Lompat ke isi utama
suasana peragaan busana difabel

Aksi Panggung Para Model Difabel Mampu Geser Stigma

Solider.id, Yogyakarta - Minggu sore (19/5/2019) lewat aksi panggungnya, para model difabel membuktikan bahwa kondisi yang berbeda bukan penghalang untuk mengekspresikan diri. Dua puluh model difabel berlenggok di karpet merah bersama enam model nondifabel. Ada yang menggunakan kursi roda, krug penyangga tubuh, ada pula yang tanpa alat bantu.

Atmosfir inklusif terlihat dan dapat dirasakan pada peragaan busana yang digelar di halaman Kantor Surat Kabar (SKH) Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Ratusan pengunjung menyaksikan gelaran fashion show inklusif yang pertama kali dihelat di Kota Yogyakarta.

Reka, salah satu pengunjung mengapresiasi gelaran fashion show inklusif sore itu. Bagi Reka aksi panggung para model difabel, meski mereka bukan profesional cukup membuka cara pandangnya. Dia berujar bahwasanya kesempatan harus dibuka lebar untuk  para difabel, dalam berbagai kesempatan. Dengan demikian masyarakat luas akan memandang difabel bukan pada difabelnya, melainkan pada sosok manusia yang memiliki hak yang sama.

“Meski ini bukan fashion show yang diperagakan oleh para model profesional, tapi mampu membuka cara pandang saya terhadap difabel. Ini bukti bahwa keterbatasan yang ada pada mereka tidak menjadi hambatan. Mereka bisa melakukan apa saja, asal ada kesempatan. Jadi berbagai kesampatan harus dibuka lebar. Agar masyarakat memandang mereka sebagai manusia utuh dengan seluruh hak yang sama dengan manusia lain,” ujarnya.

Sementara bagi pengunjung dari Magelang bernama Angga, gelaran fashion show itu mengingatkan pada saudaranya yang juga difabel. Peragaan busana sore itu menginspirasi dirinya untuk dapat memotivasi saudaranya yang tuli dan juga piawai menjahit. Untuk itu Angga merasa beruntung bisa berkesempatan menyaksikan fashion show inklusif itu.

“Saya merasa beruntung dapat menyaksikan fashion show ini. Saya akan menunjukkannya pada saudara saya foto-foto ini agar dia mau berusaha lebih. Biar dia merasa dihargai, merasa dapat berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Memiliki motivasi lebih untuk terus berkarya,” ungkapnya.

Fashion show inklusif itu dimotori Jogja Creative Design (JCD). Sebuah komunitas desainer muda dengan karya-karya unik berbahan etnik. Kain tenun, batik dan lurik, kalung manik-manik rancangan enam desainer JCD dipertontonkan sore itu.

Mengedepankan nilai-nilai inklusivitas sosial, kegiatan bekerja sama dengan Himpunan Wanita Difabel Indonesia (HWDI) Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Peluang belajar dan usaha

Salah seorang model difabel bernama Dyah menuturkan pada Solider, Senin (20/5). Dia menuturkan pada awalnya tidak yakin bisa. Tapi berkat dorongan kawan difabel lain dirinya menepis ketidak yakinan itu. Dia juga menuturkan bagaimana dia yang grogi para aksi perdananya itu. Tetapi dengan keyakinan akhirnya mampu tampil menjadi dirinya.

“Awalnya tidak yakin bisa. Bahkan saat di di karpet merah grogi. Tapi dengan keyakinan bahwa saya juga bisa, apapun hasilnya saya berani tampil dengan apa adanya. Rasanya lega dan bahagia,” Dyah bercerita pengalamannya.

Dengan bekerja sama dengan JCD, Dyah merasa mendapatkan tempat belajar baru. Selain belajar tentang dunia model, dia juga belajar bagaimana memadu madankan kain menjadi sebuah karya busana yang menawan. Hal itu sangat menunjang dirinya yang berprofesi sebagai penjahit busana.

“Saya menjadi tambah ilmu. Tidak hanya soal memperagakan busana, tetapi juga dapat tambahan ilmu memadukan kain dan mengembangkan model. Hal ini menjadi peluang usaha buat kami para difabel yang rata-rata berprofesi sebagai penjahit,” pungkasnya.  

 

Wartawan: harta nining wijaya

Editor       : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.