Pentingnya Deteksi Dini Difabel pada Balita: Kesan dari Hasil Pelatihan Deteksi Dini Difabilitas di Puskesmas Berbah
Solider.id - Yogyakarta, Sri Wuryani adalah seorang kader kesehatan posyandu di desa Sendangtirto, Berbah, Sleman, DIY. Sudah delapan belas tahun, perempuan ini mendedikasikan waktunya sebagai kader kesehatan. Saat bertemu dengan Solider.id, Sri sedang berada di tengah acara pertemuan posyandu di aula Puskesmas Berbah. Setelah meminta ijin untuk wawancara, Sri mulai bercerita tentang pengalamannya mengikuti Pelatihan Deteksi Dini Difabilitas di Puskesmas Berbah, Rabu-Kamis (28/02-1/03).
Sambil membetulkan posisi duduknya, Sri mulai bercerita pengalamannya. “Ya. Kemaren saya ikut Pelatihan Deteksi Dini Difabilitas kerjasama SIGAB dan Puskesmas Berbah,” Sri membuka.
Menurutnya, ini adalah pelatihan kedua yang ia dapatkan dengan tema yang hampir sama.
“Sebelum ini, saya sudah pernah mendapatkan pelatihan yang hampir sama, hanya temanya tentang tumbuh kembang anak. Penyelenggaranya Puskesmas ini juga,” lanjut Sri sambil menoleh kepada Kepala Puskemas yang saat itu sedang duduk di sampingnya.
Sri menyampaikan kesan yang bagus mengenai Pelatihan Deteksi Dini Difabilitas ini. Menurutnya, pelatihan ini sangat membantunya sebagai kader kesehatan yang banyak menemui berbagai macam kasus kesehatan di lapangan.
“Saya jadi tahu ketika di lapangan melihat gejala difabel di balita, dengan tanda-tanda yang sesuai dengan tumbuh kembang balita,” ucapnya.
Ia lalu bercerita tentang pengalaman langsungnya dalam menghadapi balita yang diduga terdeteksi difabel.
“Pernah ketika saya ada kunjungan ke rumah-rumah, waktu itu tetangga saya sendiri punya anak yang belum mampu berjalan meski umurnya sudah hampir 2.5 tahun. Waktu itu orang tuanya tidak memeriksakan ke Puskesmas karena neneknya adalah seorang tukang pijat dan melakukan terapi,” ia membuka cerita.
Menurutnya, sang nenek dari anak itu menganggap bahwa hal itu bukan masalah karena dahulu ketika ayah dari anak itu masih kecil juga pernah mengalami hal yang sama. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang ia terima di pelatihan pertamanya, Sri kemudian menyarankan kepada keluarga balita itu untuk membawanya ke instansi kesehatan untuk diperiksa. Meski pun akhirnya, keluarga balita itu menolak saran tersebut.
“Ya. Saya hanya bisa memberikan saran saja waktu itu. Harapan saya, dengan adanya pelatihan seperti kemarin itu, saya jadi lebih tahu banyak ilmu tentang deteksi dini difabel sehingga lebih bisa meyakinkan para orang tua seperti cerita saya di atas,” tutupnya.
Sama halnya dengan Sri, Eni Windarti yang juga seorang kader kesehatan di desa Sendangtirto juga menceritakan pengalamannya mengikuti pengalaman yang serupa.
“Ini pelatihan kedua saya. Dulu saya pernah mendapatkan pelatihan yang sama dari YPAC sekitar tahun 2008,” Eni mulai bercerita.
Ia lalu mengungkapkan betapa pentingnya Pelatihan Deteksi Dini Difabilitas yang ia ikuti kemarin.
“Pelatihan kemarin sangat berguna bagi saya karena membuat kami sebagai kader kesehatan desa bisa mengetahui kondisi balita di sekitar lingkungan kami,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa dengan penelitian ini pula ia jadi bisa tahu tindak lanjut yang tepat ketika ia menemukan ada balita yang terdeteksi difabel di lingkungan sekitar tempat ia menjadi kader kesehatan.
“Dulu pernah saya menemukan ada balita yang diduga terdeteksi difabel di sekitar lingkungan saya. Waktu itu langsung saya sarankan untuk dibawa ke instansi kesehatan untuk didiagnosa,” ungkapnya.
Menurutnya, setelah ada pelatihan ini, ia mendapatkan ilmu yang lebih detail tentang perkembangan anak dan cara mendeteksi difabel pada balita.
Deteksi Dini Difabel bagi Anak itu Penting!
Dalam sebuah jurnal berjudul Developmental Surveillance and Screening of Infants and Young Children yang ditulis oleh Adrian D. Sandler dkk., keluaran Northwestern University, menyatakan bahwa pendeteksian dini terhadap tanda-tanda difabel sangat penting untuk dilaksanakan.
Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa rata-rata orang tua di Amerika Serikat langsung menghubungi dokter anak terdekat jika menemukan gejala difabel di anak usia di bawah 5 tahun.
Selain itu, jurnal ini juga sangat merekomendasikan adanya pengetahuan deteksi dini difabel bagi para orang tua maupun petugas kesehatan terdekat untuk bisa segera menyediakan rekomendasi dan kebutuhan yang tepat bagi balita yang terdeteksi difabel.
Hal yang sama juga disebutkan dalam sebuah paper berjudul Early Childhood Development and Disability: A Discussion Paper keluaran WHO (World Health Organization) dan UNICEF.
Pada bab Early Identification of Development Delays and/or Disabilities, dijelaskan secara langsung bahwa deteksi dini difabel bisa dilakukan saat bayi masih berada di kandungan maupun ketika bayi sudah lahir sampai berumur beberapa bulan. Pendeteksian juga bisa dilakukan saat pelaksanaan aktifitas kesehatan publik seperti imunisasi. Dalam paper ini juga diterangkan bahwa peran orang tua sangat besar dalam mendeteksi secara mandiri tumbuh kembang anak terutama kemampuan seperti berjalan, mendengar dan melihat.
Masalahnya, sebagian besar anak-anak difabel di negara berkembang, terutama difabel anak yang “ringan sampai sedang” tidak banyak terdeteksi sampai mereka memasuki usia sekolah.
Padahal, pada bab lain seperti Assessment and Planning for Early Intervention, deteksi dini difabilitas yang akurat terhadap anak-anak akan berdampak pada tepatnya pemenuhan kebutuhan bagi anak tersebut dan pemahaman pada orang tua dan lingkungan terdekat.
Pelatihan Deteksi Dini Difabilitas yang diselenggarakan di Puskesmas Berbah kemudian menjadi upaya untuk dari semua pihak untuk bisa memberikan pemenuhan kebutuhan yang tepat bagi difabel yang terdeteksi dari dini. (Yuhda)