PP No. 13 Tahun 2020, Kemajuan Pengaturan Pendidikan Inklusi di Indonesia
Solider.id - Beberapa waktu yang lalu pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. PP No. 13 Tahun 2020 adalah salah satu peraturan turunan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Jika dibandingkan, aturan sebelumnya yang mengatur mengenai penyelenggaraan Pendidikan inklusif yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009, PP No. 13 Tahun 2020 memiliki pengaturan yang lebih baik perihal penyelenggaraan Pendidikan inklusi.
Ada beberapa hal yang patut di apresiasi terkait pengaturan penyelenggaraan Pendidikan inklusi bagi difabel dalam regulasi ini. Hal-hal tersebut misalnya kebijakan penyiapan guru yang lebih serius, penguatan hak difabel dalam mengakses Pendidikan, pengaturan mengenai Unit Layanan Difabel, hingga ketersediaan sangsi administratif bagi pihak-pihak yang tidak menaati peraturan tersebut.
Penyiapan Guru Lebih Serius dalam Mengajar Siswa Difabel
Pasal 5 PP No. 13 Tahun 2020 menyatakan bahwa salah satu pemberian fasilitasi akomodasi yang layak oleh pemerintah adalah penyiapan dan penyediaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Ada tiga cara yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam menyiapkan pendidik di sekolah-sekolah inklusi.
Ketiga cara itu yakni: Pertama, pemberian mata kuliah pendidikan inklusif dalam program pendidikan calon guru. Kedua, penyediaan guru pendidikan khusus pada Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang menerima Peserta Didik difabel. Ketiga, penyelenggaraan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan.
Kebijakan penyediaan guru pembimbing khusus dan pelatihan bagi guru regular merupakan hal yang telah lama kita dengar. Ini bukanlah kebijakan yang baru. Namun, pemberian mata kuliah Pendidikan inklusi disetiap Pendidikan keguruan di universitas-universitas penyedia program studi bagi calon guru merupakan hal yang baru. Kebijakan ini belum ditemukan di ragulasi sebelumnya mengatur penyelenggaraan Pendidikan inklusi yaitu Permendiknas NO. 70 Tahun 2009. Ini tentu menarik, dimana para calon-calon guru telah mendapatkan bekal pengetahuan Pendidikan inklusi sejak duduk di bangku kuliah. Artinya, sejak dini mereka sudah memiliki bekal pengetahuan mengenai keragaman siswa yang akan diajar ketika terjun ke profesi guru.
Hal ini tentu menjadi langkah maju yang patut dipuji. Mengingat selama ini ketika berbicara mengenai Pendidikan inklusi selalu dihubungkan dengan ketersediaan guru pembimbing khusus. Padahal, idealnya tanpa adanya guru pembimbing khusus sekali pun, sekolah tetap dapat menyelenggarakan Pendidikan inklusi karena sudah menjadi kewajiban seorang guru dapat mengajar siswa dengan berbagai macam latar belakang. Dengan adanya pemberian mata kuliah Pendidikan inklusi sejak awal ini tentu diharapkan sekolah tidak hanya bertumpu pada guru pembimbing khusus.
Setia Adi Purwanta, pakar Pendidikan inklusi sekaligus ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak DIsabilitas DIY juga sependapat dengan argumentasi saya. Lewat perbincangan melalui telepon seluler beberapa waktu yang lalu, beliau mengungkapkan bahwa pengajaran siswa difabel di sekolah-sekolah tidak bisa serta merta selalu dilimpahkan kepada guru pembimbing khusus. Hal ini karena guru kelas dan guru mata pelajaran yang lain juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengajar siswa difabel.
Fleksibilitas Kurikulum
Pasal 4 ayat (1) huruf D menyatakan bahwa salah satu pemberian fasilitasi akomodasi yang layak bagi siswa difabel adalah dukungan kurikulum oleh pemerintah. Penyediaan dukungan kurikulum oleh pemerintah ini meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Kebijakan penyediaan dukungan kurikulum ini juga mengakomodasi fleksibilitas proses pembelajaran, fleksibilitas materi pembelajaran, fleksibilitas capaian pembelajaran dan kompetensi lulusan, serta fleksibilitas evaluasi pembelajaran atau penilaian.
