Lompat ke isi utama
Sharing bersama Butong, Difabel Seniman Penerima Penghargaan Belajar Seni dari Pemerintah Inggris

Butong, Ide Berkesenian Tidak Harus Menunggu Fasilitas

Solider.id,Yogyakarta - Berkesenian, sejatinya dapat dilakukan dalam berbagai kondisi. Karena pada dasarnya berkesenian merupakan kebutuhan, hak dasar yang perlu langkah dalam mengembangkannya. Untuk itu harus ada peran semua pihak termasuk pemerintah dalam memfasilitasi para pelaku seni (seniman) mewujudkan ide dan gagasan. Kolaborasi yang baik antara pemeritah dan seniman menjadi satu cara menjunjung tinggi aktivitas berkesenian dapat berkembang dan berkelanjutan.

Dukungan penuh pemerintah terhadap para seniman tanpa kecuali seniman difabel dilakukan oleh pemerintah Inggris. Dukungan diwujudkan dalam banyak hal. Finansial, salah satunya. Selanjutnya aksesibilitas sarana dan prasara fisik menyesuaikan kebutuhan para seniman difabel. Lebih dari itu, cara pandang pemerintah terhadap hak-hak para seniman difabel dapat mejadi barometer negara lain, khususnya Indonesia.

Sore itu dia berbagi cerita bagaimana cara pandang pemerintah berdampak pada lahirnya berbagai kebijakan dan aksesibilitas pada setiap bangunan publik. “Gedung-gedung pertunjukan di sana didesain ramah bagi penonton difabel. Attitude is Everything ialah satu lembaga dengan kewenangan menilai aksesibilitas gedung-gedung pertunjukan. Sehingga muncul grade atau tingkatan kelas dari terbaik yaitu gold, silver dan bronze,” ugkap Butong dalam paparanya.

Lanjutnya, “Gold artinya gedung pertunjukan sudah memiliki fasilitas yang lengkap. Dari pintu masuk, penjualan tiket, ruang pertujukan, kamar mandi (toilet), text description dan signal lampu bagi tuli, suara bagi difabel netra. Adapun jika silver artinya terdapat aksesibilitas yang kurang, serta bronze ada fasilitas, tetapi masih banyak yang kurang,” terang Butong.

Hal tersebut dikemukakan oleh Sukri Budi Dharma alias Butong, dalam agenda “Berbagi Sore”. Sebuah kegiatan yang dihelat Rene Cafe, IFI LIP, Jalan Sagan no. 3 Yogyakarta, oleh Yayasan Bintang Kidul, Sabtu (11/1). Seniman dengan tongkat peyangga tubuh itu diundang untuk berbagai pengalaman, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang seniman difabel penerima penghargaan belajar seni dari pemerintah Inggris.

Paham kemampuan diri

 Sharing lain yang disampaikannya ialah, “Di Inggris seniman difabel bisa maju karena mereka paham betul kemampuan dirinya. Mereka disiplin berlatih sedari latihan-proses-pementasan. Pemahaman itu penting. Selanjutnya dukungan pemerintah dan lingkungan merupakan faktor eksternal yang tentu saja tak kalah penting perannya,” ungkap Butong.

Kali itu Butong pun menggarisbawahi sharingnya. “Yang berbeda dengan di Indonesia, meski tanpa fasilitas dan dukungan sebagaimana pemerintah Inggris, para seniman Indonesia tetap mampu melahirkan ide-ide berkesenian. Artinya, ide berkesenian tidak harus menunggu datangnya fasilitas,” ungkapan bangga Butong.

Stigma oleh media

Catatan kritis kepada media, khususnya jurnalis disampaikan Butong. Media dan difabel merupakan dua entitas yang perlu saling bekerja sama. Kali ini dalam konteks difabel sebagai pelaku seni atau seniman. Karena media merupakan saluran komunikasi yang amat penting. Menurut Butong, selama ini belum semua media mampu mengedukasi dengan baik masyarakat pembaca. Justru terkadang menguatkan stigma terhadap difabel. Karena pemberitaan media masih pada siapa yang berkarya, bukan apa dan bagaimana sebuah karya diiformasikan kepada masyarakat.

Dalam konteks difabel sebagai seniman, Butong masih melihat beberapa media yang tidak memposisikan difabel sebagai subjek pemberitaan, melainkan hanya sekedar objek sosial.

 “Cara pandang hak asasi, sebaiknya dikedepankan. Pertajam hasil karyanya, proses peciptaan ide, karya. Bukan menggiring masyarakat menganggap wah atau luar biasa, jika difabel mampu berkarya seni,” pungkasnya. 

 

Reporter: harta nining wijaya

Editor     : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.