Memanusiakan Manusia, Belum Ada di Indonesia
Solider.id.Yogyakarta. Media audio visual atau film, memiliki dampak perubahan emosional (emotional impact) yang cukup besar bagi pemirsanya. Film juga mampu memiliki kekuatan pemberitaan (power visual telling), yang memungkinkan merubah perilaku penontonnya. Dan film dapat menjadi media advokasi, yang mampu mempromosikan rekonsiliasi atau pemulihan keadaan, dengan membuka ruang-ruang diskusi dan kolaborasi, demikian pula kritik membangun.
Hal tersebut menjadi dampak dari Kegiatan Workshop dan FGD sebuah film tentang aksesibilitas layanan publik, yang dilaunching dan dibedah oleh Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP), Selasa (8/5) di Hotel Ayaarta, Yogyakarta.
Dampak signifikan ditunjukkan oleh salah seorang Majelis Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang berada di Kotabaru, Yogyakarta. Selama ini di gereja tersebut belum pernah ada difabel tuli yang beribadat di sana. Hal tersebut disampaikan oleh salah Masinthon Marpaung, Pengurus atau Majelis Gereja HKBP.
“Saat ini saya sadar bahwa gereja kami butuh penterjemah bahasa isyarat atau intepreter bagi tuli. Bisa jadi, benar bahwa tidak adanya jemaat tuli atau difabel lain, karena tidak adanya aksesibilitas di gereja,” ungkap Masinthon pada sesi diskusi paska pemutaran dan bedah film aksesibilitas layanan publik.
“Proyektor dan layar lebar yang disiapkan ternyata belum memenuhi kebutuhan bagi jemaat tuli,” imbuhnya.
Kepada Solider, Selasa (8/5) pria Batak tersebut menyatakan akan mendiskusikan perihal aksesibilitas layanan peribadatan bagi semua, pada Gereja HKBP Kotabaru. Selanjutnya akan menginformasikan progres positifnya.
Mestinya setiap kegiatan gereja harus dipikirkan betul aksesibilitasnya, kata dia. “Saat sakramen pernikahan, kebaktian, misa arwah dan lain sebagainya, perlu disiapkan dengan penuh kesadaran,” tuturnya.
Kritik membangun
Masukan atau kritikan yang membangun terhadap pemerintah juga disampaikan oleh Masinthon. Sosialisasi Perda terhadap setiap lapisan masyarakat harus dilakukan oleh pemerintah, ujarnya. Salah satu cara dapat dilakukan dengan memperketat keluarnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Jangan dikeluarkan IMB-nya, jika tidak menyertakan aksesibilitas. Demikian pula dengan izin tata ruang, harus menyertakan tempat parkir bagi difabel,” dia mencontohan.
“Saat tidak ada kepedulian terhadap difabel, janganlah diizinkan. Sehingga ada pressure atau tekanan dan edukasi bagi semua. Dengan demikian tujuan peraturan terlihat outputnya,” tandasnya.
Masukan lain ditujukan kepada Dinas Perhubungan (Dishub) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Masukan tersebut terkait dengan hilangnya kamar mandi akses dan tempat pejalan kaki di lapangan parkir Abu Bakar Ali.
“Toilet akses dan kawasan pejalan kaki itu sekarang hilang dibuat menjadi kios, dijual menjadi lapak para pedagang,” ungkapnya prihatin.
Berbagai masukan tersebut menjadi catatan tersendiri bagi Kepala Bappeda Kota Yogyakarta, Edy Muhammad. Selanjutnya akan dibawanya dalam sebuah diskusi bersama pihak-pihak terkait penegakan aturan terhadap pemenuhan aksesibilitas layanan publik.
Satu hal yang digarisbawahi Masinthon dan menjadi himbauan kepada semua, “Mari kita memanusiakan manusia. Ini yang tidak ada di Indonesia. Selama ini hanya slogan. Seolah-olah memperhatikan, tetapi pada kenyataannya tidak. Kebijakan yang selama ini ditelorkan, justru membuka peluang adanya pelanggaran. Dan pembiaran kepada pelaku pelanggaran terus terjadi berulang,” pungkas Masinthon. [Harta Nining Wijaya].