Pekerjaan Difabel dan Aspek yang Mempengaruhinya
Solider.id, Banjarnegara - Samad (37) baru saja tiba saat Solider menemuinya di sebuah panti pijat difabel netra di bilangan Krandegan Banjarnegara. Ia baru saja memenuhi panggilan pijat di sebuah warung tak jauh dari panti pijat yang terletak di dekat Pasar Kota Banjarnegara. Samad bukanlah pemilik panti pijat ini. Beberapa orang difabel netralah yang mengelola tempat ini bersama-sama. Samad sering mampir ke tempat ini apalagi jika mendapat panggilan pijat di seputaran Pasar terbesar di Banjarnegara.
“Saya menggeluti profesi pemijat sudah sekitar 10 tahunan,” ujar Samad sambil membuka bungkus rokok kreteknya.
Saat ditanya apa yang membuat dirinya memilih profesi menjadi pemijat, sambil tersenyum ia menjawab bahwa profesi ini ia pilih karena memijat adalah satu-satunya keterampilan yang ia miliki.
“Karena saya difabel netra, dulu saya akhirnya diikutkan pelatihan untuk pijat. Mau tidak mau akhirnya profesi ini yang saya tekuni karena memang saya tidak punya keterampilan yang lain,” ungkapnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Ia bercerita bahwa profesinya sebagai pemijat difabel netra tidak memberikan penghasilan yang tentu baginya. Tidak setiap hari ada orang untuk minta dipijat. Penghasilan yang ia terima kadang tidak bisa menutup kebutuhan bulanan ia dan keluarganya.
“Rata-rata panggilan pijat ada di seputaran kota Banjarnegara, sedangkan rumah saya ada di Kecamatan Banjarmangu yang jaraknya tidak dekat. Pengeluaran saya akhirnya bertambah untuk transportasi juga,” ujarnya.
Samad berpikir mencari profesi baru namun masih bingung karena keterbatasan ketrampilan yang ia miliki. Ia sempat berpikir untuk mendaftar sebagai pemijat di layanan Go Massage, namun aplikasi tersebut belum masuk di kota kecil seperti Banjarnegara.
“Dari dulu keterampilan yang saya miliki hanya pijat ini. Keinginan untuk merambah bidang usaha lain sudah ada namun proses menuju ke sana yang masih membuat saya bingung,” ujarnya sambil mengeluarkan asap rokok keluar jendela.
Sama dengan Samad, Entin (36) dan Untung (42) juga menggeluti profesinya sekarang berbekal keterampilan yang mereka miliki dari pelatihan-pelatihan bagi difabel. Keduanya adalah difabel polio suami istri yang sudah menggeluti profesi menjahit sejak beberapa tahun yang lalu. Usaha mereka pasang surut dari sempat membuka kios jahit di pasar Karangkobar Banjarnegara hingga sekarang menerima pesanan jahit langsung dari rumah mereka sendiri di samping SMPN 1 Karangkobar.
“Alhamdulillah dengan kerja keras sekarang order jahitnya sudah semakin ramai. Biasanya musim sekarang banyak pesanan seragam sekolah,” ujar Entin.
Entin dan Untung tidak melirik profesi lain karena memang dunia menjahit sudah dekat dengan mereka semenjak pelatihan dahulu. Selain itu, mereka merasa kesulitan untuk memulai profesi dengan keterampilan baru lagi.
“Profesi ini dulu yang akan dikembangkan, mungkin ke depan bisa belajar bisnis,” ujar Entin sambil tertawa kecil.
Aspek yang mempengaruhi pilihan kerja difabel
Cerita Samad, Entin dan Untung tentu bukan merupakan hal baru dalam perbincangan difabel dan pekerjaan. Ada banyak difabel yang menentukan profesi yang akan mereka geluti berdasarkan keterampilan yang mereka dapatkan pada pelatihan-pelatihan. Sialnya, pelatihan-pelatihan tersebut kadang tidak melihat apa sebenarnya bakat dan potensi masing-masing difabel. Pemberi pelatihan langsung memukul rata pelatihan bagi difabel-difabel tertentu. Seperti ada kesepakatan umum bahwa difabel netra harus mendapatkan pelatihan memijat, Tuli mendapatkan pelatihan menjahit atau memotong rambut dan berbagai contoh stereotip lainnya. Kenyataan itu masih tumbuh subur terutama di daerah-daerah jauh dari kota besar di Indonesia.
Dalam penelitian Pilihan Mata Pencaharian dan Partisipasi Difabel di Desa yang dilakukan di enam desa di Lendah Kulon Progo dan dua desa di Sleman, ada temuan bahwa difabel memilih pekerjaan karena dipengaruhi oleh berbagai macam aspek. Ada sekitar dua belas aspek yang ditemukan selama proses penelitian yang dimulai dari bulan November 2017 ini.
