Lompat ke isi utama
beberapa siswa sedang belajar di dalam kelas

Harapan Warga Malang, Semua Sekolah Harus Inklusif

Solider.or.id, Malang – pendidikan inklusif adalah harapan setiap orang, tak terkecuali warga Malang. Namun, sampai saat ini masih terdapat sejumlah persoalan yang merupakan tantangan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif di Malang. Berbagai temuan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.

Survei Forum Malang Inklusi (FOMI) pada sejumlah sekolah di Malang secara umum menunjukkan belum aksesnya sarana dan prasarana pendidikan bagi difabel. Bahkan di sekolah yang berstatus inklusi pun fasilitasnya belum memadai. Malang dengan branded Kota Pendidikan masih cukup memiliki hambatan dan tatangan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif, antara lain persoalan kesadaran difabilitas orangtua dari anak berkebutuhan khusus, guru yang belum berwawasan inklusi serta kebijakan Pemerintah.

"Pendidikan adalah hak setiap warga negara tak terkecuali bagi anak-anak difabel, oleh karena itu semua sekolah harus inklusi," tutur tegas Anggota Badan Pendiri FOMI, Sayekti kepada Solider, Jumat (24/11) di Kepanjen, Kabupaten Malang.

Perempuan yang aktif sebagai relawan Malang Corruption Watch (MCW) ini juga mengatakan kewajiban Pemerintah untuk memenuhi standar aksesibilitas sekolah- sekolah sehingga tak ada lagi alasan anak difabel ditolak oleh sekolah.

"Adanya sekolah inklusi tidak berkaitan dengan jumlah anak difabel melainkan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan," tegas Sayekti. Selama ini penolakan anak difabel di sekolah reguler masih terjadi dengan alasan bangunan belum akses difabel serta belum adanya guru pendamping khusus (GPK).

Namun ada juga sekolah yang menerima anak difabel meski tidak ada GPK dan fasilitas yang belum aksesibel, ungkap anggota Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) ini. 

"Tentang kesadaran masyarakat masih ada kasus orang tua menyembunyikan anaknya yang difabel sehingga tidak sekolah," kata Sayekti. Guru juga tidak berwawasan inklusi sehingga ketika ada anak difabel mendaftar sekolah ditolak padahal secara kecerdasan anak tidak mengalami hambatan untuk setara dengan anak didik lainnya.

Dalam kesempatan yang sama Ketua Badan Pembina Yayasan Lingkar Sosial (Linksos) Indonesia, Kertaning Tyas menggarisbawahi pentingnya kebijakan Pemerintah untuk mewujudkan pendidikan inklusi.

"Menilik isu-isu strategis masalah pembangunan di Kabupaten Malang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2016-2021, yang pertama tentang penempatan tenaga pendidik (guru) belum dilakukan secara merata," papar Kerta.

Masih terdapat kesenjangan baik dari sisi jumlah maupun kualitas antara kawasan pedesaan dan perkotaan.

Terlebih guru berbasic pendidikan luar biasa, menurut Kerta harusnya ada disetiap sekolah, atau setidaknya ada pelatihan khusus pendidikan inklusif bagi para guru di sekolah reguler untuk mengatasi keterbatasan guru pendamping khusus.

Isu lainnya belum tertampungnya anak difabel di lembaga pendidikan luar biasa dan sedikitnya jumlah sekolah inklusif. FOMI masih menemukan anak difabel usia sekolah yang tidak memperoleh hak pendidikannya.

 

"Solusinya bukan menambah jumlah sekolah inklusi melainkan penetapan bahwa semua sekolah harus inklusi. Harus ada Perda yang mengatur hal ini," tegas pria penggerak inklusi di Malang Raya ini.

Anggota Badan Pendiri Forum Malang Inklusi ini menambahkan bahwa pihaknya telah mendokumentasi persoalan pendidikan dan menyampaikan ke Pemerintah.

"Kita sudah hearing ke DPRD dan ditanggapi dengan baik, " kata Kerta. Hanya saja belum nampak perkembangan baik dari hasil hearing tersebut. Sedangkan pengajuan audiensi ke Bupati Malang sejak Mei 2016 hingga hari ini belum ada tanggapan positif.

