Lompat ke isi utama
Anggiasari salah saatu caleg difabel

Anggiasari Puji Aryatie: Pentingnya Keterwakilan Difabel pada Panggung Politik Sebuah Negeri

Solider.id. Yogyakarta - Terjun ke dunia politik, menjadi pilihan seorang Anggiasari Puji Aryatie (34). Ia adalah salah satu perempuan calon legislatif (caleg) di antara 41 caleg difabel pada pemilihan umum (Pemilu) 2019. Keputusan terjun ke dunia politik yang dia ambil, tidak semata untuk kepentingan dirinya, melainkan sebuah perjuangan untuk menyuarakan dan mengawal hak-hak difabel dan perempuan. Dengan mengusung cita-cita besar yakni lahirnya kesetaraan hak-hak difabel dan perempuan, menjadi triger keputusannya terjun di dunia politik.

Dorongan berpolitik juga diperolehnya dari rekan-rekan sesama difabel, demikian pula non difabel. Berkendaraan politik partai dengan nomor urut 6 (enam) yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem), perempuan yang sedari awal konsen dengan isu difabel dan gender ini memaknai pentingnya sebuah keterwakilan.

Keterwakilan perempuan difabel di parlemen, guna mengawal keterlibatan difabel dan perempuan dalam setiap isu pembangunan. Memastikan keterlibatan difabel sekaligus perempuan sedari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi, demikian pula dalam penganggaran, dalam setiap implementasi kebijakan.

Mengontrol kebijakan

Dengan adanya keterwakilan perempuan difabel dalam panggung politik sebuah negeri, akan terdapat peluang lebih untuk mengontrol lahirnya berbagai kebijakan berperspektif difabel dan perempuan. Terpenuhinya hak-hak warga negara difabel dan perempuan, secara pribadi menjadi alasan bagi Anggiasari menerima tawaran pencalonan diri sebagai anggota dewan pada pemilu 2019 ini.

Lebih jauh Anggiasari, tenaga ahli isu difabel dan gender itu memaparkan pentingnya sebuah keterwakilan. Dia memandang bahwa kehadiran perempuan difabel di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan dan difabel. Tanpa ada keterwakilan perempuan di parlemen, maka kecenderungan menempatkan kepentingan laki-laki sebagai pusat dari pengambilan kebijakan akan sulit dibendung. Demikian pula tanpa keterwakilan difabel, maka kebijakan yang lahir akan jauh dari perspektif difabel.
Rendahnya keterwakilan perempuan dan difabel di ranah politik dapat terbaca jelas dari kebijakan yang lahir selama ini, kata dia. Yakni, masih mengakar kuat paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Terlebih warga negara difabel, masih saja ditempatkan sebagai warga kelas dua yang masih sering diabaikan pemenuhan hak-haknya, bahkan keberadaannya.

Di mata Anggiasari, institusi politik pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan difabel demikian juga perempuan. Nyaris tidak ada langkah berarti yang menunjukkan komitmen parpol pada pemberdayaan politik difabel dan perempuan. Untuk itu, keterwakilan dirinya sebagai seorang difabel perempuan sangat memegang peran strategis dalam mendobrak budaya abai terhadap difabel dan perempuan yang terlanjur mengakar.

Punya nilai tawar

Anggiasari mengungkapkan bahwa dirinya telah mensosialisasikan pentingnya keterwakilan difabel perempuan di kursi parlemen. Sosialisasi dilakukan pada organisasi dan komunitas baik difabel maupun masyarakat sipil. Dengan sosialisasi yang sudah dilakoninya dia berharap akan tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat secara luas, lebih spesifik difabel dan perempuan pentingnya keterwakilan. Selanjutnya dapat memberikan dukungan, sehingga suara pemilih (vote getter) difabel dan perempuan  dan masyarakat secara ;luas meningkat. Demikian yang dituturkannya kepada Solider, Rabu (27/3/2019).

Anggiasari juga menaruh harapan, bahwa pilihannya terjuan di panggung politik ini bisa menjadikan sebuah edukasi. Sebuah pembelajaran bahwa perempuan dan difabel itu bukan orang kelas dua, bukan pula pelengkap isi dunia. Perempuan difabel memiliki nilai, memiliki nilai tawar (bargaining) dalam memajukan pembangunan sebuah negeri.

“Untuk itu, penting sekali arti sebuah keterwakilan difabel sekaligus perempuan pada panggung politik sebuah negeri,” pungkas Anggiasari.

 

Wartawan: Harta Nining Wjaa\ya

Editor : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.