Lompat ke isi utama
gambar Sinta saat berfoto dengan mengenakan seragam sekolah

Sinta Al Qirul Wati, Dukungan Keluarga Membuatnya Peroleh Hak Pendidikan

Oleh : Safrina  R

 

Solider.or.id, Yogyakarta – perjuangan seorang difabel untuk menempuh pendidikan memang unik. Lain orang pasti akan lain ceritanya. Sistem pendidikan serta belum banyaknya ketersediaan tenaga pendidik yang mampu dan faham menangani anak difabel membuatnya menarik untuk disimak. Salah satunya Sinta Al  Qirul  Wati, ia adalah difabel lambat belajar yang tak lelah berjuang menempuh jalur pendidikan formal.

“Besok  aku  kuliah  di mana ya?”  Tanya Sinta  Al  Qirul  Wati pelajar  di  suatu  SMK  di  daerah  Bantul  Yogyakarta,  kepada  kakaknya. Tri  Murniati  Sang  kakak  pun  tak  bisa  menjawab  kemana  Sinta  akan  berkuliah?  Akankah  dia  berkuliah?  Sementara,  perjuangan  sampai  detik  ini  belun  juga  berhenti.  Tri  Murni  kerapkali  dipanggil  oleh  pihak  sekolah  adiknya  setiap  kali  ahkir  semester  tiba. Fihak sekolah selalu berkoordinasi dengan sang kakak untuk menanyakan beberapa hal seperti bagaimana  memberikan  pembelajaran kepada  Sinta,  bagaimana mengevaluasinya, dan sebagainya,’ 

Beberapa hal tersebutlah yang menyebabkan Tri  Murni  harus terus berkomunikasi dengan sang guru untuk  menjelaskan   terkait  kondisi  Sinta.

Sinta adalah putri  keempat dari Wadjiman.  Diakui oleh  sang  kakak,  Sinta  memiliki  kondisi  yang berbeda dengan yang lain meskipun  secara  fisik  tidak  menunjukkan perbedaan.  Sinta  menempuh  jenjang Sekolah  Dasar  selama  sembilan  tahun. “Ibarat  satu materi yang  biasanya  dihabiskan  selama  satu  tahun  pada  anak-anak lain,  Sinta  membutuhkan dua  tahun. Jadinya, bila  tahun  ini  dia  naik  kelas,  tahun  depan  dia tinggal  kelas. Tahun  depannya  lagi  baru naik,  dan  begitu  seterusnya,’’ jelas  Tri  Murni,  kakak  Sinta  yang  sempat  menjadi  staf  Sigab dan  aktif  di kegiatan difabel.  

Selanjutnya,  dulu  sewaktu    Tri  Murni  masih  berstatus    mahasiswa PLB UNY.  Tri  Murni  pernah  mengajak  Sinta  untuk  cek  di  laboratorium  Pendidikan Luar  Biasa (PLB) UNY,  dari  pengecekan  itulah Sinta  dinyatakan  sebagai  Slowleaner  atau  lambat  belajar. 

PLB  UNY  merupakan  tempat  mendidik calon  guru  anak  berkebutuhan khusus (ABK),  di  dalam  PLB  ada  laboratorium yang  biasa  digunakan  mendiagnosis  apakah anak tersebut  merupakan  ABK  atau  bukan,  dan  hasilnya  Sinta  termasuk ABK. 

Hal  tersebut  sungguh  mengejutkan, sekaligus  cambuk bagi  sang  kakak  untuk  memberikan pelayanan  kepada  adiknya  sesuai  yang  dipelajarinya  di kampus  selama ini. Sengaja  Tri  Murni tetap  membiarkan  Sinta  bersekolah di  sekolah  umum  dengan  alasan agar  tetap bersosialisasi  seperti  umumnya  anak biasa. 

Meskipun  Tri  Murni  menyadari kondisi  Sinta  berdampak  pula  pada  aspek  sosialnya,  di  lingkungan  Sinta  telah  distigma sebagai  anak  bodoh,  lambat,  dan  lain  sebagainya.  Sinta  sendiri,  diakui  oleh  Tri  Murni, lebih  mudah  bergaul  dengan  teman-teman  dibawah  usianya.

Melihat  kenyataan  seperti  itu,  Tri  Murni  tidak  tinggal  diam.  Ia punya  cara  unik  agar  Sinta  tetap direngkuh sebagai teman oleh teman-temannya,  terutama  teman  sekolah  Sinta,  karena  itulah  yang  dibutuhkan Sinta. 

Tri  Murni berusaha  berbaur  dengan  teman-teman  Sinta  di sekolah:  ia ke sekolah  Sinta  berkenalan dengan teman – teman Sinta, meminta nomor hpnya, dan selalu berinteraksi dengan teman-temannya. Ia sering bercanda dengan teman-teman Sinta. “Kebetulan,  di antara  mereka  ada yang  rumahnya dekat, kami  bertetangga, dia  suka  cerita tentang Sinta di sekolah. “saya selalu meminta agar Sinta dibantu apa bila mengalami kesulitan di sekolah”. tutur Tri Murni.

Akhirnya, tahun  ke  sembilan  di SD,  Sinta dinyatakan lulus. Tri  Murni  pun  terkejut  dengan  kelulusan  Sinta,  seperti  itulah  yang  dirasakan  Kakak  difabel lambat  belajar, “Ternyata Sinta  bisa’’ ujar Murni. 

