Lompat ke isi utama
beberapa orang difabel sedang belajar bahasa Ingris di program ELTA

Sekilas Tentang ELTA, Program Pelatihan Bahasa Inggris yang Terbuka Untuk Difabel

Solider.or.id – Denpasar, sebagai salah seorang penerima beasiswa untuk mengikuti program ELTA (English Language Training Assistance) dari pemerintah Australia yang diselenggarakan di IALF Bali (Indonesia Australia Language Foundation), saya berkesempatan berbincang dengan beberapa pihak yang berperan penting dalam terlaksananya program ini.

Sekedar informasi, ELTA merupakan sebuah pelatihan bahasa inggris secara intensif yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin melamar beasiswa Australia Award Scholarship, namun belum memiliki kemampuan bahasa inggris yang memadai. Sebelumnya, program ini hanya diselenggarakan di beberapa daerah yang menjadi fokus pengembangan pemerintah Australia seperti Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Sejak tahun 2016, Program ini mulai memberi kesempatan bagi difabel untuk menjadi pesertanya. Bahkan menurut Agung Sudiani (Coordinator Program ELTA Seluruh Indonesia) mengungkapkan bahwa tahun depan, program ini akan mencoba melibatkan para tokoh adat yang selama ini terpinggirkan dalam hal pendidikan.

Tahun 2017, jumlah pelamar ELTA sebanyak 1583 orang, namun hanya 132 yang lulus mengikuti Training. Dari 132 peserta tersebut, 7 diantaranya merupakan difabel (3 difabel netra mengikuti Training di Denpasar, 3 difabel daksa mengikuti Training di Mataram, dan 1 lowvision mengikuti Training di Kupang). Pada akhir Program, semua peserta akan mengikuti test IELTS resmi, yang hasilnya kelak bisa digunakan untuk melamar beasiswa Australia Award Scholarship 2018.

Jika kita mengamati program ini, ternyata masih ada kelompok difabel yang belum terjangkau (difabel Tuli). Baik tahun 2016 maupun 2017, belum ada satu pun difabel tuli yang pernah menjadi peserta. Saya pun mencoba menanyakan hal tersebut pada Coordinator program.

“memang betul, selama program ELTA ini berlangsung, kami belum pernah menerima peserta tuli. Bukannya kami melakukan diskriminasi, tetapi kami betul-betul belum siap menerima peserta tuli. Sebelumnya kami telah berkonsultasi dengan beberapa lembaga difabel di Jakarta, namun tak ada satu pun yang memiliki strategi yang pasti tentang bagaimana meningkatkan kemampuan berbahasa inggris bagi Tuli.” Jelas Ani.

Ani melanjutkan, “kedepannya, kami akan terus berusaha agar bagaimana program ini bisa diikuti oleh semua difabel, tanpa terkecuali tuli. kami siap berdiskusi dengan siapa saja, untuk membantu kami dalam mengatasi masalah tersebut.”

Fasilitas Saat Mengikuti Training

Sebelum mengikuti program, khusus peserta difabel netra, diadakan minggu orientasi (Orientation Week), program ini berisi pengenalan lokasi Training pada difabel netra, serta asessment mengenai hal-hal apa yang sekiranya dapat memudahkan difabel netra saat mengikuti proses pembelajaran yang di desain menjadi kelas inklusif.

Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa alat bantu yang dipinjamkan kepada peserta difabel netra saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa diantaranya adalah sebuah laptop yang telah diinstal jaws, sebuah Flashdisk dan headset. Di perpustakaan IALF juga tersedia beberapa komputer bicara, sebuah scan, dan sebuah magnifyer. tak cukup sampai disitu, semua materi pembelajaran yang disajikan dalam bentuk file, sehingga lebih mudah untuk diakses oleh difabel netra. Tim ELTA juga setiap hari berupaya men-scan buku-buku yang relevan dengan materi pembelajaran.

Tim Pengajar

Ada 12 orang peserta yang mengikuti training ELTA 2017 di Denpasar, sembilan orang diantaranya merupakan peserta nondifabel. Ke-12 peserta tersebut dilatih oleh 4 orang trainer yang semuanya berlatar belakang pendidikan bahasa inggris. Menarik kemudian setelah saya mengetahui bahwa mereka sebelumnya belum pernah menangani kelas inklusif di tempat lain, selain di IALF.

“Sebenarnya, ini untuk kedua kalinya saya mengajar di kelas inklusif. Tahun 2016, saya juga menjadi trainer ELTA, dan saat itu ada 5 orang difabel netra yang menjadi pesertanya. Saat itu, saya merasa tegang juga, apalagi, saya sama sekali baru pertama kali mengajar siswa difabel. Tetapi, proses pembelajaran mengajarkan saya banyak hal, utamanya bagaimana cara memvisualisasikan sebuah objek pada difabel netra.” Cerita Erida (43), salah seorang trainer.

Wanita asal Aceh tersebut melanjutkan, kadang ia harus membuat alat peraga untuk lebih memudahkan difabel netra pada objek yang menjadi bahan pembelajaran. “saya pernah membuat sebuah grafik dalam bentuk timbul, karena difabel netra yang saya ajar sama sekali tidak punya gambaran apa itu grafik. Sementara kurikulum mengharuskan semua peserta harus bisa membaca grafik”.

Cerita lain datang dari Nurul (29). Wanita asal Papua ini mengatakan cukup termotivasi melihat semangat difabel dalam belajar. “Bahkan, dalam beberapa hal, peserta difabel itu lebih unggul dari peserta nondifabel.” Nurul menambahkan, dari pengalaman menangani kelas inklusif tersebut, ia akhirnya belajar, bahwa kedifabilitasan seseorang bukanlah penghalang untuk memperoleh pengetahuan.

***

Tentunya, program ELTA ini masih akan berlanjut di tahun 2018. Maka dari itu, bagi difabel yang tertarik untuk melamar beasiswa AAS (Australia Award Scholarship), namun masih belum memiliki kemampuan bahasa inggris yang diperlukan, sangat dianjurkan untuk mengikuti program ini.

Saya juga sempat mewawancarai salah seorang alumni ELTA 2016. Dia adalah Fandi Dawenan (lowvision). Ia mengatakan bahwa program ini sangat membantu dirinya, utamanya dalam meningkatkan kemampuan bahasa inggrisnya. Jika tak ada aral melintang, Fandi akan menuju Australia awal 2018, melanjutkan pendidikannya di negeri Kanguru. (Ramadhan Sharro)

The subscriber's email address.