Lompat ke isi utama
Sakidi, modul dan aktifitasnya

Sakidi dan Radio Streaming bagi Difabel Netra

Solider.id, Bandung– Kemampuan difabel kini sudah dapat mengimbangi masyarakat pada umumnya. Geliat ragam prestasi unjuk kompetensi hingga pemberdayaan diri sudah banyak terbukti. Bidang profesi pun kian merambah, dari seni hingga infomasi teknologi. Sebagian banyak individu difabel yang pada akhirnya mampu eksis dan berkembang secara pribadi.

Salah satunya Sakidi, sosoknya tepat disebut sebagai visioner di bidang Informasi Teknologi (IT).

Ia mengawali dari sekedar mengembangkan hobi, pria ini ternyata sangat antusias dalam bidang IT. Tidak tanggung-tanggung, dunia internet marketing menjadi lahan yang dipilihnya untuk terus ditekuni. Untuk sebagian kalangan, memilih menjadi marketer diyakini sangat membutuhkan kejelian tersendiri. Pasar online, diakui lebih banyak menanggung unsur risiko ketimbang pasar offline atau membuka toko langsung sebagai tempat transaksi jual beli. 

“Bidang IT sudah menjadi hobi saya sejak kuliah, sebagai internet markerting dan ternyata mampu menjadi sumber penghidupan sekaligus pemicu untuk saya kembangkan,” terang Sakidi.

Secara pribadi, Sakidi tidak memiliki dasar pengetahuan formal atau latar belakang pendidikan dari infomasi teknologi maupun disiplin ilmu komunikasi. Bermula dari pengalaman, Sakidi yang mengukuhkan dirinya menjadi marketer yang hingga kini akhirnya  mengakui jenis pekerjaan yang digelutinya memang menjanjikan secara finansial.

Mempelajari ilmu infomasi teknologi secara otodidak dirasakan membawa tantangan tersendiri. Bahkan, kini ia mampu menguliknya lebih dalam dengan bantuan komputer bicara. Perangkat komputer yang sudah dilengkapi dengan aplikasi penunjang agar dapat diakses oleh difabel Netra secara umum dalam pengoprasiannya.

Siapa sangka, Sakidi mengembangan ilmu teknologinya dengan merakit radio streaming. Sebuah jaringan radio siaran berbasis online. Kendati ia tidak menyampaikan masa keberadaan radio streamingnya tersebut pada tahun berapa, Sakidi mengingat dengan pasti usia mengelolanya hanya hingga empat tahun saja. “Pernah ada radio streaming yang dilahirkan dan beroperasi selama empat tahun,” katanya.

Sakidi memaparkan lebih rinci lagi, dari segi pencapaiannya ada. Medianya atau radio tersebut sudah tersedia, pelaku atau pengelolanya pun ada, bahkan pendengarnya juga cukup banyak. Namun, karena keterbatasan anggaran yang minimalnya itu di kuota, ia dan timnya terpaksa menutup radio tersebut.

Untuk mempertahankan eksistensi agar tetap dapat berjaya di udara melalui online radio, telah banyak cara dilakukan. Salah satunya adalah urunan atau patungan untuk membiayainya. Akan tetapi, tuntutan kebutuhan hidup jauh lebih darurat lagi. Satu persatu dari tim nya mulai berumah tangga.

“Empat tahun berjalan, respon baik dari para pendengar. Radio online cukup menjanjikan,” kenang Sakidi.

Berdasarkan pemikiran Sakidi, notabennya para difabel Netra identik dengan tiga hal di bidang profesi yaitu pendidik, pemijat, penyanyi. Padahal, masih banyak bidang lain yang bisa digeluti di luar ketiganya. Tidak semua difabel Netra berminat menjadi tenaga pendidik, ada pula yang kurang menyukai keahlian memijat atau menyanyi.

Dengan dibangunnya dunia baru melalui radio streaming akan memberikan alternatif lain kepada difabel Netra untuk berkarir dan berkarya. Pemikiran sederhana yang memiliki dampak luar biasa besar. “Kalau dulu pernah ada radio streaming dan berjalan selama emapt tahun, sekarang mau dicoba kembali dengan langkah yang lebih konkrit,” paparnya.

