Steroid bagi Peningkatan Aksesibilitas Era New Normal
Solider.id - Pandemi Corona atau Covid-19 yang tengah berlangsung di masyarakat menuntut semua orang untuk menerapkan kebiasan-kebiasan baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Work from home, social maupun physical distancing sampai protokol kebersihan dan kesehatan lainnya dulu hanya menjadi pilihan hidup beberapa orang. Namun sekarang sudah harus menjadi kebiasaan kita semua untuk terhindar dari penyebaran virus mematikan ini.
Namun, disamping segala jenis protokol baru yang bermunculan, banyak yang belum menyadari bahwa pandemi Corona yang tengah berlangsung sampai kini sebenarnya mampu mentransformasi dunia menjadi lebih aksesibel bagi difabel. Mengapa bisa demikian?
Artikel yang ditulis oleh Matthew Keegan di situs BBC.com pada 14/05/20, yang berjudul “why Corona virus may make the world more accessible” berupaya untuk menjelaskan fenomena ini. Menurutnya, protokol-protokol kenormalan baru yang terpaksa harus dilakukan manusia di tengah pandemi sebenarnya merupakan hal-hal yang selama ini coba disuarakan oleh kelompok difabel.
Remote working, alias kerja jarak jauh misalnya, akan dapat mendorong aksesibilitas kerja yang lebih tinggi bagi difabel yang memiliki hambatan dalam hal mobilitas, seperti difabel pengguna kursi roda, difabel paraplegia (tungkai lembah dan difabel tingkat kronis (severe disability) hingga difabel netra yang juga telah terbantu berkat adanya program pembaca layar (screen reader) di perangkat gadget mereka. Sehingga, kalau dipikir-pikir, konsep remote working justru malah akan mempermudah produktivitas sebagian besar difabel.
Hal yang jadi problem adalah, ketika dulu pandemi belum merebak dan work from home tidak menjadi kewajiban, para pelaku bisnis cenderung tidak terlalu menaruh banyak perhatian terhadap konsep kerja jarak jauh, apalagi menyiapkan sarana dan prasarana akomodasi yang menunjang pelaksanaan kerja jarak jauh tersebut. Sehingga kini, ketika work from home mau tak mau menjadi pilihan, banyak pelaku bisnis malah kelimpungan dalam mempraktikkan skema work from home ini bagi para karyawannya.
Padahal kalau kita lihat, jika pelaku bisnis telah dari dulu menyiapkan akomodasi serta sistem yang terjamin bagi berjalannya proses kerja jarak jauh, termasuk itu mennyangkut aksesibilitas bagi para difabel, maka seharusnya tidak ada permasalahan berarti kemudian ketika mereka harus menerapkannya pada masa pandemi seperti sekarang ini. Dan seandainya manfaat sistem work from home ini dapat dari dulu dipahami dan diimplementasikan oleh para pelaku bisnis, terutama bagi karyawan mereka yang difabel dan memiliki hambatan serius dalam hal mobilitas, maka tak perlu juga sampai menunggu terjadinya pandemi global untuk benar-benar mengadopsi sistem ini di lapangan.
Sama halnya juga dengan praktik social dan physical distancing. Salah satu esensi terbesar dari praktik social dan physical distancing adalah untuk membatasi jarak antar satu individu dengan individu lainnya sehingga potensi penyebaran virus Corona di tengah-tengah masyarakat pun dapat ditekan dan diminimalisir. Namun apa jadinya jika lingkungan disekitar kita malah yang menjadi penghambat utama berjalannya praktik social dan physical distancing ini?
Ambil contoh misalnya kondisi trotoar bagi pejalan kaki. Akibat masih banyaknya trotoar pejalan kaki yang sempit dan tidak cukup lebar menyebabkan orang-orang pun tidak mampu membatasi jaraknya secara maksimal antar satu sama lainnya, yang lantas dapat menjadi salah satu potensi penyebaran virus Corona diantara para pejalan kaki yang berlalu-lalang.
Padahal idealnya, trotoar sebagai lintasan khusus bagi pejalan kaki haruslah cukup lebar untuk dilewati oleh orang-orang secara aman dan nyaman, plus dengan situasi seperti sekarang ini tentu hal ini menjadi permasalahan yang semakin urgen. Situs CoHSAT (Coalition for Healthy Streets and Active Travel) sendiri menyarankan untuk membangun trotoar yang setidaknya mampu dilewati oleh dua buah kursi roda yang melintas dari arah yang berlawanan. Namun jangankan menjadi lintasan kursi roda, realitanya bahkan banyak kita temui trotoar yang malah menjadi lahan parkir atau lintasan bagi sepeda motor.
Difabel sendiri, di sisi lain tidak asing dengan permasalahan semacam ini. Bahkan sejak dari dulu, kelompok difabel pun telah mencoba untuk mengadvokasi isu ini ke pihak pemerintah maupun stakeholder terkait, agar kemudian memperhitungkan pembangunan trotoar pejalan kaki yang lebar dan dapat dengan mudah diakses oleh kelompok difabel, terutama bagi difabel kursi roda maupun difabel netra. Dan seperti yang bisa ditebak, isu ini sendiri pun tidak terlalu mendapatkan prioritas dari para pemangku jabatan. Namun kini, di tengah gencarnya pembatasan fisik antar individu, tak pelak menyebabkan isu ini tidak hanya semakin relevan bagi para difabel saja, tapi juga masyarakat pada umumnya yang tengah mempraktikkan social dan physical distancing.
Tidak hanya itu, ketika saat ini protokol kebersihan sedang gencar-gencarnya, perilaku manusia pun menjadi super sensitif terhadap berbagai hal yang berpotensi menyebarkan virus Corona, salah satunya ialah gagang pintu di tempat umum. Dan solusi yang lumayan ampuh, meski juga relatif mahal yang bisa dilakukan adalah dengan memasang instalasi pintu otomatis, sehingga orang-orang pun tak harus bersentuhan dengan objek apapun, yang kemudian dapat mengurangi sumber penyeberan virus Corona tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Diakui atau tidak, adanya pintu otomatis juga akan sangat memudahkan difabel dalam bermobilisasi, khususnya bagi kawan-kawan difabel kursi roda, yang sering kesulitan dalam mengakses pintu masuk secara manual akibat minimnya aksesibilitas bagi mereka.
Jika seandainya dulu pelaku bisnis memiliki inisiatif untuk mengganti pintu konvensional di tempat usaha mereka menjadi pintu yang bersifat otomatis, maka bisa dibilang mereka tidak hanya memudahkan mobilitas para difabel, tapi juga ikut berkontribusi dalam mencegah penyebaran virus di masa pandemi seperti sekarang ini.
Sehingga kalau kita lihat lagi, hal-hal yang selama ini manusia lakukan di tengah pandemi Corona, sebenarnya merupakan sebuah reminder terhadap masih lemahnya tingkat aksesibilitas bagi kelompok difabel di masyarakat. Remote working, trotoar yang luas dan adanya pintu otomatis di tempat-tempat umum hanyalah segilintir bukti yang menunjukkan bahwa aspek aksesibilitas itu tidak hanya bermanfaat bagi para difabel, tapi pada akhirnya juga bermanfaat bagi semua orang.
Sekarang pertanyaannya kemudian, apakah pandemi Corona dan tatanan kenormalan baru yang kita hadapi saat ini akan mampu mengubah dunia untuk jadi lebih aksesibel?
Penulis: Made Wikandana
Editor : Ajiwan Arief