Hal ini tentu patut di apresiasi. Ini karena penyedian dukungan kurikulum yang memungkinkan fleksibilitas di dalamnya akan sangat membantu siswa difabel, terutama difabel mental dan intelektual. Sebagaimana diketahui, difabel mental dan intelektual adalah difabel yang boleh dibilang paling terstigmatisasi dalam segala hal termasuk dibidang Pendidikan. Lebih lanjut mengenai hal ini, silakan membaca hasil penelitian Natalie Drew dan kawan-kawan yang berjudul “Human rights violations of people with mental and psychosocial disabilities: an unresolved global crisis”. Tulisan tersebut bercerita mengenai bagaimana difabel mental dan psikososial mendapatkan diskriminasi yang sangat serius. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.
Sebagai contoh yang kerap terjadi kepada difabel intelektual di dunia Pendidikan di Indonesia yakni penolakan sekolah-sekolah tidak bersedia menerima siswa dengan difabel intelektual karena kekhawatiran tidak dapat mengikuti pembelajaran dengan kurikulum yang dirancang untuk orang-orang yang tidak memiliki difabel intelektual. Bagi jenis difabel yang lain seperti difabel sensorik atau difabel kinetic itu bukan masalah. Namun, bagi difabel mental yang perlu penyesuaian khusus di situasi tertentu akan menjadi hambatan. Lebih-lebih lagi bagi difabel intelektual, kurikulum yang tidak akomodatif bagi mereka selama ini sudah jelas-jelas membuat mereka tidak dapat belajar di sekolah inklusi.
Dengan adanya kebijakan yang memungkinkan fleksibilitas kurikulum ini tentu akan sangat mengakomodasi siswa dengan difabel intelektual. Kurikulum yang disajikan di sekolah-sekolah akan disesuaikan dengan kemampuan mereka. Tidak seperti praktik yang sudah terjadi selama ini dimana kurikulum tidak dimungkinkan untuk di modifikasi sehingga siswa dengan difabel intelektual tidak dapat belajar di sekolah inklusi.
Penguatan Sangsi Administratif
Peraturan Pemerintah memang tidak dimungkinkan untuk memuat sangsi pidana. Dalam rezim hukum Indonesia, sangsi pidana hanya dimungkinkan di muat di peraturan selevel undang-undang atau peraturan daerah. Oleh karenanya, penguatan sangsi administrasi dalam PP No. 13 Tahun 2020 sudah merupakan hal yang tepat.
PP No. 13 Tahun 2020 mencantumkan empat macam sangsi administrasi bagi pihak-pihak yang melanggar pengaturan mengenai Pendidikan inklusi dalam peraturan ini. Keempat sangsi tersebut yakni mulai dari yang paling ringan teguran tertulis, penghentian kegiatan pendidikan, pembekuan izin Penyelenggaraan Pendidikan, hingga yang paling berat pencabutan izin Penyelenggaraan Pendidikan.
Penerapan sangsi tersebut akan di dasarkan oleh beberapa hal. Pertama, hasil evaluasi dan pemantauan oleh kementerian terkait yang membidangi urusan dibidang Pendidikan. Kedua, hasil evaluasi dan pemantauan Komisi Nasional Disabilitas. Ketiga, hasil evaluasi dan pemantauan dari pemerintah daerah provinsi. Keempat, hasil evaluasi dan pemantauan dari pemerintah daerah kabupaten atau kota. Kelima, hasil pengaduan dari masyarakat.
Pada poin kelima ini menjadi dasar hukum yang sangat penting bagi kita semua apabila mengetahui atau bahkan mengalami diskriminasi dibidang Pendidikan. Kita dapat melakukan pengaduan kepada pemerintah terkait pihak-pihak yang tidak menaati peraturan perundang-undang yang berlaku.
Penulis: Tio Tegar
Editor : Ajiwan Arief
Lampiran | Ukuran |
---|---|
PP NO. 13 Tahun 2020 | 1.77 MB |