Pramuka yang inklusif bagi difabel
Solider.id, Yogyakarta – 14 Agustus adalah peringatan ke 58 tahun Pramuka Indonesia. Selain perayaan hari Pramuka serentak secara nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur pembinaan pendidikan khusus Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah juga membuat sebuah inisiatif dengan mengadakan kegiatan penguatan karakter lewat perkemahan kepramukaan untuk anak difabel.
Seperti dikutip dari Tirto, kemah ini dilaksanakan di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur Jakarta dan diikuti oleh 816 peserta didik, yang berasal dari Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Kegiatan juga didampingi oleh Kakak pendamping dari 34 provinsi seluruh Indonesia.
Pelaksanaan peringatan maupun kegiatan kepramukaan selama ini memang masih belum terlalu terbuka bagi difabel. Kegiatan pramuka memang masih berdasar pada kegiatan yang sifatnya fisik, seperti berkemah, api unggun atau lintas alam. Karena sifatnya yang menggunakan sumber daya fisik yang besar, difabel kerap tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan kepramukaan.
Langkah yang diambil oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut diapresiasi dalam melaksanakan peringatan hari Pramuka bagi difabel. Peringatan seperti ini bisa menjadi gambaran bahwa berkegiatan pramuka bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk difabel. Tinggal bagaimana modifikasi akses dalam pelaksanaan kegiatannya. Karena yang tidak kalah penting dalam kegiatan kepramukaan adalah nilai-nilai seperti tanggungjawab, keberanian, kepemimpinan dan kemandirian. Semua itu adalah nilai universal yang harus dimiliki oleh setiap manusia, tidak tergantung pada apa latar belakang kehidupannya.
Meski begitu, ada hal yang tidak kalah krusial dalam menyelami makna kepramukaan, yaitu sifat untuk bisa peduli terhadap sesama. Peduli di sini bisa bermakna sangat luas, tidak melulu menolong orang yang sedang kesulitan. Apalagi jika dikaitkan dengan isu difabel yang biasanya melihat difabel dalam kacamata ketidakmampuan sehingga sifat kepedulian yang bobotnya malah superior kepada inferior. Peduli dalam kacamata pramuka adalah peduli bahwa setiap manusia memiliki kekhasan masing-masing, peduli bahwa dari kekhasan tersebut, semua insan manusia harus memperoleh kesempatan yang sama dalam berkarya dan berkehidupan.
SIfat peduli seperti ini sangat penting diaplikasikan melalui pramuka dengan daya lingkupnya yang berjenjang dari usia SD sampai remaja. Bahkan, Presiden Joko Widodo sudah meresmikan program pramuka yang ditujukan untuk anak-anak usia PAUD. Jika bisa dikemas dengan nilai hak asasi manusia yang tepat, pramuka bisa menjadi ajang pembelajaran tentang isu difabel yang sangat bagus. Peringatan maupun kegiatan kepramukaan tidak harus lagi terbatas pada segregasi difabel dan nondifabel. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak perlu membuat peringatan hari Pramuka khusus untuk difabel, namun langsung mengintegrasikan kegiatan kepramukaan antara difabel dan nondifabel dengan modifikasi yang malah akan menambah nilai pramuka itu sendiri.
Dasar berpikir menghadirkan kegiatan kepramukaan yang terbuka untuk semua pihak adalah semangat dalam mengakomodasi kepentingan seseorang untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan dan mendapatkan penghargaan diri sama seperti yang lainnya. Dengan semakin luasnya teknologi maupun informasi, pengetahuan tentang desain kemah atau kegiatan kepramukaan yang inklusif semakin mudah didapatkan. Difabel berhak untuk bisa mengakses kegiatan kemah, jelajah alam maupun kegiatan kepramukaan lainnya.
Peran kegiatan kepramukaan yang aksesibel dan inklusif juga semakin besar mengingat Indonesia memiliki sejarah kebencanaan yang besar. Peran pramuka bagi pelajar kemudian begitu penting karena proses pembelajaran tentang mitigasi kebencanaan juga diajarkan sejak dini melalui kegiatan kepramukaan. Selama ini, pengurangan resiko bencana bagi difabel di Indonesia memang masih terbatas mengingat luas wilayah Indonesia. Selain itu, setidaknya baru ada tiga organisasi Internasional yang melakukan proses pengenalan pengurangan resiko bencana khusus bagi difabel di Indonesia. Berdasarkan data dari Japan Disability Forum, angka kefatalan korban bencana difabel empat kali lebih besar dari pada korban nondifabel. Selain itu, 63% difabel membutuhkan bantuan evakuasi pada saat terjadinya evakuasi dan 57 % difabel kesulitan mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai pengurangan resiko bencana.
Difabel rentan mendapatkan resiko kebencanaan yang besar karena terbatasnya akses informasi tentang kebencanaan. Selain itu, difabel rentan tidak diutamakan saat proses evakuasi karena minimnya persiapan dan perencanaan mitigasi bencana yang inklusif. Banyak tempat pengungsian yang masih belum aksesibel bagi difabel karena persepsi bahwa difabel yang menjadi pengungsi harus ditempatkan di tempat yang khusus. Pada masa setelah bencana, pembangunan fasilitas yang hancur karena efek bencana juga jarang melibatkan difabel dalam perancangannya sehingga desain yang hadir kembali tidak aksesibel bagi difabel. Selain itu, difabel juga rentan mengalami kerugian secara sosioekonomi pada saat dan setelah bencana hadir. Mereka rentan menjadi lebih miskin karena bencana.
Ketika difabel bisa mengakses kegiatan kepramukaan yang aksesibel dan inklusif, kesempatan untuk mendapatkan ilmu tentang mitigasi bencana juga akan semakin tinggi. Mereka tidak hanya akan mandiri ketika menjadi korban bencana, namun juga bisa menjadi aktor yang aktif dalam melakukan mitigasi kebencanaan yang inklusif. Peran kegiatan kepramukaan menjadi krusial karena alasan ini.
Penulis : Yuhda
Editor : Ajiwan Arief enulis: y