Ide awal untuk pemunculan kembali radio streaming saat ini adalah dari rekan-rekannya. Mereka para difabel Netra yang menjadikan radio sebagai media informasi sekaligus hiburan, mempunyai hobi di dunia kepenyiaran. Netra identik dengan kepemilikan suara yang bagus, indah didengar. Bukan semata sebagai penyanyi ataupun figur publik speaking.

Lalu, mengapa tidak diadakan pelatihan yang serius agar lebih terarah lagi?

Selain sebagai bentuk pemberdayaan diri, juga untuk mengangkat ekonominya. Berangkat dari titik inilah, Sakidi akhirnya bersedia memegang kepercayaan dari Kementerian Sosial melalui Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) Abiyoso untuk membuat modul radio streaming bagi difabel Netra tingkat dasar.

“Saya diberi amanat untuk membuat modul sekaligus melatih para pesertanya,” ungkap Sakidi.

Ia pun menyadari betul, modul yang dibuatnya dirasa belum maksimal. Tulisan di dalamnya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya semasa mengoperasikan radio streaming dahulu. Dirinya sangat optimis, modul tersebut bisa berguna. Bahasan pada modul pun sengaja diracik dari dasar sekali.

Sakidi yang menuliskan modulnya, mengasumsikan para peserta belum pernah mengetahui tentang aplikasi IT untuk radio streaming. Padahal, kenyataan di lapangan ada yang sudah mengetahuinya, minimal di bagian player untuk menyimpan data musik atau srtimer audio untuk mengalirkannya.

Sosok visioner Sakidi memiliki target tersendiri, dalam waktu dua tahun mendatang, ia akan berupaya bisa memunculkan kembali radio streaming dan hasilnya bisa menjadi ladang penghidupan. Obsesinya, ini bisa dibawa ke ranah komersil tentu saja untuk memenuhi kehidupan dari penghasilannya.

Pendapat Sakidi, radio berbasis online lebih leluasa dari radio konfensional yang masih tersekat dalam pembatasan provider maupun frekuensi. Sayangnya, pemerintah belum menyediakan regulasi khusus untuk radio berbasis online atau radio streaming. Sedangkan untuk radio konfesional sudah ada izin penggunaan frekuensi dan izin usahanya.

“Semoga radio berbasis online atau radio streaming juga ada,” harap Sakidi.

Menyambut antusias para difabel Netra yang ingin mempelajari dunia kepenyiaran, Sakidi menyampaikan, “Minimalnya akan menambah skill atau kemampuan mereka. Dan setelah pelatihan akan dibentuk wadah atau perkumpulan ke-radio-an atau perkumpulan dibidang skill,” tuturnya.

Tergerak hati dari pengalaman pribadi yang kurang minat di bidang pendidik, pemijat dan  penyanyi, Sakidi justru mampu memdobrak jalan alternatif lain yang dapat dirambah oleh para difabel, khususnya Netra. Buah dari hasil pemikiran yang berdasarkan pengalamannya, ia menantang dirinya dengan sebuah pertanyaan besar, “Mengapa tidak memberi warna dalam bidang IT?” ulang Sakidi.

Dengan sadar Sakidi menyetujui, akses informasi terkait difabel masih sangat kurang. Secara pribadi dirinya pun banyak menerima respon dari orang tua yang memiliki anak difabel Netra, tentang bagaimana pola asuh hingga pola hidup yang meski dipersiapkan dan diberikan orang tua terhadap anaknya dengan memiliki gangguan penglihatan.

“Harapannya radio streaming ini akan memberi ruang informasi tersebut,” ucap Sakidi.

Mengakhiri pemaparannya, Sakidi menyampaikan, radio streaming ini nantinya akan terbuka untuk difabel lain. Difabel Netra butuh kolaborasi juga dalam menjalankan atau mengoperasikannya. Jadi, bukan ekslusif khusus difabel Netra saja, melainkan kolaborasi dengan semua jenis kedifabelan pun bisa.

Meski ditinjau dari sisi kemampuannya, Sakidi meyakini, difabel Netra memiliki potensi di bidang ini dan mampu mengoperasikan keberadaan radio streaming secara mandiri nantinya. Akan tetapi, bila dikaitkan dengan unsur kecepatan dalam pelaksanaan tentu difabel Netra pun akan sangat membutuhkan berkolaborasi.

Radio streaming yang akan dibangun kembali ini bukan ekslufif khusus untuk difabel Netra. Kita semua bisa berkolaborasi bersama,” pungkas Sakidi. [Srikandi Syamsi]

The subscriber's email address.