Aspek pertama dan yang jumlahnya paling banyak adalah pemilihan kerja bagi difabel karena faktor keterampilan yang dimiliki. Faktor ini seperti melakukan konfirmasi pada cerita Samad, Entin dan Untung. Banyak difabel yang memilih pekerjaan karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki. Jika ada keterampilan pun rata-rata berasal dari pelatihan rutin dari dinas sosial atau lembaga lain.
Aspek kedua dan ketiga saling berhubungan, yaitu adanya kepemilikan modal ekonomi dan ketersediaan bahan baku. Kasus dalam aspek ini tergambar dari difabel yang berprofesi sebagai petani karena memiliki lahan dan difabel yang berprofesi sebagai penggembala kambing dan mencari rumput.
Aspek keempat dan kelima juga saling terkait, yaitu adanya keseuaian pekerjaan sebelum menjadi difabel dan juga pengalaman kerja di masa lalu. Contoh profesi dalam aspek ini adalah difabel yang berprofesi sebagai pedagang saat belum menjadi difabel dan kembali menjadi pedagang saat menjadi difabel.
Perubahan menjadi difabel dan kondisi fisik yang dimiliki menjadi aspek keenam dan ketujuh. Ada difabel yang bekerja menjadi penjual jajanan kecil setelah menjadi difabel karena bisa dikerjakan di rumah dan tidak membutuhkan mobilisasi ke luar rumah yang banyak.
Aspek selanjutnya adalah dukungan keluarga dan nilai hidup yang dipegang sebagai aspek nomor delapan dan sembilan. Banyak difabel yang mendapatkan kesempatan memperoleh mata pencaharian setelah mendapat dukungan dari keluarga, misal seperti dukungan berupa motor roda tiga yang akhirnya membuat mobilisasi difabel menjadi mudah dalam mencari uang. Lalu, ada difabel yang memilih mata pencaharian karena prinsip dan nilai yang dipegang. Contohnya adalah difabel yang memiliki mata pencaharian karena memegang prinsip ‘selagi masih bisa bekerja, saya akan tetap bekerja.’
Konsistensi pendapatan dan minat menjadi aspek nomor sepuluh dan sebelas. Pendapatan yang tetap dan ada setiap bulan pada satu tempat kerja membuat difabel urung mencari pekerjaan lain meski ada kesempatan untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi meski tidak tetap. Lalu, minat juga mempengaruhi pemilihan kerja karena ada difabel yang bekerja menjadi estimator developer karena minatnya pada bidang teknik sipil.
Aspek terakhir adalah jaringan. Aspek ini menjadi sangat penting karena jaringan akhirnya bisa meningkatkan posisi tawar dalam pemilihan mata pencaharian. Pekerjaan salah satu difabel yang menjadi pamong desa tentu banyak dipengaruhi oleh jaringan yang luas apalagi dengan besarnya stereotip difabel tidak bisa masuk ke dalam lembaga pemerintahan lokal.
Ke empat belas aspek itu menjadi temuan faktor yang mempengaruhi difabel dalam menentukan mata pencahariannya. Temuan-temuan ini memang berasal dari difabel yang tinggal di desa atau daerah di pinggiran kota (suburb area) latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi bahkan putus sekolah. Temuan lain tentunya akan hadir terutama bagi difabel yang hidup di kota dengan latar belakang pendidikan yang lebih beragam.
Jumlah difabel bekerja dan tidak bekerja
Masih dalam temuan awal penelitian ini, keduabelas aspek di atas menjadi faktor yang membuat jumlah difabel bekerja masih lebih banyak dari difabel yang memilih untuk tidak bekerja. Meski begitu, jumlah difabel yang tidak bekerja pun cukup banyak. Kebanyakan alasan yang mereka ungkapkan adalah karena faktor kedifabilitasan, keterampilan yang terbatas dan sedikitnya akses terhadap informasi pekerjaan yang tersedia. Faktor ini didukung oleh geografis di Kulon Progo dan Sleman yang berjarak dari pusat kota kecuali satu desa di Sendangadi Sleman yang berada di pinggiran kota.
Temuan dan hasil analisis dari penelitian ini akan memberikan data realitas difabel dan pekerjaan terutama di desa. Kebijakan yang tepat untuk difabel di desa dan pekerjaan yang mereka miliki sangat tergantung pada data difabel dan mata pencaharian seperti dalam penelitian ini. Rekomendasi bisa diberikan kepada pembuat kebijakan melalui penelitian seperti ini atau dengan tema-tema lain yang lebih beragam terutama pada ranah mata pencaharian. (Yuhda)