Lompat ke isi utama
salah satu armada bus TransJogja sedang melintas di Jalan Bantul Yogyakarta

Kepala UPT Trans Jogja Akui Buruknya Aksesibilitas Shelter dan Armada Bus

Solider.or.id.Yogyakarta. Kepala UPT Trans Jogja, Maryoto, mengakui bahwa aksesibilitas pada sebagian besar shelter atau halte dan armada bus Trans Jogja masih jauh dari harapan difabel. Hal tersebut disampaikannya pada Konferensi Pers yang digelar oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Difabel Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Angkringan KOBAR, Jalan Atmosukarto, Kotabaru, Yogyakarta, Kamis (9/11/2017).

Namun demikian, Maryoto yang baru menjabat sebagai Kepala UPT Trans Jogja pada Maret 2017 itu, mengatakan sudah dan akan terus berupaya menyediakan aksesibilitas sebagaimana kebutuhan penumpang difabel.

Upaya penyediaan aksesibiltas yang sesuai standar atau ketentuan, mulai diupayakan pada tiga shelter yang berada di sepanjang pedestrian Malioboro. Pada tiga shelter tersebut, ramp dan handrail yang dipasang sudah sesuai dengan standar, yakni tidak terlalu curam dengan perbandingan 1 : 14 meter.

Mengingat terbatasnya anggaran yang dimiliki UPT Trans Jogja, Maryoto meminta masukan terkait halte mana saja yang sering dipergunakan oleh difabel. Halte-halte tersebut akan menjadi prioritas utama dalam penyediaan aksesibilitas sebagaimana standar dan kebutuhan para penumpang difabel.

Maryoto juga menyambut baik masukan kritis yang disampaikan oleh pengguna jasa (penumpang) Bus Trans Jogja, Ajiwan Arif Hendradi seorang difabel low vision.

Harapan atas ketersediaan aksesibiltas fisik dan nonfisik pada moda transportasi umum bus Trans Jogja akan menjadi prioritas, terutama pada titik-titik yang sering digunakan oleh difabel.

Disfungsi areal shelter

Menanggapi jauhnya jarak halte dan bus saat berhenti yakni 40-50 centi meter yang seharusnya 10-15 cm, Maryoto mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya aktivitas lain di sekitar shelter. Aktivitas lain yang dimaksud ialah, dipergunakannya areal sekitar shelter berjualan dan parkir saat menjelang sore hari.

“Ada disfungsi areal sekitar shleter Bus Trans Jogja saat sore hari tiba.Yakni di sekitar shelter, dipenuhi oleh aktivitas orang berjualan dan parkir. Pokok permasalahannya pada orang yang berjualan, akibatnya bisa tidak bisa merapat dengan shelter sebagaimana mestinya,” ungkap Maryoto.

Sedangkan terkait larangan petugas pada shelter di bandara, UPT Trans Jogja dan Dinas Perhubungan berada di luar otoritas bandara. Untuk itu dibutuhkan kerja sama lanjutan dengan Komite Difabel DIY untuk bersama-sama mengkonformasi perihal tersebut.

Selanjutnya terkait masukan Ajiwan tentang kurang aware-nya pertugas bus, terutama pengemudi yang mengemudi kurang memperhatikan keselamatan penumpang, hal tersebut akan disampaikannya dalam pembinaan yang dilakukan pada setiap akhir bulan. Kepala UPT Trans Jogja tersebut berharap kehadiran Komite Hak difabel DIY atau perwakilan difabel untuk dapat hadir pada pembinaan yang dilakukan pada tiap akhir bulan. Informasi yang disampaikan langsung oleh difabel sebagai pengguna jasa yang dilakukan rutin, diyakininya akan memberikan dampak positif terhadap perubahan sikap dan pemberian layanan petugas bus Trans Jogja.

“Kehadiran difabel atau perwakilan Komite Difabel DIY pada apel pembinaan, dapat juga digunakan untuk mendiskusikan kebutuhan terkait sarana dan prasarana yang aksesibel bagi kawan-kawan difabel,” Maryoto meyampaikan gagasan.

Terakhir, terkait tidak berfungsinya informasi audio dan video lebih pada ada tidaknya signal pada wilayah-wilayah tertentu. Namun demikian kondisi tersebut akan menjadi perhatian guna perbaikan pemberian layanan atas bus Trans Jogja. Pengelola Bus Trans Jogja tersebut mentargetkan tahun 2018, akan menjadi tahun aksesibilitas sarana prasarana shleter, armada dan petugas aksesibel bagi difabel.

“Target, pada tahun 2018 aksesibilitas baik fisik maupun nonfisik harus sudah dipenuhi,”  Maryoto mengakhiri tanggapannya. (harta nining wijaya).

 

The subscriber's email address.