Konsekuensi Sebuah Pengakuan Diri Sebagai Difabel
Solider.id, Cimahi – Setiap orang berhak untuk memilih cara menjalani kehidupannya. Namun, semua orang tidak dapat menolak kehidupan yang telah dirancang Tuhannya.
Miris, nilai dari sebuah pengakuan sosok gadis belia bernama Annisa Rahmania berujung dengan cacian. Viralnya pemberitaan terkait sikap penolakan kasar yang dilakukan oknum transportasi online terhadap difabel Tuli menuai reaksi.
Sejak Selasa (27/3) lalu, di akun-akun pribadi pengguna media sosial khususnya masyarakat difabel, ramai menuliskan komentar. Selain memberikan dukungan moril terhadap Annisa, masyarakat difabel pun menyuarakan kembali haknya yang telah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016.
Dalam pasal ketujuh, mengatur tentang hak bebas dari stigma untuk difabel yang meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelebelan negatif terkait kondisi difabelnya.
Terlepas dari telah adanya peraturan tertulis yang dibakukan dalam undang-undang tadi, sudah selayaknya setiap individu mendapatkan perlakuan yang nyaman, sopan, idealnya sebagai pengguna layanan jasa yang ditawarkan.
Bila dilihat dari berbagai sudut pandang, nilai sebuah pengakuan dari kondisi seseorang memang akan mendatangkan resiko. Terlebih untuk difabel, mulai dari simpati, empati, acuh, bahkan cacian seperti yang dialami Annisa difabel Tuli.
Namun, pernahkah mencoba mendalaminya dari kaca mata yang berbeda?
Nilai sebuah pengakuan yang dilakukan gadis belia tersebut dari sisi positifnya, selain keberanian membuka identitasnya, penerimaan diri atas kondisinya, serta kekuatan mental yang dimilikinya. Annisa merupakan pribadi difabel yang tangguh.
Ya, Annisa Rahmania adalah sosok difabel luar biasa. Hingga tanpa diminta, banyak pihak yang memberikan dukungan moril serta pembelaan kepadanya.
Tanpa disadari, langkah sosialisasi serta edukasi terkait isu difabel pun mencuat. Masyarakat umum yang membaca kasusnya, secara tidak langsung mereka teredukasi pula.
Lantas, bila konsekuensi sebuah pengakuan diri sebagai difabel dapat menjadi jalan pintas untuk ajang sosialisasi serta edukasi terhadap semua pihak, saatnya masyarakat difabel unjuk diri lebih berani lagi.
Dibutuhkan keberanian untuk memperjuangkan hak masyarakat difabel, masih panjang proses yang harus diupayakan agar undang-undang yang telah ada mampu direalisasikan secara nyata.
Secara pribadi atau berkelompok, berorganisasi dibutuhkan keberanian dari masyarakat difabelnya sendiri.
Berani membuka identitas diri
Difabel bukanlah sebuah keadaan yang patut disembunyikan. Baik oleh dirinya, keluarganya, lingkungannya, maupun masyarakat lainnya. Setiap orang memiliki potensi untuk menjadi sosok difabel baru.
Banyak faktor penyebab laju pertambahan angka difabel dalam setiap saat, semisal: akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, serangan penyakit, atau usia lanjut.
Sikap berani membuka identitas diri, merupakan langkah awal menuju perkembangan diri. Asumsi negatif tentang difabel dari lingkungan terkadang menjadi sebuah penghalang yang tidak terlihat sekatannya.
Dari lingkungan keluarga inti yang masih menyembunyikan anggota keluarganya yang difabel dengan alasan kurang logis. Karena malu, karena dianggap aib, dan lain sebagainya.
Padahal, dengan mau membuka identitas dirilah, secara pribadi akan mampu turut merasakan adanya kesetaraan. Atau dengan kata lain, akan mengikis sekat perbedaan antara difabel dan nondifabel.
Dengan menunjukkan diri akan keberadaan masyarakat difabel diantara mereka yang lainnya, diharapkan dapat membaur serta terlepas dari sebutan kaum minoritas. Sehingga, bentuk segala penghormatan meliputi hak maupun kewajibannya semakin mudah terdeteksi.
Untuk membuka indentitas diri bagi masyarakat difabel diperlukan dukungan dari semua pihak. Orang tua, keluarga, lingkungan internal, hingga lingkungan luas akan berpengaruh besar terhadap keberanian di level ini.
Kebeeranian melakukan Penerimaan diri sangat penting
Penerimaan diri yang terkuat ada pada pribadinya. Sekeras apapun lingkungan yang kurang bersahabat, kurang memahaminya, ketika telah tertanamnya keberanian menerima atas kondisi pada diri, maka mudah saja untuk mematahkan rintangan dari luar.
Dengan penerimaan yang positif, yakin, serta percayai kemampuan atas kondisi pada diri, akan memberikan sugesti dalam bentuk kepercayaan diri yang optimal.
Karenanya, sebuah kondisi difabel bukan lagi merupakan hal yang menjadikan penghalang untuk menjadi pribadi yang berpotensi.
Keberanian menerima atas kondisi pada diri akan mudah didapatkan, dikembangan, setelah muncul sikap berani membuka identitas diri tadi.
Kekuatan mental yang dimiliki
Siapa pun akan mampu tumbuh kembang dengan baik, hingga memiliki kekuatan mental yang terbaik karena keberanian membuka identitas dan menerima atas kondisi pada dirinya.
Kekuatan mental dari setiap individu tidak bisa diwariskan. Akan tetapi, hal ini dapat dibentuk seiring waktu dan pola asuh yang diterapkan sejak dini.
Difabel merupakan sosok yang seringkali mendapatkan stigma negatif dari luar, oleh karenanya diperlukan kekuatan secara mental sebagai pondasinya.
Kasus Annisa Rahmania, difabel Tuli yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pihak transportasi layanan jasa berbasis online masih hangat dalam pemberitaan. Banyak hikmah yang dapat diambil dari setiap peristiwa. Banyak makna yang mencuat dari setiap kendala. Banyak inspirasi saat melihat dari kaca mata yang berbeda.
Tidak mudah perjuangan difabel dalam usahanya menuju pemenuhan hak. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk dapat diwujudkannya menjadi nyata. (Srikandi Syamsi)