Muhammad Hafid Akbar, Pendidikan Inklusif dan Ketakutan Orangtua Atas Stigma
Solider.or.id, Surakarta- Anak kecil berseragam celana merah hati dan kemeja putih itu duduk di samping sang ayah, bersama ketiga kawan lainnya disertai pendamping mereka. Ada Siti Rahayu,Tuli dari Ngandong Boyolali yang bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah desa setempat. Lalu Fery dan Galang dua anak penghuni asrama SLB Anugerah Karanganyar bersama pendamping.
Muhammad Hafid Akbar (12) yang berseragam merah putih, siswa SLB YPAC Surakarta bersama ketiga kawannya tersebut pagi itu hendak menerima beasiswa pendidikan secara pribadi dari seorang profesional yang tinggal di Solo. Di hari ulang tahun general manager sebuah hotel ternama di Solo tersebut dia bermaksud berbagi rezeki dengan anak-anak difabel bertempat di kantor PPRBM Solo. Tepat di Hari Anak Internasional, 20 November 2017.
Muhammad Hafid Akbar, downsydrome, sulung dari tiga bersaudara_dua adiknya duduk di kelas tiga SD dan Taman Kanak-Kanak_ hanya salah seorang dari 257 anak difabel yang bersekolah. Di luar sana, lebih dari 1, 2 juta anak difabel Indonesia yang belum mengenyam pendidikan sekolah. Menurut penuturan sang Ibu, sejumlah uang tersebut bermanfaat untuk menambah biaya transport ke sekolah yang berjarak sekitar enam kilometer. Sehari-hari Sri Mulyani bekerja membantu majikannya menjaga kios di Pasar Klewer. Sedang suaminya seorang buruh harian. Setelah mengantar sekolah ke SLB Sri Mulyani langsung berangkat kerja, dan tugas menjemput sekolah dibebankan kepada suaminya. Sementara ada kakek Hafiz yang turut mengurusi kedua adiknya.
Dalam sebuah wawancara dengan Solider, Sri Mulyani, ibunda Hafid menceritakan bahwa sejak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, Hafid sudah bersekolah di YPAC. Jika pagi hari dia belajar di sana, sore harinya Hafiz belajar dan terapi dengan para relawan di Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI) di daerah Tegalrejo, Jebres. Seiring berjalannya waktu, tempat tersebut berganti nama menjadi komunitas Canda.“Tapi kegiatan berhenti semenjak sesudah lebaran idul fitri lalu. Sekarang Hafid tidak ada kegiatan belajar sore yang produktif,” ujar Sri Mulyani.
Punya Keinginan Sekolah di Reguler tetapi Takut Stigma
Secara perkembangan mental, tidak ada masalah dengan Hafid, apalagi perilaku. Begitu menurut penuturan ibunya. Tetapi hasil assasment saat lulus TK, mengharuskan Hafid masuk di kelas D1, tempat anak-anak berkebutuhan khusus dengan kurikulum pendidikan khusus. “Hafid itu sebenarnya anak yang gatekan (penuh perhatian_red). membacanya memang belum lancar benar, tetapi mengaji iqro’ dia sudah lancar iqro jilid 1,” tandas Sri Mulyani. Hafid juga mudah mengenali judul-judul lagu yang tersimpan di ponsel milik ibunya. Dengan sangat cekatan dia akan memilihkan lagu sesuai pesanan yang diputar, apabila sang ibu meminta pertolongan kepadanya.
Saat ditanya tentang kemungkinan terbukanya sekolah reguler di dekat rumahnya di Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon untuk menerima Hafid sebagai salah seorang peserta didik, Sri Mulyani sangat pesimis. “Selama belum ada sosialisasi tentang pendidikan inklusif di sekolah itu, maka saya merasa ketakutan jika Hafid harus bersekolah di sana. Saya tidak sanggup jika terjadi banyak anak, apalagi orangtua atau wali murid yang tidak menyukai Hafid. Belum lagi nanti sikap gurunya. Saya takut Hafid diabaikan ketika dia bersekolah bersama anak-anak reguler. Lebih baik tidak sekolah di reguler, tetapi jika boleh diupayakan, berikanlah pendidikan yang baik di SLB-nya. Saya ingin Hafid naik kelas dari D1 ke kelas D dengan kurikulum reguler,” jelas Sri Mulyani.
Menurutnya, Hafid justru memiliki kebutuhan untuk terapi dan belajar di komunitas seperti yang dulu dia pernah lakukan secara rutin.
Persoalan yang dialami oleh Hafid pasti berbeda dengan yang dihadapi oleh Fery dan Galang, dua penerima beasiswa penghuni panti serta anak-anak difabel yang harus berpisah dengan keluarganya karena kondisi rumah tinggal yang jauh dan tak terjangkau. Ibunda Fery saat ini tengah menderita sakit stroke. Menurut keluarganya mereka lebih baik tinggal di panti dan asrama, sedangkan pendidikan di keluarga lebih utama. Tidak memperoleh kasih sayang orangtua setiap hari dan hanya bersosialisasi dengan lingkungan sekitar panti/asrama tentu keadaan yang terkesan eksklusif.
Beberapa forum diskusi seperti yang pernah dilakukan salah satu organisasi difabel yakni Sehati Sukoharjo menelurkan ide dan gagasan tentang format atau konsep beasiswa yang semestinya diberikan oleh pemerintah terhadap anak-anak difabel yang terkendala transportasi saat mereka bersekolah. Beasiswa atau jaminan pendidkan tersebut bisa berupa ongkos ojek atau sarana transportasi lainnya yang diberikan secara bulanan. Sehingga anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus_yang hanya ada di SLB _tersebut bisa mengakses pendidikan di sekolah dengan baik.
Salah seorang pendidik yang ditemui Solider, terkait akses anak difabel pada sekolah reguler, Sadiyati Wiwik Widyastuti, Kepala SD Pamardi Siwi Surakarta mengatakan bahwa sekolahnya siap menerima anak difabel. Meski tidak memiliki SK sekolah inklusi tetapi di sekolahnya terdapat siswa slow leaner, yang saat ini duduk di bangku kelas empat. “Kami tetap berkoordinasi dengan guru, orangtua, kami mengakomodir, melayani tentu dengan materi yang kadang disesuaikan. Tidak ada masalah yang berarti,” terang Sadiyati Wiwik Widyastuti. (Puji Astuti)