Pemuda Difabel yang Khusyuk Bermusik
Solider.id, Yogyakarta- Tepat pada waktu tengah hari, saya duduk bersebelahan dengan laki-laki berbadan tambun yang sedang asyik bermain gawai. Saya mengajaknya bersalaman, tapi ia tidak tahu kemana tangannya harus mengarah. Saya pun meraih tangannya. Ia mungkin tahu saya duduk di sebelahnya setelah saya menyapa. Ia seorang difabel netra.
Namanya Arif Prasetyo. Kamis (6/12) itu kami bertemu di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga. Sebuah unit layanan yang juga berperan sebagai pusat studi dan kajian tentang difabel.
Awalnya, saya mewawancarinya terkait aksesibilitas perpustakaan kampus bagi tuna netra. Namun, setelah mengetahui ia juga seorang musisi, saya tertarik untuk mengobrol lebih lanjut.
Arif berasal dari keluarga sederhana. Ibunya berdiam di daerah asalnya, Gunung Kidul, sementara ayahnya tinggal di daerah tempat kerjanya di Yogyakarta. Ia sendiri tinggal di asrama yang tak jauh dari tempat dulu ia di Sekolah Dasar, di Yogyakarta.
Hingga lulus Sekolah Menengah Pertama, ia tetap tinggal di asrama lalu kemudian hidup di indekos di dekat MAN 2 Sleman, tempat ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas. “Aku mau keluar dari zona nyaman. ngekos, nyari-nyari kegiatan yang menurutku bisa membawa kesuksesan,”ujarnya sambil sedikit tersenyum.
Arif bisa memainkan berbagai alat musik. Ia tidak menyebut alat musik apa saja yang bisa ia mainkan. Tapi ketika saya menebak dan menyebut alat musik yang saya ketahui satu per satu, ia menjawab “bisa.”
Mulai dari alat musik band seperti drum, gitar, bass, dan keyboard, hingga alat musik tradisional seperti Saron, sebuah alat musik yang mirip gamelan tapi telah dimodif menjadi nada dasar do-re-mi-fa-so-la-si-do.
Beberapa bulan yang lalu, ternyata saya pernah melihat Arif menunjukkan keahliannya bermain Saron di acara Temu Inklusi di Gunung Kidul. Saat itu ia tampil bersama teman bandnya yang bernama Puser Bumi. Sebuah grup band yang juga beranggotakan orang-orang difabel.
Kali pertama Arif belajar musik ketika menginjak kelas 5 SD saat memelajari mata pelajaran seni. Saat itu ia bermain keyboard dan langsung jatuh cinta terhadap alat-alat musik. Namun, selain di sekolah ia jarang bermain alat musik lantaran tidak memiliki alat musik baik di domisilinya di Jogja maupun di Gunung Kidul, tempat asalnya.
Hingga saat ini ia melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga, alat musik belum pernah menghiasi indekosnya. Ia mengaku tidak punya keinginan untuk membeli alat musik walaupun ia suka memainkannya. Selama ini, ia hanya menggunakan alat musik sanggar di Bantul atau bermain di studio. Terkadang ia juga bermain jika ada seorang teman yang membawa alat musik.
Cara belajarnya pun cukup unik. Jika ia memainkan alat musik tertentu, semisal gitar, ia tidak pernah menghafalkan kunci dasarnya. Ia hanya berusaha mencocokkan lagu tertentu dengan bunyi petikan gitarnya.
“Kalau pakai teori-teori gitu, saya malah mumet (Red: Pusing),” tandas Arif.
Namun, kemampuan Arif tidak bisa diragukan. Ia menyatakan pernah bermain di panggung paling kecil hingga yang paling besar. Namun yang menjadi masalah seringkali desain panggung tidak begitu aksesibel bagi dirinya yang memiliki kemapuan berbeda. “Jadinya kalau naik panggung aja, itu mesti dituntun.”
Salah satu panggung terbesar dan paling aksesibel tempat ia bermain adalah di Bangkok ketika ia ditonton 28 ribu orang. Terdapat guiding block di atas panggung yang ditonton. “Di kaki itu kayak ada kerasa garis gitu, jadi mau jalan cepat atau lari juga bisa,” kisahnya.
Ingatan Arif terhadap momen-momen di panggung yang lain cukup kuat. Arif bisa mengingat detail hari, tempat, jumlah penonton dan lain sebagainya. Ia mengaku hal itu dikarenakan ia sangat menikmati saat-saat ia menghibur penonton.
Bahkan saat konser, Arif selalu berusaha menyanggupi permintaan penonton yang ingin mendengar lagu-lagu tertentu. Walaupun terkadang ia lupa dengan lagu yang pernah ia mainkan, ia tetap berusaha sebisa mungkin menghibur penonton.
Saya teringat dengan musisi-musisi yang sering lupa dengan lirik lagunya sendiri. Sebut saja Dave Grohl, vokalis Foo Fighter yang pernah lupa lirik I’ll Stick Around ketika bermain di panggung. Namun, Dave sangat totalitas ketika menghibur penonton. Di salah satu konsernya di Swedia, 2015 lalu, ia pernah terjatuh dari panggung dan kakinya patah. Beberapa saat kemudian ia berkata pada penonton akan kembali sebentar lagi. Ia benar-benar datang, bermain gitar sambil duduk dengan salah satu kakinya yang telah dibalut gips.
Mendengar pengalaman Arif lebih lanjut membuat saya terbawa ke pengetahuan tentang seni dan kelas sosial. Hingga saat ini, masih ada anggapan bahwa seni yang dinikmati atau dimainkan oleh kalangan tertentu merefleksikan kondisi sosial-ekonominya. Misalnya musik klasik yang dianggap sebagai musik kalangan elit dan musik dangdut yang mencerminkan kalangan miskin.
Arif sebagai musisi difabel yang rentan dalam struktur sosial-ekonomi seakan menembus batas-batas stigma terhadap musik dan kelas sosial. Ia mampu bermain alat musik tradisional dan band, bermain di panggung kecil dan besar, memainkan lagu tradisional hingga lagu pop.
Walaupun saat ini Arif bergulat dengan musik tradisional, ia juga memproduksi lagu-lagu yang menurutnya dikonsumsi oleh kalangan elit seperti jazz. Terkait segmentasi musik, menurutnya yang terpenting adalah bagaimana penonton terhibur.
“Menurut saya musik yang distigmakan untuk kalangan elit itu tetap bisa dinikmati kalangan menengah ke bawah. Tapi kita tetap harus mengikuti selera penonton agar mereka terhibur,” jelas Arif.
Hingga saat ini Arif tetap intens tampil menghibur masyarakat. Ia masih sering bermain musik di kafe-kafe, hingga pentas seni. Terakhir ketika saya menemuinya, ia berkata akan tampil di salah satu pentas di Bantul. “Sampai sekarang masih sering tampil main musik. besok malam minggu ada pentas di Bantul,” tutupnya.
Reporter : M. Sidratul Muntaha
Editor : Robandi