Lompat ke isi utama
Ilustrasi buku Pokok-pokok Pikiran Mansour Fakih

Pokok-Pokok Pikiran Mansour Fakih; Berpihak Tanpa Malu-malu

Oleh Rifai Asyhari

Solider.id- “Aku sulit menerima ajaran bahwa hidup selalu memberi bentangan nasib terbaik bagi setiap manusia. Yang aku tahu, hidup selalu mengambil kawan-kawan terbaik, satu demi satu!”

Kalimat di atas ditulis Puthut EA 8 Februari 2004 di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Saat itu dini hari. Puthut tengah menjenguk seorang guru, juga kawan berjuang, Mansour Fakih. Seperti mengerti apa yang akan terjadi, enam hari setelah dini hari itu Mansour Fakih menghembuskan nafas terakhrinya.

Mansour menderita stroke dan dalam hari-hari terakhirnya koma. Dokter bilang pembuluh darahnya pecah. Ia meninggal, dikenang kawan-kawannya sebagai seorang guru dan sahabat yang tak pernah lelah berjuang menegakkan keadilan.

Kenangan sahabat Mansour Fakih setidaknya terekam dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih yang pertama kali diterbitkan SIGAB lima bulan setelah sang aktivis meninggal.

Dari buku ini, saya menyaksikan jejak-jejak pikiran Mansour Fakih. Gagasannya sangat luas sehingga tidak mungkin disimpulkan dalam satu atau dua kesan. Setidaknya ada 15 kawan Mansour yang menulis kenangan, kesan, dan ilmu yang dibagikan Mansour Fakih sepanjang hidupnya.

Mereka berasal dari latar belakang berbeda dan menyerap pesan-pesan Manosur Fakih secara berbeda. Tentu saja kita tidak pernah menebak bagaimana seseorang mendapatkan kesan terbaik dari sosok guru sepertinya.

Di mata Mukhotib MD, seorang santri cum aktivis di Lampung, Mansour adalah orang yang pertama kali menyadarkannya akan posisi pondok pesantren di Indonesia yang cenderung inklusif. Banyak pondok pesantren yang tidak mampu mengubah kondisi kehidupan masyarakat di sekelilingnya, hanya menyerap putaran ekonomi tetapi tak memberikan output bagi kesejahteraan masyarakat. Itu sebuah ironi.

Di antara baris-baris tulisannya, Mukhotib MD mengaku melaksanakan harapan Mansour yang sempat dititipkan padanya, yaitu menjadikan pesantren sebagai lembaga yang bisa menyejahterakan masyarakat.

Mansour Fakih memang selalu menekankan kepada setiap aktivis yang ditemuinya untuk kembali ke desa dan berjuang untuk orang-orang terdekat. Ia ingin agar masyarakat di desa bisa terbebas dari kemiskinan. Ya, keinginannya jelas: dunia tanpa kemiskinan.

Namun itu saja tidak cukup. Persoalan lain tak lepas dari pandangan Mansour Fakih. Ia banyak menulis tentang gender, difabel, dan HAM. Waryono, seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengingat betul perjumpaannya dengan Mansour Fakih.

Saat itu tahun 2001. Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Sunan Kalijaga banyak berdiskusi dengan Mansour Fakih. Ia memberanikan Waryono dan kawan-kawannya di PSW untuk menerapkan analisis gender dalam membaca teks-teks Al-Quran. Pembacaan ulang ayat-ayat suci pun digarap secara berkelanjutan dan membuahkan hasil berupa terbitan buku dan jurnal yang kini tersebar dan dibaca banyak orang.

Tulisan dalam buku ini banyak menyorot perngaruh nyata dari Mansour Fakih di beragam lembaga. Mari bergeser kepada pikiran Manosur mengenai difabel. Kita tahu Manosur sangat lantang menyuarakan gagasan masyarakat inklusi bagi difabel.

Ia memandang belum adanya teori yang memiliki perhatian khusus pada kelompok difabel, entah teori modernisasi yang berlandaskan positivisme atau teori kritis, seperti Madzhab Frankfurt atau Marixian.

Dalam esainya yang berjudul “Akses Ruang yang Adil; Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum Difabel”, Mansour Fakih menyampaikan setidaknya tiga point tentang difabel.

Pertama, ia mengkritisi hakikat pembangunan Negara yang seringkali meminggirkan kaum difabel. Menurutnya, setiap kebijakan dihasilkan dari ideologi yang terselip di benak pembuat kebijakan. Setiap ideologi selalu bertarung dalam membuat dan menilai sebuah kebijakan. Pendeknya, tidak ada kebijakan yang dibuat di luar ideologi.

Pahitnya, kebijakan diputuskan bukan berdasar suatu ideologi yang lebih benar dan masuk akal, melainkan berdasar ideologi yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki kekuatan. Dan dengan ideology serta analisis yang miskin, kebijakan seringkali tidak berpihak pada difabel.

