Kapan Saja Nondifabel Bisa Menjadi Difabel
Solider.or.id. Banjarnegara. Pada sesi pertama Lokakarya Perencanaan-Penganggaran Pembangunan Inklusi yang diadakan SIGAB (24-26/10), Marthella Rivera Roidatua, Staf Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat BAPPENAS, menutup sesi itu dengan sebuah pertanyaan jitu. Saat itu Marthella sedang mencoba menyimpulkan betapa pentingnya pengarusutamaan isu difabel kepada para perwakilan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dari Kabupaten Sleman dan Kulon Progo. Ia melempar pertanyaan kepada para peserta tentang apa sebetulnya pentingnya pengarusutamaan isu difabel dan pemenuhan hak-hak mereka.
“Menurut Bapak dan Ibu, mengapa pengarusutamaan isu difabel dan pemenuhan hak-haknya begitu penting? tanyanya sambil tersenyum.
Para peserta masih terdiam, mencoba mencari formulasi jawaban paling tepat. Seorang peserta mencoba mengacungkan tangan dan menjawab dengan menyatakan bahwa pengarusutamaan isu difabel dan pemenuhan hak difabel adalah bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Beberapa memberikan jawaban alternatif seperti menyatakan bahwa hal tersebut adalah kewajiban negara dalam melindungi segenap rakyatnya.
Marthella nampak masih belum begitu puas. Ia masih menunggu jawaban yang ia cari. Beberapa pancingan ia berikan dengan menanyakan berapa persentase masyarakat Indonesia yang menjadi difabel sejak lahir atau dari kecelakaan. Para peserta masih belum menangkap hal itu. Akhirnya, setelah memberikan apresiasi kepada para pemberi jawaban, Marthella memberikan jawaban sakti: “Karena kita semua di sini yang nondifabel berpotensi menjadi difabel. Itulah mengapa pengarusutamaan isu difabel dan pemenuhan hak-haknya menjadi penting,” ia lalu menutup sesi dan memberi salam.
Persentase jumlah difabel karena kecelakaan memang cukup besar di Indonesia. Vivi Yulaswati, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial BAPPENAS, dalam tulisannya di Jakarta Post yang berjudul Give equal opportunities to citizens with disabilities, menyatakan bahwa sekitar 76 persen difabel di Indonesia disebabkan karena penyakit dan kecelakaan. Jumlah itu terasa cukup tinggi.
Saya kemudian beralih ke sebuah kabar bencana badai yang melanda Banjarnegara, Rabu (08/11) siang. Hujan deras disertai angin kencang yang melanda Banjarnegara membuat beberapa pohon dan reklame tumbang. Bahkan, pohon beringin berdiameter 2 meter di Alun-alun Banjarnegara yang sudah berusia ratusan tahun ikut tumbang dan menimpa masyarakat yang sedang berteduh di bawahnya. Satu orang tewas dan sedikitnya tujuh orang harus dirawat. Dua diantaranya harus dirujuk ke Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas karena patah tulang. Bencana yang terjadi di Banjarnegara tersebut akhirnya punya potensi untuk menambah difabel baru di kota kecil ini.
Untung, Ketua Forum Komunikasi Difabel Banjarnegara, saya ajak berbincang mengenai kemungkinan itu. Menurutnya, semua orang nondifabel berpotensi menjadi difabel baik karena penyakit atau kecelakaan. Tapi ia malah menyoroti hal lain.
“Bukan masalah persentase potensi menjadi difabel. Yang saya perhatikan malah, banyak nondifabel yang tak menyadari ini,” ungkapnya.
Sama seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Marthella, Untung merasa bahwa kepekaan masyarakat nondifabel tentang kehidupan yang inklusi yang masih belum tinggi bisa jadi karena masyarakat nondifabel masih melihat difabel sebagai sebuah dimensi yang lain, dimensi berbeda dengan dimensi mereka sebagai masyarakat difabel. Mungkin dalam persepsi mereka, menurut Untung yang juga ketua NPC (National Paralympic Committee) Banjarnegara ini, potensi mereka untuk menjadi difabel itu tak sebesar data yang ada.
“Mereka menciptakan dimensi bersekat dengan jarak yang tak dekat. Jadi mereka mungkin saja menganggap bahwa nondifabel yang menjadi difabel itu potensinya tak besar. Padahal, kapan pun, nondifabel bisa saja menjadi difabel, entah karena kecelakaan atau yang lainnya,” ia menjelaskan.
Itulah yang menurut Untung bisa jadi menjadi penyebab kepekaan terhadap hak difabel masih belum tinggi di Indonesia. Para nondifabel masih merasa berada di area yang tak sama dengan difabel. Mungkin tidak terpikirkan bagi mereka bahwa nondifabel yang menjadi difabel itu potensinya sangat besar dan bisa terjadi dimana saja.
Padahal, menurutnya, jika saja mereka bisa memahami bahwa setiap nondifabel punya kemungkinan besar untuk menjadi difabel, ia menduga bahwa diskriminasi yang terjadi terhadap difabel tidak akan setinggi sekarang.
“Artinya masyarakat yang nondifabel akan mengeliminir dimensi yang memisahkan mereka dengan difabel dengan cara menyadari bahwa mereka kapan pun bisa menjadi difabel,” jelasnya.
Ia pun sangat berharap sudut pandang seperti itu juga dirasakan oleh para penentu kebijakan dari tingkat pusat sampai daerah.
“Bayangkan, jika para pemimpin dari mulai presiden sampai kepala desa menyadari bahwa mereka kapan pun bisa menjadi difabel, saya rasa mereka akan punya sudut pandang yang sportif terhadap dfabel serta menyadari bahwa pemenuhan hak difabel itu wajib untuk dihadirkan,” tutupnya. (Yuhda)