnas HAM), dan Maulani Rotinsulu (Perwakilan Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas).
Diskusi tersebut, didahului oleh pemaparan Saharuddin Daming, seorang difabel netra yang pernah menjadi komisioner Komnas HAM. Saharuddin, terlebih dahulu, menceritakan pengalamannya selama menjadi komisioner Komnas HAM.
Menurutnya, keberadaan Pasal 9 Perpres No. 68 Tahun 2020 ini sangat problematik. Penempatan secretariat Komisi Nasional Disabilitas menjadi salah satu Unit Kerja Kementerian Sosial, dapat mengganggu independensi Komisi Nasional Disabilitas (KND). Apabila KND kedepan akan melaksanakan tugasnya, yang dalam hal ini misalnya melakukan pengawasan terhadap Kementerian Sosial, maka pelaksanaan tugasnya itu dapat terganggu. Dapat dikhawattirkan, akan terjadi konflik kepentingan ketika KND melaksanakan pengawasan terhadap Kementerian Sosial.
Berangkat dari pengalamannya di Komnas HAM, Saharuddin bercerita, bahwa Sekretaris Jenderal Komnas HAM yang secara kelembagaan ada dibawah komando pimpinan Komnas HAM, itu pun masih seringkali mengalami friksi (perbedaan pendapat, perpecahan) dengan komisionernya. Apalagi dalam konteks KND, yang mana kesekretariatannya ada dibawah induk Kementerian Sosial.
Keberadaan Sekretariat KND yang menjadi bagian dari Kementerian Sosial ini, tentu tidak dapat dibenarkan. Hal ini, mengingat Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tidak mengamanatkan ketentuan tersebut.
Selain itu, Saharuddin juga menyoroti peran Kementerian Sosial yang terlalu luas yang diatur dalam Perpres No. 68 Tahun 2020. Misalnya saja, dalam proses pengangkatan komisioner KND. Dimana Mentri Sosial memiliki kewenangan pengangkatan komisioner KND kepada presiden.
Lebih jauh, Saharuddin melihat keanehan. Dari sekian banyak kementerian/lembaga yang ada, mengapa presiden memilih Kementerian Sosial sebagai induk sekrertariat KND. Padahal, ada lembaga/kementerian lain yang membidangi urusan Hak Asasi Manusia.
Demi merespon hal ini, Saharuddin menyatakan, bahwa pemerintah harus mendengarkan protes dari kelompok difabel. pemerintah tak perlu terus menerus mempertahankan ketentuan-ketentuan yang jelas-jelas tidak tepat.
Maulani Rotinsulu, pimpinan organisasi Himpunan Wanita Disabilitas yang juga anggota Pokja Implementasi Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, memperkuat apa yang disampaikan Saharuddin Daming. Menurutnya, ada beberapa catatan mengapa independensi KND ini menjadi isu yang serius.
Pertama, saat ini paradigma mengenai isu difabel telah menggunakan perspektif model sosial. Yang dimaksud model sosial, tentu saja bukan hanya dimaknai bahwa isu difabel menjadi urusan Kementerian Sosial saja, tetapi justru lebih luas dari itu.
Kedua, keberadaan Sekretariat KND menjadi bagian dari Unit Kerja yang ada di lingkup kelembagaan Kementerian Sosial, itu menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan apabila KND melakukan pengawasan terhadap Kementerian Sosial. Ketiga, menempatkan secretariat KND di lingkup kelembagaan Kementerian Sosial, justru hanya akan memperkuat stigma yang ada di masyarakat, bahwa isu difabel hanya menjadi urusan Kementerian Sosial saja.
Beka Ulung Hapsara, komisioner Komnas HAM, menyampaikan sikap yang sama seperti yang dikatakan Maulani Rotinsulu dan Saharuddin Daming. Beka menjelaskan bahwa kelahiran Perpres KND ini, hanya pengguguran tanggung jawab pemerintah saja, yang mana diamanatkan oleh Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Pemerintah tidak melihat lebih luas dari itu.
Adanya pengaturan dalam Perpres No. 68 Tahun 2020 yang memposisikan secretariat KND sebagai Unit Kerja dalam Kementerian Sosial, itu akan mengurangi independensi KND. Ia memberi contoh, bahwa pengaturan seperti itu, malah menciptakan birokrasi yang tidak efektif. Di Komnas HAM misalnya, ada PNS dibagian Sub Komisi penyuluhan yang menginduk kepada Kementerian Sosial. Ada pula PNS peneliti yang menginduk ke LIPI (Lewmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Beka juga memberikan contoh lain dari lembaga-lembaga yang telah terlebih dahulu lahir sebelum KND. Misalnya saja, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Idealnya, LPSK, sebagai lembaga yang bekerja membidangi isu-isu hukum, seharusnya melaporkan kinerjanya kepada komisi III DPR RI. Namun, faktanya, LPSK juga harus melaporkan kinerjanya ke komisi II. Musababnya, ini karena secara penganggaran, LPSK masih menginduk ke Kementerian Sekretaris Negara, yang memiliki kewajiban untuk melaporkan kinerjanya ke komisi II DPRRI.
