Kendala Penyelesaian Difabel Berhadapan dengan Hukum di Indonesia
Oleh Ahmad Jamaludin
Solider.id- Perubahan norma sosial masyarakat terkait difabel meniscayakan keberadaan aturan dan penegak hukum yang bisa merangkul norma sosial yang sedang berjalan dan menyelesaikan persoalannya dengan adil.
Salah satu persoalan utama difabel yang berhadapan dengan hukum, terutama sebagai korban, adalah para penegak hukum yang kurang memahami kebutuhannya. Sebagai orang berkebutuhan khusus, pola komunikasi dan hubungan dengan difabel yang dibangun aparat penegak hukum mesti mampu menjembatani kebutuhan tersebut. Sebab tanpa modal dasar itu, penanganan tindak kejahatan yang berkait dengan difabel akan terkendala.
Kendala pertama yang mengemuka ketika menyimak berbagai kasus difabel dalam proses peradilan adalah pengumpulan alat bukti. Pada tahap yang biasa disebut penyidikan ini, aparat kepolisian senantiasa sulit menggali keterangan dari difabel apabila tidak ada pendamping atau penerjemah yang mendampingi, dalam hal ini lembaga seperti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia.
Padahal keterangan para difabel, terutama yang menjadi korban, sangat penting untuk pengumpulan fakta kejadian baik dari waktu, modus, dan pelaku tindak kejahatan yang menimpanya. Sehingga keberadaan penerjemah menjadi instrumen penting, sekaligus hak difabel dalam penyelesaian tindak kejahatan yang berkaitan dengan mereka.
Memahami kebutuhan di atas meniscayakan sebuah perubahan cara pandang dalam mengorek bukti sesuai dengan keadaan difabel yang terkait, inilah kendala kedua. Oleh karena itu aparat mestinya bisa memfokuskan keterangan pada kemampuan korban, seperti kemampuan pendengaran pada difabel rungu atau penglihatan pada difable netra. Dengan begitu keterangan yang diperoleh dari saksi sekaligus korban difabel akan maksimal. Keberadaan fasilitas untuk difabel ini penting untuk kelancaran proses peradilan.
Ada satu kasus dalam buku Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara yang bisa menjadi ilustrasi pentingnya perubahan cara pandang aparat. Waktu orangtua difabel korban pemerkosaan melaporkan apa yang menimpa anaknya, kepolisian sempat menilainya sebagai perbuatan suka sama suka karena terjadi berulang kali. Asumsi seperti ini sebenarnya mungkin saja muncul ketika berhadapan dengan korban perempuan berumur 22 tahun biasa. Tetapi jelas tidak relevan untuk Bunga (nama samaran korban terkait), difabel Tuli dan wicara dengan kemasakan sosial setara anak sembilan tahun (mental retardasi).
Oleh sebab itu penanganan difabel korban kejahatan meniscayakan pergeseran cara pandang aparat penegak hukum. Pemahaman akan perlunya penerjemah, pendampingan orang yang dikenal, hingga keterangan ahli bahasa atau kesehatan menjadi penting. Secara praktis hal ini akan membantu aparat penegak hukum menangani kasusnya dengan meminimalkan kendala komunikasi dan interaksi dengan difabel. Sedang di sisi lain hak-hak hukum korban tetap terpenuhi sehingga terhindar dari “pengorbanan” berikutnya. Perubahan perspektif ini mendasar untuk penegak hukum bukan cuma di tahap penyidikan, tetapi juga dalam keseluruhan proses peradilan.
Kendala yang ketiga adalah keberadaan aturan yang mampu menopang penyelesaian kasus pidana terhadap difabel. Menurut data yang diperoleh Anggun Melinda dkk, penanganan tindak pidana atas difabel kebanyakan berhenti di tahap penyidikan.
Sebagaimana telah dirinci di atas, seperti korban tidak mampu bersaksi, halangan komunikasi, dan berujung pada kurangnya alat bukti menjadi alasan. Mampatnya proses peradilan dalam wilayah ini akan berangsur hilang jika terobosan hukum dibuat guna mengatasi berbagai kendala difabel dalam proses peradilan pidana kita.
