Viral Video Perilaku Diskriminatif Pelajar Terhadap Difabel
Solider.id, Bandung – Berbagai organisasi dan aktivis pegiat isu difabel di Kota Bandung menyesalkan adanya video perilaku diskriminatif yang dilakukan oleh sekelompok pelajar. Video yang diunggah oleh akun Instagram luculucuvideo melalui link https://www.instagram.com/p/B95-m9HHJ_6/ pada Kamis (19/3), memperlihatkan aksi tiga pelajar laki-laki yang tengah memperagakan gestur tubuh difabel Tuli dan netra disertai gelak tawa dan direkam oleh seorang pelajar lainnya melalui kamera ponsel.
Berdasarkan penelusuran Solider.id melalui laman akun luculucuvideo, unggahan tersebut telah ditonton sebanyak 38.274 viewers, serta mendapatkan kecaman dari berbagai netizen yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat difabel.
Fransisca Octi, aktivis pegiat komunitas Tuli, berpendapat bahwa gaya hidup generasi digital menstimulasi kreativitas siapapun untuk berkreasi. Akan tetapi, jika kebebasan berkreasi tersebut tidak dibatasi, maka akan menghasilkan sebuah produk yang mendiskriminasi kelompok tertentu.
“Kreatif yang tidak dibatasi jadilah kreasi yang menyakiti, merendahkan, menghina orang lain” tutur perempuan yang juga aktif sebagai juru bahasa isyarat bagi difabel Tuli tersebut.
Seksi Advokasi SPICE, Ogest Yogaswara pun turut menyayangkan dan merasa prihatin dengan beredarnya video yang tidak mencerminkan perilaku calon generasi penerus bangsa yang terpelajar tersebut.
Mantan penyanyi cilik era 90an ini berpendapat bahwa seorang pelajar seharusnya bisa berpikir cerdas, serta pandai dalam bersikap. Lelucon yang mereka lakukan tentunya semakin memperkuat stigma negatif terhadap masyarakat difabel, dalam hal ini adalah Tuli dan netra.
“Mereka seperti itu sebetulnya berakhlak buruk dan cacat. Karena disadari ataupun tidak, telah diskriminatif”, Ujar Ogest.
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 7 menyatakan bahwa difabel memiliki hak untuk bebas dari stigma yang meliputi pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi kedifabilitasannya.
“Sebetulnya bisa dikenakan sanksi hukum sebagaimana yang tertera dalam UU No. 8 Tahun 2016”, terang Ogest.
Menurutnya, diperlukan sinergitas antara difabel, masyarakat, dan institusi pendidikan untuk mengedukasi pelajar tentang inklusivitas dalam lingkungan sosial masyarakat. Dia juga menegaskan bahwa hal seperti ini tak cukup hanya dengan permintaan maaf semata, namun juga harus ada sanksi yang memberikan efek jera kepada para pelakunya, sehingga peristiwa tersebut tidak terulang kembali.
“Harapannya, hal seperti ini tidak terulang lagi. Ini menjadi tugas difabel yang harus memberikan edukasi dan sosialisasi tentang isu difabilitas bersama pihak yang berkompeten” pungkasnya.
Senada dengan Ogest, sebagai perempuan difabel, Yani Handayani mengatakan bahwa perilaku diskriminatif yang dilakukan sekelompok pelajar tersebut merupakan bukti kurangnya pemahaman masyarakat tentang kedifabilitasan.
“Kalau dilihat dari videonya, mereka melakukan gerakan tersebut secara spontan sebagai masyarakat awam yang tidak tahu bahwa apa yang dilakukan dapat menyakiti kelompok masyarakat lainnya” ujar perempuan yang dikenal sebagai aktivis pegiat isu difabel di Kota Bandung tersebut.
Baginya, bila ditinjau dari berbagai perspektif, peristiwa tersebut memberikan ruang pada masyarakat difabel untuk lebih aktif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi ke berbagai lapisan masyarakat.
Mengakhiri perbincangan, Yani menuturkan bahwa masyarakat perlu memiliki pemahaman tentang kedifabilitasan dan bagaimana cara berinteraksi maupun memberikan layanan pendampingan terhadap difabel, mengingat setiap manusia berpotensi menjadi difabel entah karena faktor kecelakaan, menyintas suatu penyakit, menurunnya fungsi anggota tubuh seiring bertambahnya usia, dan faktor lainnya.
Reporter: Maya
Editor : Ajiwan Arief