Hal yang nyaris serupa tentu saja akan terjadi kepada KND. Sebagai institusi yang membidangi urusan HAM, maka sudah sepatutnya KND melaporkan komisi III DPR RI, yang membidangi urusan hukum dan HAM. Tetapi, kedepan jika Perpres No. 68 Tahun 2020 akan benar-benar diimplementasikan, maka KND juga harus melaporkan kinerjanya kepada komisi VIII DPR RI. Hal itu, karena Kementerian Sosial, institusi yang menjadi induk secretariat KND, wajib melaporkan kinerjanya ke komisi VIII.
Kesimpulannya, selain mengurangi independensi KND, keberadaan secretariat KND sebagai Unit Kerja Kementerian Sosial, juga membuat birokrasi yang tidak efektif. Oleh karenanya, Komnas HAM akan menyurati presiden untuk menyikapi isu ini.
Eva Kasim, satu-satunya perwakilan pemerintah yang hadir dalam diskusi tersebut, membantah apa yang disampaikan para narasumber yang lain. Ia mengatakan bahwa keberadaan secretariat KND sebagai Unit Kerja Kementerian Sosial, tidak akan mengurangi independensi KND. Sebabnya, Sekretariat hanya akan berurusan dengan hal-hal yang bersifat teknis administratif. Selebihnya, terkait kerja-kerja pokok KND, seluruhnya menjadi wewenang komisioner KND yang nantinya terpilih.
Eva menambahkan bahwa untuk memastikan indepenensi KND, secretariat KND tidak akan berkantor di Kementerian Sosial. Lebih lanjut, Menteri Sosial Juliari Batubara, cukup antusias untuk mengimplementasikan Perpres No. 68 Tahun 2020.
Kekhawatiran sebagian kelompok difabel menjadi beralasan, apabila merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Paris Principles. Paris Principles adalah prinsip HAM internasional yang memberikan panduan mengenai pembentukan Institusi Nasional HAM. Disana dikatakan bahwa independensi menjadi salah satu syarat pembentukan Institusi Nasional HAM. Yang dimaksud independensi disini, Institusi Nasional HAM yang dibentuk di suatu negara harus terbebas dari lembaga eksekutif.
Artinya, dalam konteks ini, KND sebagai Institusi Nasional HAM yang bertugas melakukan pemantauan perlindungan dan pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia, harus terpisah secara kelembagaan dari institusi yang melaksanakan tugas-tugas eksekutif, tidak terkecuali Kementerian Sosial.
Rhona K. M. Smith, DKK, menjelaskan mengapa sebuah Institusi Nasional HAM harus memiliki independensi. Menurut pengajar HAM di Northumbria University Inggris ini, sebuah Institusi Nasional HAM harus berdiri diantara masyarakat sipil dan pemerintah (Smith 2008). Institusi Nasional HAM harus menjadi penengah diantara masyarakat dan negara. Artinya, Institusi Nasional HAM , harus terbebas dari pengaruh siapa pun. Oleh karenanya, meskipun Institusi Nasional HAM dibentuk oleh negara, maka di forum internasional, sebuah Institusi Nasional HAM tidak dapat berbicara atas nama pemerintah negaranya (Smith 2008).
Mengutip tulisan Andrew Byrnes, Andrea Durbach dan Catherine Renshaw, dalam kerja-kerja pengawasannya, Institusi Nasional HAM seringkali menjadi “lawan” dari pemerintah, sehingga institusi tersebut harus terbebas dari kekuasaan eksekutif (Byrnes, Durbach and Renshaw 2008). KND, sebagai Institusi Nasional HAM yang dimiliki oleh Indonesia, idealnya juga terbebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. Mungkin, analogi dari Fajri Nursyamsi, anggota Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas, yang diucapkan saat pembacaan protes dari berbagai organisasi difabel, dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip independensi secara sederhana. “bagaimana seorang wasit dapat menjalankan tugasnya dengan baik, jika ia menerima bayaran dari pemain?”.
Reporter: Tio Tegar
Editor : Ajiwan Arief