Lompat ke isi utama

Dalam Ranah Hukum, Kasus dr. Romi: Pemkab Solok Selatan Lakukan Perbuatan Tercela

Solider.id, Yogyakarta - Beberapa waktu  lalu kita semua di hebohkan dengan adanya  kabar bahwa dr. Romi Syofpa Ismael gagal menjadi PNS akibat kondisi difabilitas yang dimilikinya. dr. Romi merupakan seorang difabel paraplegia.  Pada akhir 2018, ia mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil. Ia mendapatkan nilai tertinggi saat seleksi tersebut.  dr. Romi seharusnya dilantik menjadi PNS. Namun, pada bulan Maret 2019, pemkab Solok Selatan justru membatalkan kelulusan dr. Romi.

Pembatalan kelulusan dr. Romi oleh pemkab Solok Selatan setidaknya didasari dua alasan. Pertama, karena dr. Romi dianggap tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani akibat kondisi difabel yang dimilikinya. kedua, karena dr.  Romi  tidak mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil  melalui formasi disabilitas.

Perbuatan Melawan Undang-Undang (onwetmatige)

Menurut Prof. Muchsan, salah satu bentuk perbuatan tercela oleh pemerintah adalah perbuatan melawan undang-undang. Dalam kasus dr. Romi, pemkab Solok Selatan setidaknya telah melawan dua undang-undang.

Pertama, Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal 1 angka 22 UU ASN menyebutkan secara jelas bahwa UU ASN mengusung semangat Merit system. Merit system adalah system manajemen ASN yang berdasarkan kompetensi dan kualifikasi, tanpa membedakan latar belakang politik, ras, kondisi disabilitas, dan lain sebagainya.

Argumentasi pemkab Solok Selatan yang menyatakan dr. Romi tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani akibat kondisi difabel yang dimilikinya tentu bertentangan dengan semangat UU ASN. Pasal 65 ayat (1) huruf b UU ASN memang menyatakan bahwa calon pegawai negeri sipil harus memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani. namun, persyaratan tersebut tidak serta merta dapat ditapsirkan sebagai larangan bagi difabel untuk menjadi pegawai negeri sipil.

Kasus ini tentu menunjukan bahwa pemkab Solok Selatan tak memahami semangat yang diusung oleh UU ASN. Padahal, sudah secara jelas dinyatakan dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN bahwa kondisi difabel merupakan bentuk keragaman latar belakang yang dimiliki seseorang, bukan kondisi tidak sehat jasmani dan rohani.

Kedua, pembatalan kelulusan dr. Romi berlawanan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 11 UU Penyandang Disabilitas menyebutkan secara tegas bahwa difabel berhak untuk memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau swasta, tanpa adanya tindakan diskriminasi apa pun. Ini artinya, keputusan pemkab Solok Selatan yang membatalkan kelulusan dr. Romi atas dasar kondisi difabel yang dimilikinya, telah melawan UU Penyandang Disabilitas.

Perbuatan Tidak Tepat (onjuist)

Menurut Prof. Muchsan, selain perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige), bentuk perbuatan tercela lainn oleh pemerintah adalah perbuatan tidak tepat (onjuist). Onjuist merupakan perbuatan pemerintah yang didasari oleh pertimbangan yang salah. Pertimbangan pemkab Solok Selatan untuk membatalkan kelulusan dr. Romi karena yang bersangkutan tidak mengikuti seleksi melalui formasi khusus disabilitas adalah bentuk perbuatan tidak tepat. Hal ini karena adanya formasi khusus disabilitas bukan dimaksudkan untuk membatasi difabel untuk mengikuti seleksi melalui formasi umum.

Keberadaan formasi khusus disabilitas justru bertujuan untuk memperluas kesempatan kelompok difabel. mengambil contoh dari praktik penyelenggaraan formasi khusus disabilitas yang juga diselenggarakan oleh beberapa universitas dalam seleksi masuk perguruan tinggi, adanya formasi khusus disabilitas tidak menutup kemungkinan difabel untuk mengikuti seleksi melalui jalur umum. Malahan, keberadaan formasi khusus disabilitas tersebut menyediakan alternative bagi difabel, apakah akan mengikuti formasi khusus atau formasi umum. Apabila seorang difabel memang memiliki kompetensi untuk bersaing dengan kelompok nondifabel melalui formasi umum, kewajiban pemerintah adalah memfasilitasi, bukan malah membatasi.

Upaya Hukum yang Tersedia

Terkait upaya hukum yang dapat ditempuh oleh dr. Romi untuk memperoleh keadilan, saya sepakat dengan langkah yang diambil oleh kuasa hukum dr. Romi yang akan melakukan upaya hukum dalam ranah administrasi dan upaya hukum pidana. Pertama, perihal upaya hukum administrasi dengan mengajukan gugatan ke PTUN merupakan langkah yang tepat. Hal ini karena pembatalan kelulusan dr. Romi tertuang dalam produk keputusan (beschikking), dimana menurut UU PTUN lembaga yang berwenang untuk membatalkan keputusan tata usaha negara adalah PTUN.

Kedua, mengenai upaya hukum di ranah pidana yang diupayakan oleh kuasa hukum dr. Romi dari LBH Padang juga dapat dilakukan. Ini karena menurut Pasal 145 UU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa setiap orang yang menghalang-halangi atau melarang difabel untuk mendapatkan haknya diancam pidana penjara selama maksimal 2 tahun dan denda sebesar Rp200.000.00. namun, menurut pendapat saya, dalam hal ini upaya hukum administrasi lebih utama di kedepankan, karena permasalahan yang  terjadi dalam lingkup hukum administrasi negara. prinsip ultimum remedium yang berarti pidana sebagai jalan terakhir harus benar-benar diperhatikan. []

 

Penulis : Tio Tegar

Editor   : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.