Kedua, Mansour Fakih menggagas perubahan istilah dari penyandang cacat menjadi difabel yang saat itu masih jarang digunakan. Kita harus berani mengakui, bahwa istilah penyandang cacat berasal dari cara pandang yang miring atas kaum difabel. Pandangan ini merupakan konstruksi yang dibangun dan dipertahakn selama puluhan tahun.

Anggapan penyandang cacat juga berimplikasi pada anggapan tidak normal. Setelah memandang orang lain tidak normal, kita juga kerap memandang mereka sebagaii kelompok yang tidak mampu (disable) mengerjakan sesuatu seperti orang normal.

Normal atau tidak normal adalah anggapan keliru, sebuah konstruksi berpikir yang menyesatkan. Bagi Mansour, kaum difabel adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda sehingga seharusnya disebut different ability (disingkat difabel).

Ketiga adalah buruknya analisis mainstream atas persoalan difabel. Analisis mindstream yang dimaksud Mansour adalah pandangan kaum liberal yang hanya fokus pada proyek-proyek pemberdayaan difabel. Mereka hanya berpikir cara menaikkan difabel ke panggung lapangan kerja dengan meningkatkan skill dan memberi pelatihan.

Tujuannya jelas, agar mampu bersaing dengan orang lain. Sekilas,pandangan ini tampak mulia meski sesungguhnya serampangan. Konsekuensi logis dari pandangan kaum liberal adalah: jika setelah difabel mendapat pelatihan tetapi masih tidak mampu bersaing, itu salah difabel sendiri.

Secara gambling, analisis mainstream memandang difabel dalam kerangka pikir kapitalisme yang menhitung manusai berdasarkan tenaga produksi. Jika tidak mampu bekerja untuk akumulasi kapital, maka manusia tersebut tidak berguna.

Pandangan ini tentu saja merupakan bentuk dehumanisasi kepada kaum difabel.

Mengatasi persoalan difabel tidak boleh hanya fokus pada kaum difabel saja, melainkan perlu memandang struktur social yang melingkupinya. Apakah relasi antara kebijakan dengan difabel sudah benar? Apakah relasi antara orang normal dan kaum difabel yang ‘dicacatkan’ sudah berjalan beriringan?

Cendekiawan, aktivis, serta akademisi memiliki tanggung jawab untuk merumuskan persoalan difabel dengan pendekatan stukturalis, yaitu merumuskan kebutuhan strategis difabel agar posisi mereka setara dalam ruang sosial,ekonomi, dan politik.

Analisis Mansour yang dsebutnya pendekatan pemberdayaan terhadap kaum difabel bukan saja ingin menghilangkan diskriminasi terhadap difabel, tetapi juga diskriminasi terhadap kelas, suku, kasta, dan gender.

Setidaknya, itulah tiga hal yang disampaikan Mansour Fakih dalam esai tersebut. Dalam pandagannya terhadap persoalan kaum difabel, kita melihat sosok Mansour Fakih sebagai penentang kapitalisme yang keras. Dia menolak neoliberalisme yang begitu rakus membangun sekaligus melakukan dehumanisasi di banyak tempat.

Begitu luasnya alam pikiran Mansour Fakih sehingga setiap orang memiliki kesannya masing-masing pada pria kelahiran Bojonegoro ini. Sepanjang hidupnya ia terus bergerak, menulis, aktif di berbagai organisasi, dan turun ke lapangan membersamai masyarakat. Ia tidak pernah menolak ajakan untuk melakukan kerja-kerja HAM. Itulah kelemahan Mansour Fakih di mata Francis Wahono, seseorang yang mengaku sebagai teman seperjalanannya.

Cerita tentang Mansour Fakih tidak ada habisnya. Kita tahu, pegiat HAM yang meninggalkan kesan di benak orang dan gagasan di tulisan-tulisannya akan selalu diingat dan memengearuhi generasi setelahnya. Hal terbaik yang bsa dilakukan hanyalah meneruskan semangat Manosur Fakih.

Saya kutipkan sebuah pernyataan Dadang Juliantara dalam esainya yang saya pikir merupakan salah satu semangat Masour Fakih yang perlu diteladani, yaitu “Mansour Fakih memiliki ambis kuat melakukan perlawanan wacana, melakukan dekonstruksi atas wacana yang dominan.”

Pernyataan ini saya pikir benar dan menjawab mengapa Manosur Fakih sanggup membahas begitu banyak isu, sebab dia selalu tidak tahan jika masih terdapat wacana (discourse) dominan yang memanipulasi kemanusiaan. Ia selalu membela setiap kelompok yang termarjinalkan. Ia berpihak pada mereka, ia berpihak tanpa malu-malu.[]

 

Identitas Buku

Judul : Pokok-pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih; Refleksi Kawan Seperjuangan

Penulis : Phutut EA, Francis Wahono, Setya Adi purwanta, dkk

Penerbit : Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia

Tahun : 2014 (cetakan pertama)

Peresensi : Rifai Asyhari

*Alumni Komunikasi Peyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga. Pengelola Media Komunitas DITOLAK REDAKTUR. Saat ini sedang sibuk edit naskah di EA Book.

The subscriber's email address.