  Sebagai  kakak  perempuan  satu-satunya, dan yang tahu tentang difabel, Tri  Murni  pun  membantu    mencarikan  sekolah  Sinta.  Ia memasukkan  Sinta  ke  SMP  Negeri  2  Sewon.  SMP  tersebut  memang  sudah  inklusi,  akan  tetapi,  dikarenakan secara  fisik  Sinta  tidak  mengalami  perbedaan  seperti  halnya  difabel  lainnya, maka  saat  awal sekolah, kelas  VII  Sinta  belum dinyatakan  sebagai  siswa  difabel. 

Keadaan  tersebut  menjadikan  Sinta  kesulitan  dan   tidak  naik  kelas  dari kelas VII  ke kelas  VIII.  Lalu,  pihak sekolah mengundang  Tri  Murni  untuk  diajak  berunding. Dari perbincangan yang dilakukan sang kakak dengan fihak sekolah, akhirnya fihak sekolah faham bahwa Sinta termasuk siswa difabel.   

Sebagai siswa  difabel,  Sinta  mendapatkan  haknya  untuk  didampingi  oleh  Guru  Pendamping  Khusus  (GPK).  Beruntung, Sinta  selain  mempunyai  kakak  yang  mengerti dan  mau  memperjuangkan haknya,  Sinta  pun  memiliki  GPK yang gigih memperjuangkannya. Hal  itu  diungkapkan  oleh  Tri  Murni, “Sebagai  murid  inklusi,  Sinta tidak  bisa  mengikuti  Ujian  Nasional  (UN).  Jadi, kemungkinan  Sinta  tidak  dapat  ijazah  seperti yang  lain.  Untung,  GPKnya  mau  memperjuangkannya,  dia  mengatakan  Sinta  itu   bisa.  Ya,  Alhamdulillah  lulus.’’

Selanjutnya,  seusai  lulus  dari  SMP  inklusi,  Sinta  pun  melanjutkan ke jenjang  lebih  tinggi.  Jenjang  lebih  tinggi berarti  tantangannya pun  lebih  besar,  secara  akademik.    Oleh karena itu,  Tri Murni  berusaha  mencarikan  sekolah  yang  mengedepankan  keterampilan yaitu  SMK.

Pada saat Sinta hendak masuk ke SMK, SMK yang  inklusi  baru ada  satu,  SMK 1  Kasihan  Bantul—Sekolah Menengah Kesenian (SMKI). “Padahal, Sinta tidak  ada minat dan keterampilan di  bidang seni.  Ya sudah,  cari  SMK  lainnya,  yang  ada  memasak ataupun yang  lain,’’ ucap  Tri  Murni.

Dia  tidak  lagi  peduli  apakah  SMK  lain inklusi,  atau  tidak. Dengan  bekal  harapan sekolah  memahami  peraturan  daerah yang mengharuskan sekolah  menerima  ABK.  Meskipun  kenyataannya sekolah belum dapat  menerima.

Tri  Murni  pun  langsung  menyiapkan  dokumen-dokumen  yang  menyatakan  Sinta  berkebutuhan khusus  atau siswa  inklusi,  salah satunya  keterangan dari sekola asal yaitu SMP Negeri 1 Sewon. Hal  itu  ia  lakukan guna  mengajukan surat  rekomendasi  dinas  pendidikan provinsi. “Tapi  ternyata, wewenang  SMK  ada  di kabupaten saat  itu.  Ia  pun  langsung ke  dinas  pendidikan  Bantul.  Saat  itu  sekretarisnya  bertanya  apa yang  bisa dibantu? Tri Murni  langsung  bilang:  “saya  ingin  meminta  surat sakti dari  kepala dinas agar  adik saya bisa  diterima  di SMK”. Ahkirnya, secarik memo tulisan tangan  dari kepala dinas kepada bagian Tata Usaha. “Kemudian surat resmi   ketikan dari  pak  kepala  dinas  langsung dibuatkan,  tidak harus  menunggu besok, saya  pun langsung  ke  SMK  yang kami tuju”.

“Alhamdulillah,  ahkirnya  Sinta  pun  diterima  di SMK  Negeri 1  Sewon.  Memang setiapkali  ahkir semester, saya  diundangan  wali  kelasnya. Kami  berdiskusi  terkait  perkembangan  Sinta  yang  tidak  ada  GPKnya,  namun  saya  bersyukur,  Wali  kelas  Sinta  baik, sekolah  melakukan beberapa  improfisasi pembelajaran terhadap Sinta. Hal  yang  paling penting juga adalah teman-teman  Sinta  baik dan sayang  kepadanya,’’ lanjut  Tri  Murni. 

Sinta merupakan satu dari sekian banyak difabel yang telah mendapatkan haknya untuk dapat mengakses pendidikan formal. dukungan kakak dan keluarga sangat membantu Sinta dalam memperoleh haknya sebagai siswa dan mendapatkan akomodasi yang layak di sekolah. Sinta beruntung karena memiliki keluarga yang aware, sementara masih banyak difabel lain yang tidak mendapatkan haknya dibidang pendidikan karena ketiadaan dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk keluarga.

The subscriber's email address.