Namun menanggapi berbagai kasus pendidikan anak difabel, Kerta optimis akan adanya perubahan positif sekaligus tantangan yang harus dihadapi.

"Potensi perubahannya adalah semangat inklusi warga masyarakat Malang, " ungkap Kerta. Salah satu barometernya adalah progress Forum Malang Inklusi yang sejak satu tahun berdiri kini berjejaring dengan setidaknya 25 organisasi di Malang Raya termasuk organisasi-organisasi pendidikan.

Masyarakat Malang sendiri sudah cukup baik merespon isu-isu difabilitas, hanya memerlukan kampanye yang lebih kompak dan berkelanjutan agar masyarakat tahu apa itu difabilitas setelah itu tahu yang harus dilakukan.

"Masyarakat juga telah melakukan apa yang semestinya menjadi kewajiban pemerintah," kata Kerta. Contohnya kasus Siti anak SD di dusun pelosok yang memperoleh dukungan alat bantu dari komunitas sosial. Juga kisah kepala sekolah SD inklusi dan para gurunya di Lawang yang rela iuran demi kelancaran proses belajar mengajar mensiasati sarana dan prasarana yang terbatas.

Terpisah mantan Kepala SDN 5 Inklusi Bedali di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, Suhada menyatakan harapan yang sama agar masyarakat sadar pendidikan inklusi. Tak hanya bagi orangtua dari anak difabel melainkan masyarakat luas.

"Sekolah kami menerima anak-anak difabel yang tidak diterima di sekolah lain atau yang dikeluarkan karena dianggap nakal," kata Suhada yang kini menjabat di sekolah umum lain. Ia mengungkap di sekolah-sekolah umum para guru belum paham jika ada anak autis, berhambatan belajar, sulit konsentrasi dan lainnya sehingga dianggap nakal dan dikeluarkan dari sekolah.

Di sekolah inklusi kami yang menampung anak-anak itu sekaligus yang mendapat predikat sekolah buangan dari masyarakat, kata Suhada prihatin. Padahal jika semua menolak anak nakal apa jadinya fungsi sekolah dan hakikat pendidikan?

Terkait kendala, Suhada memaparkan kurangnya guru pendamping khusus, minimnya sarana dan prasana, seperti belum adanya laboratorium dan ruang terapi.

"Namun alhamdulillah para gurunya semangat, sebisa mungkin memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada. Jika perlu guru iuran yang penting kegiatan belajar mengajar berjalan lancar, " pungkas Suhada optimis.

Senada disampaikan orangtua murid, Saiman di Gunung Tumpuk salah satu dusun terpelosok di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Anak perempuannya dengan difabel fisik yang bernama Siti belajar di sekolah dasar reguler. Saiman bersyukur anaknya dapat bersekolah secara layak seperti anak lainnya sekalipun tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai.

"Gurunya baik, dulu putri saya tangannya kaku sulit nulis tapi akhirnya bisa nulis karena tiap pagi dipijat-pijat oleh ibu gurunya, " kisah Saiman.

Lebih lanjut Saiman mengisahkan, Siti setiap hari berangkat sekolah menggunakan kursi roda yang didorong ibunya. Jalannya naik turun karena perbukitan sehingga memerlukan bantuan dorong agar bisa sampai lokasi.

Sebelum punya kursi roda selama lebih empat tahun putri pak Saiman pulang dan pergi sekolah digendong ibunya sejauh 2 km. Siti memperoleh kursi roda dari swadaya masyarakat yang merespon positif semangat keluarga sederhana tersebut berjuang untuk pendidikan anaknya.

Dalam kesempatan yang sama, salah satu guru di sekolah Siti membenarkan upayanya yang setiap hari memberikan terapi pada anak didiknya.

"Saya tak punya latar belakang pendidikan khusus, guru biasa tapi terpanggil untuk dapat menjadikan Siti mampu menulis seperti anak-anak lainnya, " ujarnya.

Ia juga berharap adanya pelatihan khusus penanganan anak difabel bagi guru-guru di sekolah reguler.

Ini sangat bermanfaat utamanya bagi guru anak-anak difabel didaerah terpencil yang jauh dari SLB dan sekolah inklusi, pungkasnya. (Ken)

The subscriber's email address.