Lompat ke isi utama
Pementasan Anal-anak PA Bina Siwi, Bantul, dalam Jambore Difabel Istimewa 2017, yang dilangsungkan dii Kampoeng Mataraman, Sabtu (11/11/2017).

Disbud DIY Kembali Gelar Jambore Difabel Istimewa 2017

Solider.or.id.Bantul. Jambore Difabel Istimewa rupanya benar menjadi agenda tahunan bagi Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Disbud DIY). Setelah penyelenggaraan pada tahun 2016, pada tahun ini Jambore Difabel Istimewa 2017 kembali digelar. Jika pada tahun sebelumnya mengusung tema pembangunan inklusi di tingkat provinsi, maka Jambore Difabel Istimewa 2017 mengusung tema “Mewujudkan Desa Inklusi Berbasis Budaya”.Acara dilangsungkan di Kampoeng Mataraman,Ring Road Selatan No.93, Glugo, Panggungharjo, Sewon, Yogyakarta, Sabtu (11/11/2017).

Pembangunan inklusi di tingkat desa berbasis budaya menjadi perhatian Disbud, yang diwujudkan dalam gelar jambore inklusif pula. Tidak hanya melibatkan masyarakat difabel, namun juga nondifabel.

Jambore  diawali dengan pementasan dari anak-anak Panti Asuhan (PA) Bina Siwi-Bantul yang memainkan musik angklung, dikombinasikan dengan alat musik lainnya. Ada juga Tali Kasih (TAKA) Production, dan Diffcom (Diffabel and Friends Community) Yogyakarta.

Adapun agenda inti pada jambore hari pertama itu berupa Talkshow,bersama Kepala Dinas Kebudayaan Drs. Umar Priyono, M.Pd., Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi, S.Farm., dan Umi Masruroh Perwakilan Lembaga SAPDA, dengan moderator Sri Hartaning Sih, pegiat isu difabilitas.

Konsep sosial inklusi lebih banyak dibahas oleh Umi Masruroh pada talkshow-nya. Umi juga memaparkan bahwa erat hubungan antara budaya dan difabel. Praktik-praktik advokasi berbasis budaya telah dilakukan oleh lembaga SAPDA. Abdi dalem polowijan di keraton Yogyakarta menjadi salah satu yang dicontohkannya.

Berlaku adil sejak dalam pikiran

Adapun bagaimana praktik dan pengalaman menerapkan konsep pembangunan inklusif menjadi materi pembahasan Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi. Seorang kepala desa yang memimpin Desa Panggungharjo dengan visi kemandirian dan berkesadaran lingkungan, desa inklusif dan raman anak, yang melihat warganya dengan kaca mata hak.

Menerima siapapun warga apa adanya, tidak membedakan satu sama lain. Dan menyediakan aksesibilitas bagi warganya yang difabel menjadi tanggung jawab desa, sebagai representasii dari negara.

“Yang menggunakan kursi roda ya dibuatkan jalan miring (ramp) sehingga mereka bisa berjalan sebagaimana orang lain. Demikian juga dengan guiding block bagi difabel netra, serta kamar mandi akses. Karena setiap saat berinteraksi, maka kami jadi dapat memahami kebutuhan warga,” ungkap Yudi.

Bahkan saat ini Kepala Desa Pangungharjo tersebut tengah membangun arena bermain yang ramah difabel. Mendesain ayunan di mana pengguna kursi roda juga dapat menggunakannya, serta telaga desa aksesibel saat ini dalam proses penyelesaian.

“Berlaku adil sejak dalam pikiran,” menjadi filosofi Wahyudi Anggoro Hadi dalam memimpin desa.

Sementara Kepala Disbud DIY, Umar Priyono lebih banyak diberikan porsi untuk menyampaikan peran Pemerintah Daerah melalui Disbud dalam mengembangkan inklusivitas yang dimulai dari desa. Dia mengatakan bahwa difabel memiliki hak yang sama pada setiap tahap kehidupan. Adapun yang berkaitan dengan seni dan budaya menjadi ranah Disbud dalam pemenuhannya.

Menurut Umar, beberapa program telah dicanangkan Disbud DIY yang dapat mengakomodir hak-hak difabel. Selain jambore difabel, terdapat program Wajib Kunjung Museum (WKM).Program tersebut diperuntukkan bagi semua siswa tanpa kecuali siswa sekolah luar biasa. Dalam tiga tahun terkahir, pengunjung museum akan didampingi edukator (guide tour) yang dapat menjelaskan seluk-beluk terkait koleksi. Adapun program lainnya yakni: Jogja Gamelan Festival (JGF), dan Sanding Dalang 1000 Anak.

Kepedulian itu juga diwujudkan dengan pembangunan museum baru (eks gedung KONI) yang dilengkapi aksesibilitas fisik ramp, handrail, guiding block, serta kamar mandi akses. Bahkan, lanjut dia, tenaga edukator (tour guide) dibekali pula tata cara berinteraksi dengan difabel.” ungkapnya.

Dia berkeyakinan bahwa tidak ada yang tidak bisa diraih, ketika orang mau berusaha sungguh-sungguh, sebagaimana fiosofi Ronggo Warsito, “Tan ana panjangka tan bisa katampa [tidak ada keinginan yang tidak bisa terwujud].”(harta nining wijaya).

The subscriber's email address.