Lompat ke isi utama
difabel dalam pemilu

Pentingnya Kedekatan Politik dan Independensi Organisasi Difabel

Solider.id, Malang - Isu difabilitas belakangan makin menjadi arus utama strategi parpol maupun para kandidat pemilu dalam menjaring suara. Mereka yang sama sekali diketahui tidak pernah berurusan dengan difabel pun tiba-tiba mengesankan dirinya terlihat akrab dan peduli pada kelompok yang kerap kali disebut rentan ini. Kaum difabel juga makin mengambil peran dalam kontestasi politik kali ini. Dalam Pemilu 2019 ini sekira 40 difabel maju dalam pemilihan legislatif.

Sejak disahkannya Undang-undang RI Nomor 8 tahun 2016 terjadi perubahan penting dalam struktur sosial dan pola kebijakan pemerintah. Apalagi isu difabilitas bukan lagi mengacu pada soal medik dan charity melainkan human right basic atau hak asasi manusia. Para pemangku kebijakan dan stakeholder apabila dalam menjalankan fungsinya tidak mengacu pada aspek universal yang memuat difabel di dalamnya akan dicap tidak inklusif dan tidak mengindahkan hak asasi manusia.

Namun sayangnya trend pengarusutamaan isu difabel ini belum dibarengi dengan pengetahuan yang memadai. Terkait dengan isu difabilitas. Para kandidat yang terlibat dalam pesta demokrasi pun belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang difabilitas. Apa yang disampaikan dalam visi dan misi para kandidat tentu saja tidak bisa menjadi tolok ukur komitmen mereka terhadap masyarakat difabel. Karena sudah pasti apa yang mereka sampaikan tak lepas dari strategi untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya.

Salah satu cara mengukur komitmen kepedulian mereka terhadap difabel secara riil adalah menelusuri rekam jejak mereka. Namun nampaknya dalam penelusuran penulis masih minim orang  yang fokus pada isu-isu difabel sebelum maju dalam kontestasi pesta demokrasi. Sehingga atas dasar inilah beberapa kawan difabel memutuskan diri untuk maju bertarung dalam pemilu 2019 ini.

"Banyak orang maupun organisasi yang bersikap baik kepada difabel namun yang fokus pada isu-isu pemenuhan dan penghormatan hak masyarakat berkebutuhan khusus ini masih minim," ungkap caleg difabel asal kota Malang Ahmad Sana'i. Dan ini adalah dua hal yang berbeda. Bersikap baik pada difabel selama ini masih banyak mengacu kepada sikap belas kasihan, sedangkan isu-isu difabel yang saya maksudkan adalah berbasis human right atau Hak Asasi Manusia.

Lebih lanjut pria difabel daksa asal Kecamatan Kedung Kandang ini mengajak masyarakat luas untuk tidak segan memberikan masukan kepada para kandidat yang mereka dukung. "Jangan sungkan memberikan masukan masukan kepada para kandidat pemilu khususnya bagi saya, agar kelak nantinya jika menjadi anggota dewan dapat memahami apa yang menjadi masalah krusial di dalam masyarakat sehingga apa yang diperjuangkan di DPR nyambung dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat," tuturnya.

Pendekatan berkelanjutan terhadap para kandidat

Tren pencitraan para kandidat kontestan pemilu saat ini adalah dengan menggelar debat terbuka. Kontestan pemilu yang siap melakoni debat terbuka setidaknya menunjukkan kesiapan mereka atas konsep-konsep perubahan yang akan diusung. Debat terbuka seperti telah dilakukan untuk kampanye Pilpres 2019. Ada debat-debat seperti debat capres, debat cawapres hingga debat timses. Sedangkan kontestan yang enggan masuk dalam kegiatan kegiatan diskusi publik mengesankan ketidaksiapan mereka dan ketidakjelasan konsep-konsep yang mereka usung.

Acara debat para kontestan dalam hal ini bukan hanya digelar oleh KPU saja melainkan masyarakat. Seperti debat timses yang belum lama digelar oleh Pokja koalisi nasional organisasi disabilitas bekerjasama dengan KPU. Serta debat-debat dan diskusi di tingkat lokal seperti dilakukan di kota Malang yang disebut sebagai Sinau Embongan. Adanya debat-debat tersebut tentu saja sebagai upaya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat, juga sebaliknya merupakan upaya edukasi masyarakat kepada sesama masyarakat pesta demokrasi pemilu serta penyelenggara pemilu.

Yang masih minim terjadi justru edukasi partai politik kepada masyarakat. Partai politik selama ini dikenal sebagai mesin penggalang massa yang hadir di tengah masyarakat ketika masa-masa kampanye saja. Apa yang telah dilakukan oleh kelompok masyarakat di kota Malang yang menggelar Sinau Embongan yang notabenenya bener-bener dilakukan di pinggir embong atau pinggir jalan ini semestinya bisa menjadi inspirasi bagi para politikus untuk melakukan hal yang sama.

