Remaja Difabel Rentan Terpapar Informasi Ekstremisme Kekerasan
Solider.id, Jakarta- Difabel usia remaja dan lanjut usia, utamanya tuli, daksa, dan netra rentan menjadi korban arus informasi yang berbau ekstremisme kekerasan yang banyak terssebar di dunia maya.
Di usia tersebut, difabel usia remaja pengguna internet sedang dalam masa puncak hasrat dalam mencari informasi dan pengetahuan, salah satunya melalui media sosial. Selain karena akses yang minim bagi mereka dalam mendapat pengetahuan di dunia nyata, faktor lainnya adalah perkembangan teknologi informasi itu sendiri yang memungkinkan mereka lebih dekat dengan internet dan dunia maya karena mudah diakses.
Perlu diketahui pula, dalam mengakses teknologi informasi, masing-masing kategori di atas berbeda dalam menggunakan assisstive technology atau alat bantu teknologi dalam menyerap informasi. Difabel netra misal, dapat mengakses informasi melalui aplikasi layar baca seperti, JAWs jika menggunakan internet dan Voice Assisstant jika menggunakan telepon selular. Berbeda dengan difabel tuli dengan hambatan pendengaran yang juga terdapat alat bantu tertentu. Begitu juga dengan difabel daksa.
Perkembangan teknologi membawa banjir informasi yang berdampak pada dua sisi. Pesatnya informasi menjadi berguna bagi pengguna internet karena menambah pengalaman dan pengetahuan, dengan catatan jika konten informasi yang mereka serap mengandung nilai positif. Namun di sisi lain, berdampak buruk jika konten-konten informasi yang diserap pengguna internet mengandung nilai negatif, salah satunya paham ekstremisme kekerasan.
Pada lokakarya Komunikasi Strategis yang dilaksanakan pada 8-10 Oktober 2018, Love Frankie memaparkan data pengguna internet tahun ini. Dari total populasi 262 juta jiwa penduduk Indonesia, pengguna internet mencapai setengah dari total populasi, yakni 132,7 juta.
Dari total pengguna internet, 123 juta penduduk menggunakan telepon selular dengan 106 juta jiwa pengguna sosial media, seperti WhatApps, Facebook, Youtube dan lain sebagainya. Selain itu, yang paling mengejutkan adalah jumlah kartu SIM selular jauh lebih banyak dari jumlah total populasi dan jumlah pengguna internet, yakni 372 juta kartu SIM.
Love Frankie menjelaskan jumlah tersebut menjadi indikator awal untuk membaca seberapa kuat konten-konten informasi berbau ekstremisme di dalam dunia maya yang dapat mempengaruhi pengguna internet. Pada acara yang dihadiri oleh beragam organisasi tersebut, dia juga menyampaikan bahwa informasi yang memiliki nilai positif bisa mengkonter konten-konten negatif.
Love Franki menjelaskan hasil survei mengenai platform media sosial paling aktif. Dari tujuh platform yang disasar, Youtube menempati posisi pertama dengan 49 persen, disusul Facebook yang hanya berbeda satu angka yakni, 48 persen. Instagram menempati posisi ketiga sebagai platform visual yang banyak digandrungi pengguna internet remaja, 39 persen. Sedangkan Twitter dan WhatsApp menempati posisi keempat dan lima dengan persentase 38 persen.
Meski begitu, menurut Love franki, para pembuat konten tidak harus terfokus pada satu platform media sosial untuk mengkonter informasi yang bernilai negatif. Para pembuat konten harus menentukan target audiens terlebih dahulu setelah mendiskusikan atau mendefinisikan isu yang sedang berkembang. “Dari sana, para pembuat konten bisa melakukan survei untuk mengetahui karakteristik audien yang akan menyerap informasi positif dari pembuat konten,” tuturnya.
Sholih Mudhlor perwakilan dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) Yogyakarta menjelaskan terkait audien difabel. Menurutnya difabel rentan terpapar paham ekstremisme karena berbagai faktor. Salah satunya adalah kondisi difabel yang didiskriminasi, mengalami penindasan dan ketidakaadilan. Hal tersebut dapat menjadi peluang para oknum penyebar informasi untuk mempengaruhi difabel.
“Ini kemudian menjadi pemicu untuk memacu difabel melakukan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan,” ungkap Sholih, yang juga mengikuti lokakarya tersebut.
Sehingga, menurut Sholih, keberadaan dan peran organisasi seperti SAPDA dan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia sangat penting. Organisasi tersebut bisa melakukan konter terhadap informasi negatif dengan ideologi yang mereka bawa melalui kampanye terus-meneruds tentang masyarakat inklusi. “Agar masyarakat pengguna internet menghargai perbedaan dan toleransi,” lanjutnya.
SAPDA sendiri sedang menjalankan program untuk menangkal ekstremisme kekerasan. Sebuah riset kecil yang berkolaborasi dengan Kalijaga Institute for Justice (KIJ), menggunakan partisipasi action research (PAR), di mana para penelili dari latar belakang difabel akan menuliskan hasil riset yang sudah didapatkan di lapangan.
“Kita mencegah dengan memahamkan kepada mereka, dan membuka wawasan terkait paham negatif ini,” tutup Sholih. [Redaksi]