Lompat ke isi utama
ma ma'arif ambulu jember

Cerita Widya, Pendidikan Inklusi belum Merata di Negara Kita

Solider.id, Semarang -     Widya Loka, gadis difabel yang saat ini hendak mendaftar perguruan tinggi sempat mengalami berbagai kisah tak terlupakan ketika mengakses pendidikan inklusi di tingkat sekolah menengah. Ia adalah siswa rintisan di salah satu sekolah inklusi. Baru-baru ini Tim solider.id berkesempatan dapat mewawancarainya. Ia  mempunyai semangat tinggi untuk mengikis hambatan bagi difabel. Dia  ingin membuktikan bahwa difabel itu juga dapat berinklusi atau menyatu dengan orang-orang nondifabel dalam  pendidikan. Maka  dia membuktikannya dengan bersekolah di MA (Madrasah Aliyah) Ma’arif Ambulu Jember Jawa Timur. Sebuah sekolah yang notabene bukan sekolah khusus bagi difabel, gadis ini ingin menghabiskan masa pendidikan putih abu-abunya bersama teman sebaya yang lain. Ia bercerita banyak mengenai sejarah,  suka dan duka, hingga akhirnya dia dijadikan contoh atau motivasi bagi orang lain jika ada pelajaran BP atau Kultum selepas sholat Dzuhur berjama’ah.  

Namanya Widia Loka. Gadis yang akan menginjak usia 20 tahun ini sekarang  sudah lulus dari sekolah MA Ma’arif Ambulu di kota Jember. Sejak menyelesaikan sekolah menengah pertamanya di SLB Jember, dia sudah sangat ingin untuk melanjutkan  pendidikannya di sekolah inklusi. Dia amat yakin jika sekolah diinklusi itu akan dapat meningkatkan kemampuan akademisinya. Dia juga yakin  dengan sekolah diinklusi, akan lebih mudah jalan untuk  ke perguruan tinggi. Maka setelah mendapat semua tanda tamat belajar dari SMPnya, gadis 19 tahun ini pun mulai mendatangi sekolah inklusi satu per satu. Mulanya dia ingin sekolah di SMA inklusi di kota lain, yang sudah jelas menerima siswa difabel. Namun guru-guru di SLBnya menyarankan agar Ia bersekolah di SMA dekat rumahnya saja. Akhirnya remaja putri inipun mulai mendatangi sekolah di dekat tempat tinggalnya.   

Meski regulasi sudah ditetapkan  bahwa semua sekolah harus menerima difabel, namun dalam implementasinya belum maksimal, tak semua sekolah siap menerima siswa difabel seperti Widya. Sekolah-sekolah yang ia datangi sebahagian besar menolaknya. Menolaknyapun menggunakan berbagai alasan. “Wah gak bisa mbak. Sekolah ini gedungnya banyak. Nanti mbak gak bisa menghapal gedung-gedungnya. Lebih baik mbak coba datang ke sekolah lain.” Kata sebuah sekolah yang dia datangi. Walau begitu, Widya tak putus asa. Ia lantas datang ke sekolah lain lagi. Rupanya persinggahannya ke sekolah keduanya ini mendapatkan perkataan yang lebih pedas lagi. “Mbak ini lulusan SLB ya? Apa bisa nanti mbak mengikuti sekolah sama orang-orang normal? Lebih baik kembali ke asal saja mbak. Berinteraksi dengan teman-teman senasib itu lebih nyaman lho mbak.” Sambil menahan sakit hati, mental Widya memang harus membuktikan bahwa mentalnya cukup kuat untuk mencari sekolah inklusi. Diapun mendatangi sekolah lain lagi, dan akhirnya dia singgah di sekolah MA Ma’arif Ambulu Jember.  Awalnya MA tidak mau menerimanya. “Sayapun sudah hampir putus asa. Namun saya berusaha meyakinkan sekolah kalau saya itu bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Saya tak minta fasilitas khusus atau apapun yang bersifat eksklusif. Saya hanya ingin sekolah. Setelah saya beradu argument, aakhirnya sekolah minta waktu seminggu untuk berpikir” cerita Widya lewat aplikasi gawai.