Pentingnya edukasi politik dalam bentuk debat publik dinyatakan oleh Ketua Umum Panitia Pemilu Akses Disabilitas, Ariani Soekanwo bahwa acara debat dimaksudkan untuk melahirkan komitmen politik kedua belah pihak berkaitan dengan isu disabilitas. "Format debat tim sukses ini diharapkan dapat mengeluarkan suatu bentuk komitmen politik kedua timses paslon presiden dan wakil presiden untuk menjadikan penyandang disabilitas yang produktif, berkualitas, dan mandiri atas dasar kesetaraan hak dalam masyarakat," ujar Ariani, akhir Februari lalu di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat.

Terlepas dari berbagai teknik edukasi politik dari pemerintah ke masyarakat atau kelompok masyarakat kepada masyarakat luas lainnya, direktur SIGAB, Suharto menilai bahwa pemahaman tentang isu-isu difabilitas kandidat baik capres, cawapres, caleg, maupun calon senat masih minim.

"Jika melihat debat-debat capres cawapres kemarin, memang belum ada pendalaman para kandidat terhadap isu isu disabilitas. Kualitas mereka baru mengetahui persoalan-persoalan difabel yang masih dangkal, tetapi persoalan-persoalan yang lebih mendalam misalnya terkait dengan persoalan hukum, pendidikan inklusif pelayanan BPJS serta pemenuhan alat bantu belum dibahas," ungkap Suharto (21/3) kepada Solider di Jakarta.

Suharto juga berharap para kandidat tidak hanya menyampaikan misi dan visi saja melainkan lebih banyak melakukan komunikasi dengan organisasi-organisasi difabel untuk memetakan isu, memecahkan masalah dan juga mencari solusi atas persoalan persoalan yang ada tersebut. Karena kalau misi dan visi saja tidak cukup, tandasnya.

Lebih lanjut Suharto menjelaskan bahwa komunikasi para kandidat dengan organisasi-organisasi difabel telah dilakukan di Jakarta. Seperti belum lama dilakukan oleh Pokja Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas bekerjasama dengan KPU dengan cara menggelar debat timses capres. Suharto berharap hal ini pun bisa dilakukan oleh organisasi-organisasi difabel di daerah meski tantangannya adalah banyaknya kontestan pada pemilu kali ini.

"Kalau itu dilakukan di semua daerah kemudian dikonsolidasikan secara nasional sebagai masukan bagi calon presiden dan wakil presiden saya kira itu akan sangat bagus," kata Suharto. Jadi bisa mewakili suara-suara di semua daerah. Mumpung lagi ada event pemilu, harapannya juga lebih banyak berkomunikasi dengan para kandidat, tuturnya. Tidak hanya dengan capres cawapres tetapi juga para legislator-legislator yang ada di daerah.

"Jadi saya kira organisasi dibuat lebih banyak praktik melakukan diskusi-diskusi dengan para kandidat sehingga ketika jadi nanti mereka sudah punya perspektif difabilitas," pesan pria difabel netra ini. Bahkan setelah terpilih pun pendekatan dan komunikasi harus tetap dilakukan agar para kandidat yang terpilih tersebut mempunyai visi misi yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh organisasi-organisasi difabel.

Mendorong pendekatan kolaboratif kandidat dan masyarakat

Diskusi publik dalam bentuk debat timses capres cawapres yang digelar oleh Pokja Koalisi Nasional bekerjasama dengan KPU layak menjadi contoh atau model bidang politik. Menurut ketua KPU, Arief Budiman acara semacam ini dapat mendorong peran aktif dan partisipasi publik dalam pemilu. Karena ini bukan hanya membahas tentang visi-misi kandidat, tetapi ini juga mendorong bangkitnya gairah dari masyarakat untuk mau berperan aktif dalam pemilu," tuturnya. KPU juga menyatakan dukungannya setelah penuh terhadap kelompok-kelompok yang menyelenggarakan acara obat semacam ini.

Forum Malang Inklusi dalam pengalaman pesta demokrasi untuk pilwali kota Malang 2018 lalu, selain menyatakan sikap netral tidak berpihak pada salah satu paslon juga berupaya melakukan pendekatan terhadap ketika paslon sekaligus untuk memastikan elaborasi isu-isu inklusivitas di dalam misi dan visi mereka. Rencananya akan dilakukan deklarasi paslon pilwali peduli difabel. Langkah yang dilakukan ketika itu adalah dengan menggandeng KPU kota Malang untuk mempertemukan ketika paslon yang ada di kota.

