Nasiyem: Difabel Netra yang Diabaikan Hak Politiknya
Solider.or.id.Yogyakarta.Meski sudah ada regulasi yang mengatur tentang pemenuhan hak dan partisipasi kelompok masyarakat difabel dalam politik pemilihan umum (pemilu), namun dalam pelaksanaannya hak mereka masih saja terabaikan.
“Ngopo ming wong kaya ngono wae, kok arep melu pemilu. [Untuk apa orang begitu saja kok mau ikut dalam pemilu-red].” Nasiyem, difabel netra dari Gunung Kidul menyampaikan pengalamannya saat dirinya ditolak mengikuti pemilu oleh perangkat di desanya.
Ungkapan tersebut mengemuka dari seorang difabel netra bernama Nasiyem, saat sesi tanya jawab pada Talkshow “Pemilu sebagai Pembelajaran Demokrasi” yang dimotori KPPD DIY, di Gedung DPD RI, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Jumat (10/11/2017).
Keinginannya untuk memberikan suara dalam pemilu dihambat oleh perangkat di desanya. Hambatan lain yang dialaminya juga tidak adanya sosialisasi dan informasi tentang calon pemimpin yang harus dipilihnya. Berbagai hambatan berdampak pada bulatnya tekad Nasiyem tidak menggunakan hak politiknya memilih calon pemimpin dalam pemilu.
Ironis, ketika seorang pimpinan tidak memahami maksud dan makna pemilu. Dengan serta merta menutup hak warganya sendiri yang kebetulan terlahir sebagai seorang difabel netra. Memasung hak politik seorang Nasiyem dan difabel lain, sehingga selama ini belum sekalipun dapat menyalurkan aspirasinya sebagai warga negara dalam pemilu.
Kasus Nasiyem, hanyalah satu contoh kasus yang terjadi pada kelompok rentan, kelompok masyarakat yang dianggap termarjinalkan. Artinya, pendidikan atau edukasi tentang pemilu adalah hak setiap warga negara tanpa melihat perbedaan belum diserap oleh para pemimpin yang ada di daerah.
Kasus pengabaian identik dengan tindakan mendiskreditkan hak atau diskriminasi. Diskriminasi tecermin pada ketiadaan akses bagi kelompok masyarakat difabel, serta fasilitas yang disediakan penyelenggara pemilu.
Edukasi di tingkat bawah
Regulasi yang dibuat sesungguhnya sudah sangat mengakomodir kepentingan kelompok yang termarjinalkan, namun praktik dan implementasinya masih jauh dari harapan. Dalam Peraturan KPU nomor 10 tahun 2015 telah diatur tentang pendataan pemilih hingga proses pemungutan suara yang mengakomodir kelompok difiabel. Namun, fakta yang terjadi pada kasus Nasiyem, dirinya justru tidak didaftar karena difabel netra yang menyertainya.
Dibutuhkan kerja yang lebih keras lagi dari KPU dalam memaksimalkan perannya mengedukasi setiap lapisan masyarakat, yakni para penyelenggara pemilu di tingkat bawah. Bahwa mengakomodir kepentingan kelompok difabel dan masyarakat yang sering dianggap termarjinalkan lainnya sudah diatur dalam undang-undang kepemiluan.
Sebuah edukasi bahwa pemilu akses menjadi tanggung jawab perangkat sebagai representasi negara di daerah. Sehingga pemenuhan aksesibilitas menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu di manapun berada. Atau dengan kata lain memenuhi hak politik setiap warga negara, tanpa kecuali, merupakan tanggung jawab setiap penyelenggara pemilu di manapun berada. (harta niningg wijaya).