Lompat ke isi utama
suasana sosialisasi difabel pada studi Tour di UIN

Studi Tour: Sebuah alternatif Memahamkan Difabilitas Kepada Siswa

Solider.or.id, Yogyakarta. Studi Tour bagi siswa-siswi, khsususnya dari luar wilayah Jogja tentu sudah menjadi agenda  di yang diselenggarakan setiap tahunnya. Namun hal berbeda yang dilakukan oleh sekelompok siswa-siswi dari SMP 1 Irsyaadul’ibaad, Lampung Timur.

Selain studi tour pada umumnya, berwisata ke tempat bersejarah macam candi Borobudur, ataupun Taman Pintar, siswa-siswi tersebut juga berkunjung ke Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga. Lantas apa yang dilakukan siswa-siswi tersebut bersama PLD?

Dalam kunjungan siswa-siswi tersebut diberikan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan fasilitator para mahasiswa difabel dan relawan PLD. Melalui pembagian kelompok, mereka diajari mulai dari beretika ketika berhadapan dengan difabel, mengenal bahasa isyarat, dan lain sebagainya.

Al Qomar selaku kepala sekolah, mengutarakan maksud kunjungan sekolahnya yang membawa  92 muridnya itu, untuk mensosialisasikan lebih dini tentang bagaimana memahami difabel. Hal itu tentu melalui interaksi langsung, agar menambah pengetahuan dan pengalaman dari materi-materi yang disampaikan pihak PLD kepada siswa-siswi.

Qomar menjelaskan, jika murid-muridnya belum pernah berinteraksi langsung dengan kaum difabel, terutama di lingkungan sekolah. Sehingga dengan adanya pertemuan tersebut, untuk memberikan pandangan baru bagaimana memahami kemanusiaan, secara lebih luas. Meski, di satu sisi juga memberikan wawasan baru kepada siswa-siswi supaya memiliki visi kedepan.

“Wisata pengetahuan dan pengalaman ini yang akan terus menempel di pola pikir mereka,” tuturnya kepada Solider di saat jeda acara pada Senin sore (6/11).

Seperti halnya pengalaman Qomar ketika masih menjadi mahasiswa di kampus yang dijuluki pelopor “kampus inklusi”. Kujungan itu juga membawa ingatan Qomar saat turut serta berpartisipasi menjadi relawan di PLD. Sebelum akhirnya lulus dan menjadi alumni. Pengalam berinteraksinya hingga kini, yang ia aplikasikan di sekolahnya. Ia mengaku pengalamannya selama beinteraksi dengan kawan-kawan difabel semasa kuliah, terus tertanam dalam pola pikirnya.

Ia teringat ketika suatu waktu dan untuk pertama kalinya menyaksikan penampilan memukau dari teman-teman difabel di atas panggung di sebuah acara yang diselenggarakan kampus. Kekaguman tersebut yang kemudian menarik minatnya untuk bergabung menjadi relawan yang waktu itu masih bernama Pusat Studi Layanan Difabel (PSLD).

“ saya kira kunjungan ini bukan kebnetulan, tapi memang by design,” lanjut alumni fakultas Dakwah itu.

Qomar berharap dari kunjungan tersebut dapat megubah pola pikir yang selama ini telah mendiskriminasi difabel, khususnya di wilayah pendidikan. Hal tersebut merupakan upaya untuk membiasakan siswa-siswi menghargai perbedaan. Sehingga meminimalisir tindakan diksriminatif yang sering terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya. “Semisal Bullying, memandang cacat, tidak mampu dan lain sebagainya,” pungkasnya.

Tidak hanya untuk murid-muridnya, bagi Qomar kunjungan tersebut juga menjadi pembelajaran untuk instansi sekolahnya dalam mendidik siswa-siswi difabel kedepan. Ia mengaku sekolahnya belum menerima siswa-siswi difabel, shingga kunjungan tersebut menjadi modal pengetahuan untuk pihak sekolahnya ketika sudah mulai menerima perseta didik difabel.

Studi Tour, praktik baik yang harus dicontoh

Abdullah Fikri selaku perwakilan dari PLD menyambut baik kunjungan tersebut. Baginya kunjungan studi tour merupakan strategi paling jitu bagaimana mensosialisasikan isu-isu difabel di wilayah pendidikan sejak dini, khususnya siswa-siswi mulai dari sekolah dasar, sampai sekolah Menengah Atas atau yang sederajat.

Menurut Fikri, ada beberapa poin yang bisa diambil dan menjadi catatan penting untuk bersama dari kunjungan tersebut. Pertama, sosialisasi terkait memahamkan difabilitas tidak berhenti. Secara tidak langsung, pengalaman yang didapat oleh kepala sekolah tentang inklusivitas yang turut serta memahamkan kepada kehidupan sosial, terus dipegang, dan diaplikasikan dalam instansi pendidikan. “Ditambah pak Qomar sebagai orang yang memiliki otoritas di sebuah sekolah,” tuturnya.

Kedua, memberikan pemahaman kepada siswa-siswi SMP tentang difabilitas sejak dini, tengah mengajarkan bagaimana memandang kemanusiaan. Selain mengenal istilah “Bhineka Tunggal Ika” yang sifatnya masih etnisitas, agama, dan ras. Menurutnya, hal yang penting lainnya adalah bagaimana memahamkan kaum-kaum yang selama ini termarjinalkan, khususnya difabel. “Apalagi SMP pak Qomar ini berangkat dari latar belakang islam. Sangat strategis”.

Ketiga, kunjungan yang dilakukan sekolah tersebut merupakan salah satu praktik baik yang mesti dicontoh oleh sekolah lain, khususnya bagi instansi pendidikan dengan latar belakang keislaman. Sehingga pendidikan keislaman seyogyanya mampu memberkian sudut pandang kepada murid yang lebih ramah terhadap difabel.

Lebih dari itu, Fikri mengusulkan akan lebih baik jika model studi tour tersebut dijadikan program akademik yang dilakukan secara terus-menerus. Dampak positifnya, siswa-siswi selain mendapat pendangan baru, juga memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosialnya.

Fikri mengatakan kunjungan yang ia sebut sebagai ‘wisata pengalaman dan pengetahuan’ tersebut setidaknya menjadi modal bagi siswa-siswi ketika kembali ke lingkungan sosialnya. “Jadi oleh-olehnya ya pengetahuan baru,” tambahnya.

Muhammad Ulil Abshor, salah satu murid mengaku belum pernah berinteraksi dengan difabel sebelumnya. Hal tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan baru, yang tentunya tidak ada di dalam daftar pelajaran sekolah.

“Awalnya tidak tahu bahasa isyarat. Tapi sekarang saya jadi bisa bilang i love you pakai bahasa isyarat,” tuturnya, sembari mepraktikan bahasa isyarat.[Robandi]

The subscriber's email address.