Istilah Difabel Lebih Berpihak dan Egaliter
Solider.or.id, Malang - Menarik ketika berdiskusi dengan salah satu pendiri Difabel Motorcycle Indonesia (DMI) Malang. Slamet Riyadi beberapa hari lalu di kediamannya. Ia berpendapat bahwa istilah difabel lebih menempatkan orang dengan kebutuhan khusus kedalam harkat dan martabat yang setara dengan masyarakat lainnya.
"Istilah difabel itu lebih manusiawi dan berpihak daripada disabilitas apalagi cacat," kata Slamet Riyadi, Minggu (5/11) silam di Kepanjen Kabupaten Malang. Secara perundangan benar istilah penyandang disabilitas mengganti istilah sebelumnya yaitu cacat.
Disabilitas artinya keterbatasan, paparnya. Artinya seseorang mengalami keterbatasan partisipasi karena hambatan fisik maupun mental. Sedangkan cacat artinya kerusakan. Apa iya sih ciptaan Tuhan terlahir dalam keadaan rusak? Bukan salah Tuhan mencipta, namun lingkungan sosial yang belum mengakomodir kebutuhan masyarakat difabel.
"Kalau difabel maksudnya different people abillity," ujarnya terpatah-patah dengan logat Jawa yang medok mengucapkan istilah bahasa inggris. Atau orang dengan kemampuan yang berbeda. Contohnya saya sendiri, dulu disebut orang cacat tapi nyatanya mampu bekerja dan mandiri. Sementara orang yang disebut dan dianggap normal atau tidak cacat ada banyak yang menganggur.
"Saya lulusan SD, tapi karena niat dan semangat belajar bisa memperbaiki berbagai peralatan elektronik," ungkapnya.
Slamet juga aktif berorganisasi, tak hanya dI DMI Malang, pria berusia 62 tahun ini juga aktif di Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Di Malang sudah biasa satu orang difabel menjadi anggota lebih dari satu organisasi. Tak ketinggalan istri Slamet yang juga difabel, keduanya aktif berorganisasi.
Disela kesibukannya sebagai teknisi elektronik, Slamet rajin berkunjung ke anggota perkumpulan yang baru.
"Supaya orang-orang baru tidak lagi canggung dalam kehidupan organisasi," kata istri Slamet, Nanik Safitri.
Menurutnya proses untuk memahami difabel sebagai subyek yang memiliki kemampuan dan bukan hanya keterbatasan dimulai dari rasa percaya diri. Untuk itulah ia melalui organisasinya OPD kerap mengadakan acara-acara kopdar atau kopi darat.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Kelompok Kerja Disabilitas Lingkar Sosial, Widi Sugiarti mengatakan hal yang sama bahwa istilah difabel lebih familier.
"Secara perundangan ya penyandang disabilitas, namun dalam keseharian lebih nyaman dan egaliter atau mengandung persamaan derajat dengan sebutan difabel," tutur Widi.
Dalam kelompok kerja, kata Widi, setiap anggota adalah murid sekaligus guru. Artinya sama-sama belajar. Saling asah, saling asuh dan saling asih. Konsep difabel sebagai individu yang berkemampuan yang berbeda benar-benar diterapkan dalam kelompok kerja.
"Melalui bagi tugas sesuai kemampuan masing-masing," rinci Widi. Misal dalam bidang kerajinan tangan, satu produk bisa dikerjakan beberapa orang. Ada yang memotong, ada yang menjahit pakai mesin, Ada pula yang menjahit pakai tangan. Juga bagian penasaran, promosikan produk di media sosial hingga cari order job.
Lebih lanjut Widi mencontohkan peran anggotanya. Namanya Rumbawani, perempuan tuli yang dikenal aktif meski usia sudah sekitar 56 tahun. Ia yang tak terhambat dalam urusan mobilitas membantu suaminya yang juga tuli memasarkan produk keset.
Rumbawani memasarkan keset melalui kelompok kerja sehingga mengalami peningkatan order. Kontribusi baliknya suami Rumbawani mengajarkan ilmu membuat keset ke anggota kelompok kerja.
Contoh lainnya Evi, perempuan difabel polio ini paling terampil dalam kelompok kerja menjahit. Ketika ada job menjahit baju seragam misalnya, ia sebagai leader (Pemimpin) yang berperan membagi tugas ke anggota, ada yang mengukur, memotong, menjahit, mengobras, membordir dan sebagainya.
"Sekali lagi konsep difabel sebagai different people abillity atau orang dengan kemampuan yang berbeda benar-benar mampu membangun mental dan semangat," tegas Widi. Membentuk mindset (pola berfiikir) anggota bahwa kami berkemampuan bukan disabilitas atau berketerbatasan.
Dalam pandangan lainnya, warga Belimbing Kota Malang, Putri yang mengalami kesulitan bicara sejak lahir merasa lebih nyaman disebut difabel. Namun harus fleksibel ketika orang memanggil dengan istilah lainnya.
"Masih ada yang menyebut cacat atau tidak normal," kata Putri. Memang tidak nyaman namun tidak bisa menjadi alasan untuk minder. Semenetara, yang perlu dilakukan adalah sosialisasi tentang difabilitas, agar orang mengerti dan sadar bahwa kita adalah bagian dari lingkungan yang memiliki hak sama sebagai warga negara.
Pentingnya Sosialisasi untuk Membangun Paradigma Masyarakat
Koordinator Forum Malang Inklusi (FOMI) Kertaning Tyas dalam hal ini berpendapat bahwa istilah untuk menyebut warga berkebutuhan khusus memang masih beragam dengan berbagai makna dan tujuan.
"Hal penting yang harus dilakukan adalah sosialisasi berkelanjutan untuk membangun paradigma positif masyarakat terhadap difabel," tutur Kerta.
Menurutnya sosialisasi bukan hanya tugas pemerintah melainkan semua pihak, termasuk organisasi difabel khususnya.
Menilik berbagai sumber, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu (Moeliono, 1989). Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.
Penyandang Disabilitas menurut Pasal 1 UU No 8 Tahun 2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Sedangkan difabel merupakan kata bahasa Indonesia dari serapan bahasa Inggris different people are: merupakan konsep yang menyatakan bahwa manusia itu berbeda dan able: yang berarti dapat, bisa, sanggup, mampu (Echols & Shadily, 1976).
Menurut WHO (1980) ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap.
Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia.
Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal (Sholeh, 2014).
Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura pada tahun 1981 yang diselenggarakan oleh International Federation of The Blind (IFB) dan World Council for the Welfare of The Blind (WCWB), istilah “diffabled” diperkenalkan, yang kemudian diindonesiakan menjadi “difabel”.
Istilah “diffabled” sendiri merupakan akronim dari “differently abled” dan kata bendanya adalah diffability yang merupakan akronim dari different ability yang dipromosikan oleh orang-orang yang tidak menyukai istilah “disabled” dan “disability”.
Di samping lebih ramah, istilah “difabel” lebih egaliter dan memiliki keberpihakan, karena different ability berarti “memiliki kemampuan yang berbeda”. Tidak saja mereka yang memiliki ketunaan yang “memiliki kemampuan yang berbeda”, tetapi juga mereka yang tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan yang berbeda (Sholeh, 2014).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa difabel adalah suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. (Ken)