Lompat ke isi utama
Akses yang diperuntukan bagi mahasiswa difabel.

Membuka Kacamata Masyarakat - Kebijakan Tidak Selamanya Diberikan Dalam Bentuk Mengistimewakan Difabel

.id, Cimahi – ‘Perlakukan setiap individu sesuai dengan kebutuhannya.’ Sebuah ungkapan sederhana yang syarat makna. Setiap orang sudah menjadi sosok-sosok yang istimewa sejak mereka terlahir ke dunia, tanpa terkecuali. Namun, masih banyak masyarakat yang keliru mengartikan kata istimewa tersebut.

Bila dilihat dari makna secara umum, kata ‘istimewa’ dapat diartikan sebagai kata sifat yang antara lain adalah: Khas. Khusus. Lain daripada yang lain. Luar biasa.

Membuka kacamata masyarakat terkait sebuah kebijakan yang berlaku, sering diidentikan dengan mengistimewakan. Padahan, bentuk kebijakan maupun bentuk mengistimewakan merupakan hal yang berbeda sekali.

Kebijakan dapat diartikan sebagai menempatkan segala sesuatunya dengan tepat guna dan tepat sasaran yang ditujunya. Sementara, mengistimewakan dapat diartikan sebagai pemberian atau memberikan yang lebih daripada yang lainnya.

Lalu, bagaimana pola menerapkan antara kebijakan dengan mengistimewakan agar tidak melenceng dari makna dasarnya?

Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional 25 November 2017, kita kupas tentang bagaimana sosok guru, dosen atau pengajar yang ideal dalam mengakomodasi siswa atau mahasiswa didiknya. Terutama mahasiswa difabel.

Benarkah, mahasiswa difabel menjadi beban bagi dosennya maupun teman-temannya?

Mengunjungi kampus Politeknik TEDC Bandung, jalan Pasantren KM 2 Cibabat, Cimahi Utara kota Cimahi dengan membawa pertanyaan tadi.

Dari kacamata mahasiswa difabel.

Difabel daksa pengguna kursi roda mahasiswa asal Cimahi, Agus Hartanto, merasa nyaman dengan ‘tidak diistimewakan‘ di kampusnya. Perlakuan secara wajar yang ia terima baik dari para dosen maupun teman-temannya menjadi semangat tersendiri untuk rajin mengikuti setiap mata kuliahnya.

Agus merupakan satu-satunya mahasiswa difabel yang menggunakan kursi roda di kampus Politeknik TEDC. Bentuk kebijakan dari pihak kampus yang diterimanya merupakan hal yang wajar.

Contohnya: Agus yang setiap ke kampus menggunakan motor roda tiga, dirinya mendapatkan tempat parkir di dekat lokasi pos penjaga keamanan dengan jarak jangkauan menuju loby kampus lebih dekat. Akses tersebut sengaja diberikan agar mudah membantu menaik-turunkan kursi rodanya. Padahal, lahan parkir tersebut diperuntukan bagi kendaraan roda dua maupun roda empat, khusus dosen atau staf kampus saja.

Ramp-cor pun sengaja dibuat oleh pihak kampus untuk memudahkan kursi roda menuju lobi tanpa diminta, atau tanpa mengajukan. Meski secara ukuran kelandaian masih kurang tepat, namun, Agus mengakui akses tersebut sangat membantu dirinya.

Berbeda dengan fasilitas tadi, dalam hal lainnya bagi Agus tidak ada pengecualian. Jadwal perkuliahan mesti diikuti sesuai dengan aturan yang diterapkan. Dari mulai absensi kehadiran, mengikuti setiap materi pelajaran, mengerjakan tugas yang diberikan, hingga persaingan untuk mendapatkan nilai terbaik pun tidak ada yang diistimewakan oleh pihak kampus kepada dirinya.

Perlakuan seperti itulah yang membuat Agus Hartanto mampu bertahan, berprestasi, bersosialisasi juga beradaptasi di kampusnya. Mempertahankan nilai (indeks prestasi komulatif) IPK diangka 3 hingga 3,7 pun mampu Agus raih hingga ditingkat dua jurusan IT saat ini.

Dari kacamata dosen.

Reda Abdul Rasyid, M. Kom, dosen mata kuliah Struktur Data - kelas DIV Reguler A kampus Poltek TEDC, rupanya tidak mengistimewakan Agus. Selama jam mata kuliah berlangsung, tidak ada perlakuan khusus untuk mahasiswanya. Semua sama tanpa kecuali.

Materi pelajaran yang diberikan wajib diikuti oleh seluruh mahasiswanya, pun begitu dengan tugas yang mesti dikerjakan di kelas atau tugas yang dapat diselesaikan di rumah. tidak perpanjangan waktu khusus buat Agus dalam pengumpulan tugas mata kuliahnya. Tidak ada pengulangan materi yang diberikan di dalam kelasnya yang hanya ditujukan kepada Agus.