Bedanya dalam hal ini KPU kota Malang menolak permintaan Forum Malang Inklusi untuk berkolaborasi dengan alasan hal tersebut di luar ranah tugas dan tanggung jawab KPU. Pengalaman ini apabila dikaitkan dengan kegiatan Pokja koalisi nasional organisasi penyandang disabilitas yang pada bulan Februari lalu bekerjasama dengan KPU mengesankan bahwa masih adanya perbedaan persepsi terhadap kegiatan edukasi tersebut.

Langkah lainnya yang kemudian ditempuh oleh Forum Malang Inklusi adalah dengan menggandeng salah satu lembaga masyarakat. Namun dalam prosesnya tetap saja belum menemui hasil yang diharapkan karena dari pihak ketiga paslon yang sulit untuk bergabung dalam satu forum. Meski belum terwujud, yang positif dari hal ini adalah telah adanya upaya dari masyarakat difabel untuk menjalin komunikasi dengan para kandidat secara terbuka.

Kesadaran pendekatan kolaboratif antara kandidat dan masyarakat nampaknya perlu terus didorong. Dikarenakan fenomena yang ada di masyarakat adalah kecenderungan para kandidat yang masih enggan untuk membuka ruang komitmen atau kesepakatan bersama ketika mereka terpilih nanti. Sedangkan dari pihak masyarakat sendiri pola pikir ekonomi praktis masih menjadi tujuan untuk memenuhi kebutuhan hari ini. Pemicu dari kedua hal tersebut dalam hemat penulis adalah faktor kemiskinan kultural yang bercokol dalam benak sebagian kandidat dan masyarakat.

Kandidat enggan membuka ruang komitmen dengan masyarakat dengan maksud enggan berbagi project dan peluang-peluang ekonomi lainnya ketika dia sudah terpilih. Dari sini pula artinya terdapat itikad terselubung seseorang masuk dalam kontestasi politik pesta demokrasi untuk kepentingan ekonomi semata. Sedangkan dari masyarakat sendiri yang memilih politik ekonomi praktis untuk pemenuhan kebutuhan hari ini menunjukkan masih minimnya kesadaran terhadap dampak-dampak sosial dalam jangka panjang.

Peran penting KPU dan komunitas difabel

Undang-undang Pemilu tidak mau ajukan adanya debat politik maupun diskusi publik. Akan tetapi ketika Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara dan penanggung jawab jalannya pesta demokrasi mengagendakan adanya debat kandidat maka hal ini wajib dipenuhi. Dari sinilah terdapat celah bagaimana KPU mendorong partai politik dan para kandidat untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Sosialisasi Pemilu yang diadakan KPU untuk masyarakat selama ini lebih pada bagaimana cara mencoblos dan ajakan untuk tidak golput. Khususnya untuk masyarakat difabel sosialisasi lebih banyak pada simulasi-simulasi bagaimana penggunaan template braille misalnya. Atau bagaimana memahamkan kawan-kawan tuli agar memahami alur atau mekanisme pencoblosan. Sementara hal penting yang masih kerap terlewatkan adalah mendorong pendidikan politik dari parpol dan kandidat untuk masyarakat.

Melihat kewenangan KPU untuk mengadakan kegiatan semacam debat publik mestinya juga menjadi celah bagi kelompok difabel menggandeng Komisi Pemilihan Umum tersebut untuk melakukan sosialisasi-sosialisasi yang lebih edukatif. Teknisnya bisa diawali dengan mengadakan audiensi dengan KPU. Disarankan audiens iini tidak dilakukan oleh satu organisasi saja melainkan menggandeng sesama kelompok difabel. Pergerakan secara forum lintas organisasi difabel dipandang lebih efektif karena menunjukkan persoalan yang diusung adalah kepentingan publik bukan kelompok tertentu saja.

Namun dari berbagai peluang ini kesadaran politik tetap harus ditumbuhkan dari kalangan dibawa oleh sendiri. Seperti disampaikan oleh ketua HWDI Malang, Siswinarsih dalam diskusi bersama solider. "Kesadaran politik difabel itu masih sangat beragam, yang sebagian orang masih alergi atau enggan berdekatan dengan para caleg, ada juga yang terbuka bahkan beberapa menjadi timses."

Boleh-boleh saja difabel menjadi tim pemenangan atau menunjukkan kedekatan dengan kandidat tertentu, lanjut Siswinarsih. Utamanya adalah kandidat dari kalangan difabel penting kita support untuk memudahkan akses ke birokrasi di kemudian hari. Akan tetapi sebagai organisasi difabel harus tetap independen dan tidak berpihak kepada kandidat manapun, tandas Siswinarsih mengingatkan. Hal ini sangat penting agar kita tetap mampu menjalankan fungsi organisasi sebagai kontrol kebijakan.

 

Wartawan: Ken Kerta

Editor       : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.