Selang lima hari kemudian pihak sekolah memberi kabar pada Widya bahwa dirinya dinyatakan ditereima di sekolah tersebut. Dan akhirnya sayapun sekolah di MA Ma’arif Ambulu Jember Jawa Timur.

Sekolah Tak Sediakan GPK

Setelah mulai sekolah,  seluruh lingkungan menerimanya dengan baik. Sekolah tidak menyediakan GPK atau Guru Pembimbing Khusus. Hal ini memang kebijakan sekolah, Widya ingin membuktikan kepada sekolah kalau dirinya  mampu mengikuti pembelajaran dengan baik. “Hanya saja saya amat lemah dalam pelajaran Matematika dan Bahasa Arab. Tapi di luar dua Mapel itu tak ada masalah” ujarnya penuh keyakinan.

Kesulitan yang paling sering Widya alami adalah ketika ujian. Karena guru yang ada di sekolahnya jumlahnya terbatas, maka diapun tidak memiliki pembaca khusus yang membantu teknis ujiannya. Diapun menerima semua itu dengan ikhlas. Terkadang satu mate pelajaran yang diujikan, bisa dua guru bergantian membacakannya. Bahkan jika semua guru tak bisa membacakannya, dia dibacakan Tukang Kebun sekolah, atau satpam. “Saat itu saya pernah ujian di gerbang satpam. Hal itu disebabkan semua guru harus berjaga di ruang tes dan sudah tidak ada lagi staf sekolah yang tidak ada pekerjaan kecuali pak satpam. Karena tugas satpan tetap harus menjaga keamanan sekolah dan gerbang sekolah, maka ia terpaksa mengerjakan ujian di gerbang satpam. Itu adalah pengalaman paling pahit yang saya rasakan” kenangnya.

Hambatan lain muncul ketika ujian Bahasa Arab. Widya  sangat kesulitan untuk mencari pembaca. Teman-teman yang dia anggap bisa membacakan rupanya juga kesulitan. Akhirnya dia hanya mengusahakan semampunya saja. Tak ada solusi lain atas kesuliitan yang ia alami, namun ia tak patah semangat untuk tetap membuktikan bahwa  difabel mampu menempuh pendidikan inklusi.

Di sisi lain, ia sangat dekat dengan salah seorang guru BK (Bimbingan dan Konseling). Beberapa kali, ia sempat dipercaya oleh guru tersebut untuk memberi motivasi kepada adik-adik kelasnya. Adik-adik kelasnya amat antusias mendengarkan kisah Widya Loka. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk membuktikan bahwa difabel punya kelebihan. Minimal, pada saat Ia dipercaya oleh guru BK, Widya dapat berlatih untuk percaya diri tampil di depan orang banyak dan ia dapat menunjukkan kelebihan dihadapan adik-adik kelasnya.

 kini, Widya Loka sudah lulus dari MA Ma’arif Ambulu, dan akan berkuliah di IKIP PGRI Jember. Saat dia ujian akhir untuk menjelang kelulusannya, dia sangat kesulitan dengan sistem komputer. Karena komputer di sekolahnya tidak diinstal pembaca layar. Akan tetapi saat ujian tersebut tetap dibantu oleh bapak ibu guru.  

Widya adalah siswa difabel pertama di MA Ma’arif Jember. Meski dengan sarana dan prasarana terbatas, dia mampu menerabas hambatan difabilitas. Baginya, jika kita mau berusaha pasti akan ada jalan. Fenomena yang terjadi pada Widya hanyalah salah satu contoh betapa sulitnya mewujudkan inklusivitas di ranah pendidikan Indonesia. negera dengan beragam kondisi dan later belakang penduduk, ternyata belum  sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Ribuah sekolah yang ada di seluruh penjuru Indonesia belum sepenuhnya dapat menerima difabel dan menyediakan akomodai yang layak dalam ranah pendidikan. Masih banyak siswa difabel lain di negara ini yang belum dapat menikmati kesetaraan pendidikan, meski mereka mampu setara bergaul, berbaur, dan bahkan berkompetisi dengan kawan-kawan sebaya mereka yang nondifabel.

Pekerjaan masih banyak, jalan masih panjang dan terjal untuk mewujudkan inklusivitas dan kesetaraan di ranah pendidikan di negara kita tercinta ini.

 

Reporter: Risqy Ristanto

Eeitor     : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.