Sejauh ini ada beberapa aturan hukum yang bisa dipakai untuk memudahkan proses peradilan, seperti pemberian penerjemah yang telah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun aturan ini belum bisa melingkupi kebutuhan difabel lainnya seperti keberadaan pendampingan orang terdekat, pendampingan ahli, hingga aparat hukum yang paham difabel. Tiga hal tersebut penulis kira mendesak untuk disediakan guna melancarkan proses penyidikan sehingga bisa berlanjut ke penuntutan dan persidangan.
Ketiga kendala yang telah dibahas di atas sebenarnya saling berkait satu dengan lainnya. Sehingga secara umum sistem perdilan pidana kita saat ini membutuhkan pembaruan hukum yang mampu menyelesaikan tindak pidana yang menimpa difabel di Indonesia. Terutama adalah penyelesaian kendala pengumpulan keterangan dan bukti di tahap penyidikan, karena keberadaan alat bukti yang cukup adalah syarat utama proses peradilan bisa dilanjutkan guna mengadili para penindak kejahatan atas difabel.
Pergeseran Norma dalam Masyarakat
Persoalan klasik penegakan keadilan dalam negara hukum adalah adanya jarak yang merentang antara ideal hukum dengan hukum yang ada. Kita tentu sepakat bahwa keadilan adalah milik semua orang, tanpa mengecualikan difabel. Hukum ideal mestinya berubah seiring dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Namun kerap terjadi sebuah hukum tidak lagi mampu mengakomodasi berbagai perubahan norma dan nilai dalam masyarakat.
Celah tersebut muncul karena nilai dan norma masyarakat tidak statis, ia bergeser dan berganti seiring pertumbuhan masyarakat. Sedangkan hukum yang ada (hukum positif) dibentuk dalam mekanisme panjang dan rumit untuk bisa mengakomodasi nilai dan norma tersebut. Karena panjangnya proses pembentukan hukum (legislasi) kemampuannya untuk menyesuaikan dengan norma masyarakat menjadi lamban.
Sebagai ilustrasi saja, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita adalah aturan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda dan hingga kini perubahannya masih dalam wacana.
Menurut Hans Kelsen, ada hirarki hukum dalam sebuah sistem hukum. Dalam hirarki itu, norma masyarakat adalah pijakan dasar tempat setiap aturan hukum formal, seperti Undang-undang disabilitas, dibuat dan diundangkan. Persoalan penegakan hukum akan senantiasa muncul ketika hukum formal yang terbentuk tidak lagi mencerminkan norma dan nilai masyarakat yang ada.
Sampai saat ini aturan hukum terkait dengan difabel di Indonesia masih menggunakan cara pandang lama, yaitu disabilitas. Pandangan ini menempatkan orang berkebutuhan khusus sebagai orang cacat. Hal ini menempatkan difabel dalam konteks masalah individu saja. Pandangan ini secara sepihak menihilkan adanya konteks sosial yang mempengaruhi interaksi dan ekspresi orang-orang yang berbeda dalam masyarakat. Sampai di sini konsep disabilitas tidak lagi bisa sejalan dengan norma kesetaraan dan pluralitas sosial yang menjadi nilai dasar zaman ini.
Sedangkan istilah difabel memandang mereka sebagai orang yang berkemampuan berbeda. Meski berkebutuhan khusus, mereka tetap memiliki hak yang sama seperti orang pada umumnya. Oleh karena itu aturan hukum mesti menciptakan kondisi yang bisa menempatkan mereka setara dengan orang lainnya sekaligus memenuhi berbagai kebutuhan khusus sebagai konsekuensi persamaan itu. Tanpa penyesuaian dengan norma dasar tersebut, mustahil pemenuhan hak-hak dasar manusia, khususnya difabel, bisa diwujudkan oleh sebuah sistem hukum.
Secara garis besar buku ini mencoba mengetengahkan sekaligus mencoba memberi masukan akan kendala yang ada dalam peradilan pidana kita terkait difabel. Materi yang dikaji buku ini relatif baru dalam konteks kajian hukum di Indonesia. Oleh karena itu bisa menjadi referensi penting perbaikan sistem peradilan pidana di Indonesia, terutama untuk orang-orang rentan dan berkemampuan berbeda.[]
Identitas Buku
Judul : Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara
Penulis : M. Syafi’ie, Purwanti, dan Mahrus Ali
Penerbit : Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
Tahun : 2016 (cetakan kedua)
Peresensi : Ahmad Jamaludin
*Alumni Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga.