Lompat ke isi utama
ilustrasi perundungan pelajar

Dunia Pendidikan dan Bullying yang Mendominasi

Solider.id,Yogyakarta - Setiap kali mendengar ada tindak perundungan (bullying) terhadap difabel, tak ayal rasa sedih menyeruak. Terlebih ketika bullying terjadi pada para siswa di sekolah, dengan pelaku yang tidak lain teman sebaya atau teman sepermainan. Mirisnya lagi ketika para guru di sekolah tidak bersikap atas perlakukan bully dan dampak psikologis yang ditimbulkan bagi difabel sebagai korban.

Bahkan, efek dari bullying tidak hanya pada korban, tetapi juga pelaku, dan juga beredampak  psikologis terhadap orang-orang disekitar yang menyaksikannya. Sebagaimana dilansir stopbullying.gov dalam Effects of Bullying disebutkan bahwa tindak perundungan (bullying) dapat mempengaruhi korban, pelaku, dan pihak yang menjadi saksi tindak perundungan itu sendiri. Bullying bisa berdampak negatif pada kesehatan mental. Lebih buruk lagi, bullying bisa membuat seseorang memiliki niat bunuh diri atau melampiaskannya pada penggunaan obat-obatan terlarang.

Sampai  saat ini pelanggaran hak anak difabel di dunia pendidikan masih didominasi perundungan atau bullying. Baik bullying dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik (psikis) yang dilakukan oleh siswa lain. Dan, disadari atau tidak, bullying yang terjadi di dunia pendidikan sering kali kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya korban akan mengalami bullying berulang atau berkelanjutan.

Menghancurkan mental

Sebagaimana dituturkan Dessy Mardiana, ibu dengan anak lambat belajar (slow learner) menuturkan kepedihannya saat putranya dibully. Bagi Dessy beban mental yang ditanggung anaknya menjadi perhatian utamanya. Dirinya tidak tega saat mendapati putranya pulang sekolah dengan kondisi habis dibully. Karena tidak hanya berupa kata-kata hinaan, melainkan juga berupa tindakan fisik, pemukulan.

“Bagi saya yang paling berat beban mental anak saya pascaperundungan. Karena dia lebih sering diam, tanpa kata-kata. Pernah suatu hari pulang dalam kondisi kotor, selang beberapa hari kemudian badannya lebam-lebam. Hati orang tua mana yang tega menyaksikan anak kita diperlakukan demikian, dihina, disakiti?” keluh Dessy.

Bahkan putranya juga pernah dikunci di dalam musholla, dan berbagai perilaku bullying lainnya. Sementara, terang Dessy, guru masih menganggap perundungan adalah hal biasa. Dan sang putra cenderung tertutup, menarik diri dan menyendiri. Bagi dia, bullying akan menghancurkan mental anak.

Butuh psikolog

Langkah yang dilakukan Dessy yakni membawa anaknya rutin konsultasi dengan psikolog di Puskesmas Mantrijeron. Konsultasi dengan psikolog sangat saya butuhkan, mengingat anaknya yang cenderung diam akibat perundungan.

Dessy juga mengajukan permohonan kepada pihak sekolah adanya pendampingan bagi putranya. Namun hingga saat ini belum mendapatkan izin dari pihak sekolah. Sementera perundungan masih terus berlanjut, tetapi lebih banyak pakai “jalur preman”, demikian terang Dessy.

Selanjutnya Dessy memutuskan untuk menyekolahkan anak lelakinya ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Memberikan rasa nyaman, dan menghindkan diri dari perilaku bullying menjadi alasan. “Selepas SMP di sekolah inklusi, saya akan pindahkan ke SLB untuk SMA-nya. Semoga trauma karena bully pelan-pelan dapat diminimalisir, bahkan disembuhkan dengan bersekolah di SLB,” harapnya.

Tidak jauh berbeda dengan Dessy Mardiana, pengalaman mendapati sang anak  mendapatkan perlakukan perundungan juga dialami oleh seorang ayah bernama Joni Yulianto.

Menurut Joni, dampak perundungan dapat mengganggu perkembangan mental dan pribadi anak sebagai korban. Putri keduanya yang terlahir dengan cerebral palsy ringan sejak usia dini bersekolah di sekolah reguler (inklusi). Saat ini tercatat sebagai siswa kelas dua sebuah sekolah inklusi. Tak pelak bullying kerap menghampiri gadis kecilnya. Benar saja dampak dari bully nyata terlihat pada sikap dan perilaku putrinya.

“Pengalaman kami, setiap hari saya dan istri harus meng-counter bekas-bekas perundungan yang dialami Tata (nama putri mereka). Tak jarang dia pulang sekolah dengan emosi yang buruk dan mengiyakan label 'cacat' yang didapatnya dari sebagian teman-teman sekolahnya,” ungkap Joni.

Pastikan rasa nyaman

Setiap orang tua sudah pasti akan mengambil sikap melindungi dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak mereka. Terlebih terhadap anak yang mengalami bullying. Bagaimana dengan Joni dan sang istri?

“Memindahkan ke sekolah segregasi bukan pilihan kami. Sehingga buat kami pilihannya masih sebatas memastikan dia punya support group yang memastikan rasa aman dan menguatkan. Sembari tak bosan-bosan kasih pemahaman ke guru dan teman sekolahnya,” terang Joni.

Cerita lain datang dari seorang aktivis yang juga jurnalis, Astuti Parengkuh. Bullying yang dialami tetangga depan rumahnya diceritakan kepada Solider. Erma (19) Down Syndrome adalah siswa sebuah Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) di Kota Solo.

Meski sekolah di SLB tak pelak bullying juga dialami Erma. Mendapati kondisi tersebut sang ibu yang kebetulan berjualan di kantin sekolah, tidak tinggal diam. Dia selalu mengawasi ketat Erma, ia berjaga-jaga jika ada murid lain yang akan mengganggu Erma.

Bahkan, ungkap Astuti, bullying pada Erma tidak hanya didapati dari teman-teman sekolah Erma. Melainkan juga dari para tetangganya, yang notabene adalah orang dewasa.

“Miris, Erma lebih sering kabur-kaburan baik dari kelas, bahkan kabur dari rumah. Itu dampak bullying yang dialami Erma,” tutur Astuti.

Tips hindari bullying

Cerita lain datang dari Theresia Siwi Susilaningrum. Kepada Solider, Selasa (21/5) dia menuturkan bahwa putranya yang bersekolah di Sekolah Dasar inklusi selama ini tidak pernah mengalami bullying. Secara kebetulan mereka telah berteman sejak dari Taman Kanak-Kanak. Sehingga secara psikologis positif telah terbangun. juga kebetulan ada kakak yang sekolah di sekolah yang sama.

Nathan Tristhan Purwadi, nama sang anak. Bagaimana Nathan bisa terhindar dari bullying, menarik untuk disimak. Untuk itu Siwi memiliki  tips menghindarkan anaknya dari tindakan perundungan. Tips tersebut antara lain: (1) membayar guru pendamping, (2) orang tua mengambil posisi strategis atau aktif di sekolah, (3) membangun komunikasi harmonis dengan para guru dan pengurus sekolah, (4) membangun chemistry atau kecocokan satu dengan yang lain, dan (5) aktif berpartisipasi untuk kemajuan sekolah.

Menurut Siwi, tindakan perundungan bisa jadi terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik antara orang tua dengan sekolah. “Terkadang bully bisa muncul dari orang tua, dan anak-anak hanya mengikuti saja. Maka dari itu menjalin komunikasi dan membangun chemistry diperlukan, agar anak kita terhindar dari perundungan,” tutup Siwi.

 

Wartawan: harta nining wijaya

Editor       : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.