Setiap mahasiswanya yang hadir dan mengikuti kelas Stuktur Data, mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal aturan belajar. Hingga sejauh mana, mahasiswanya mampu memahami materi yang disampaikan dapat terlihat dari kuis yang diberikan, atau pada saat ujian berlangsung. Nilai tes individu yang mampu diraih setiap mahasiswanya, merupakan gambaran mudah untuk menentukan sejauh mana materi yang diberikan dapat dipahami anak didiknya.

Seperti tidak ada beban untuk mengajar difabel. Absensi kehadiran yang terisi penuh, nilai IPK yang tinggi mampu diraih, pemahaman yang disampaikan dapat diterima dengan baik, interaksi dan komunikasi aktif berjalan dengan lancar.

Bila melihat dari sosok Agus, mungkinkah masih ada perasaan beban atau menjadi sosok yang menyulitkan bagi dosen?

Semua peraturan dibuat sama dan mampu diikuti dengan baik oleh mahasiswa difabelnya. Meski Agus seorang difabel, selama masih bisa mengikuti cara mengajar dan cara kebijakan yang diberikan maka, tidak diperlakukan istimewa dan tidak pula diistimewakan.

Iya, sebuah kesetaraan yang dapat diciptakan oleh setiap dosen, guru atau pengajar kepada siswa – mahasiswa didiknya.     

Dari kacamata teman kampus.    

Dari beberapa orang teman di kampus yang enggan disebutkan namanya, mereka umumnya tidak merasa direpotkan oleh sosok Agus. Memberi bantuan seperti yang dibutuhkan Agus, menjadi pembelajaran tersendiri untuk mereka.

Arti setia kawan, pertemanan, bukan hanya terjalin karena kebersamaan semata. Melainkan, bagian dari saling memahami, menghargai juga menghormati dan toleransi. Sebuah pembelajaran hidup yang sangat positif.

Mereka tidak selamanya ada di dekat Agus, seperti yang perlu selalu ada untuk menjaganya. Teman-temannya bebas beraktivitas lain. Begitu pula dengan Agus sendiri, ia tidak merasa perlu selalu untuk ditemani.    

Dari kacamata lingkungan kampus.

Dadi Uca, petugas keamanan kampus mengenal baik tentang mahasiswa difabelnya. Meski demikian, dirinya lebih suka memberikan bantuan ketika dimintai ketimbang menawarkan jasa terlebih dahulu pada awal pertemuan.

Menurutnya, tidak setiap individu difabel menyukai tawaran berupa bantuan. Namun, setelah ia mampu memahami karakter dan jenis kebutuhan mahasiswa difabelnya, tidak sungkan ia membantu bahkan menghampirinya terlebih dahulu.

Diakui Dadi Uca, sosok Agus Hartanto, bukanlah mahasiswa difabel pertama di lingkungan kampus Politeknik TEDC Bandung.

Apa yang dapat kita pahami dari berbagai uraian tentang individu difabel menurut beragam kacamata di lingkungan kampusnya?

Adalah sebuah kekeliruan, apabila memvonis difabel dengan alasan masih mengalami kesulitan untuk mengikuti mata pelajaran sekolah atau kampusnya.

Untuk itu, alangkah bijaknya setiap instansi pendidikan formal atau nonformal, negeri atau swasta membuka kesempatan yang sama, memberikan kemudahan yang setara, menyediakan akses infrastuktur secara bertahap kepada difabel.

Hilangkan stigma negatif. Difabel bukan sebagai beban bagi lingkungan di sekolahnya ataupun di kampusnya. Terutama bagi para tim pendidiknya atau guru maupun dosen. Bentuk toleransi yang kuat dan pemahaman karakter individu difabel yang baik, mampu menumbuhkan kepercayaan diri, meningkatkan kecerdasan, membangkitkan semangat, menebarkan aura positif pula terhadap semua pihak yang ada di lingkungan kampus.

Terapkan segala kebijakan dengan tepat. Kesetaraan yang digunakan akan mampu menghindarkan ketidak adilan bahkan kecemburuan di lingkungan sosial. Menjalin interaksi yang lugas, sportif,antara dosen dengan mahasiswa difabelnya mampu mengembangun kenyamanan proses belajar mengajar di dalam kelas.

Bangun kemandirian. Ciptakan aturan yang dapat diakses oleh semua pihak, semua kalangan tanpa terkecuali. Aturan yang diperuntukan bagi semua, akan membuat setiap individu yang terlibat di dalamnya merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama pula.

Kebijakan yang diterapkan tidak selamanya diberikan dalam bentuk mengistimewakan. (Srikandi Syamsi)

 

The subscriber's email address.