Cak Fu Mengolah Stigma Menjadi Kekuatan
Solider.or.id.Yogyakarta. Stigma atau dengan kata lain persepsi negatif. Persepsi atau pemikiran seseorang atau kelompok tentang individu atau kelompok lain terkait suatu keadaan, kehidupan maupun kegiatan. Hampir setiap hari kita menerima stigma. Bisa dari teman, tetangga, orang lewat atau bahkan dari keluarga dan orang tua kita sendiri. Stigma kerap kali mendiskreditkan sesorang atau kelompok, sehingga menghambat kehidupan, memenjarakan dan merampas kemerdekaan. Jarang yang mampu mengolah stigma menjadi sebuah kekuatan. Tak jarang, berarti ada yang mampu namun tidak banyak jumlahnya. Pada artikel kali ini, akan mengisahkan bagaimana seorang Cak Fu (42), mampu mengelola stigma menjadi sebuah kekuatan itu.
Stigma itu memang sudah mengakar, melilit satu sama lain. Terkadang stigma justru datang dari keluarga difabel itu sendiri. Bisa berupa over protected (perlindungan yang berlebihan), neglected (penolakan), juga rasa malu orangtua sehingga menyembunyikan anak-anak mereka yang difabel, sebaga misal.
Cak Fu, pria kelahiran 17 Agustus 1975 itu, memiliki latarbelakang terstigma. Namun demikian, Cak Fu mampu mengolah stigma menjadi kekuatan. Kekuatan yang menjadikan anak pertama dari tiga bersaudara itu menjadi sosok yang mengagumkan. Tumbuh dengan pribadi yang tangguh, tak kenal menyerah. Selalu bersekolah di sekolah umum. Gelar sarjana strata satu (S1) diraihnya di Fakultas Psikologi Universitas Darul Ulum Jombang.Pada tahun 1990, Cak Fu sudah aktif dengan gerakan kesetaraan hak bagi difabel. Cak Fu juga berhasil memperoleh beasiswa untuk menyelesaikan studi S2nya di Humanitarian Action, University of Groningen,Belanda. Saat ini tengah menyelesaikan studi S3nya di Department Sociology FISIP Universitas Indonesia.
Dia memiliki kepercayaan diri yang tinggi. “Bagaimana itu Cak?” Rasa penasaranku mewujud dalam sebuah pertanyaan, usai Cak Fu berkisah tentang kegagalannya.
Menurut Cak Fu, faktor orangtua yang sangat berperan. Meski orang tua sangat melindungi tapi tetap memberikan dukungan untuk berhasil. Cak Fu terlahir dari keluarga guru, yang paham tentang pendidikan. Kedua orangtuanya menerima kondisi anaknya dengan jujur, apa adanya. Orangtuanyalah yang mampu membangun kepercayaan dirinya. Bapaknya meninggal di saat usia Cak Fu 28 tahun, yaitu pada tahun 2003. DI situlah titik balik yang membuat Cak Fu merasa harus bertanggungjawab menggantikan posisi sang ayah.
Adapun sang ibu yang saat ini berusia 62 tahun, termasuk orang yang berprinsip kuat, teguh dengan pendiriannya. Sang ibu ingin merubah cara pandang masyarakat. Dia tidak ingin putranya dihina. Ibunya membuktikan pada orang-orang bahwa, benar putranya mampu menjadi orang.
Bagi seorang ibu, melahirkan anak difabel tentu perjuangannya sangat berat. Jujur saja, keluarga dan masyarakat masih menganggap kedifabilitasan itu sebagai aib. Bahkan saat aku dikuliahkan, ibuku pernah diejek keluarga. “Ngapain sih anak cacat disekolahkan tinggi-tinggi? Kamu kok sok kaya!” Cak Fu mengenang pertanyaan menyakitkan yang ditujukan pada ibunya tentang dirinya.
Perjalanan hidup dengan stigma dan diskriminasi yang mewarnai, meneguhkan niat Cak Fu berjuang untuk sesama didfabel. Pria yang saat ini berprofesi sebagai konsultan disabilitas di beberapa lembaga international dan lembaga negara itu mengatakan sedang merintis organisasi.Namanya AUDISI (Advokasi untuk Disabilitas Inklusi).Sebuah organisasi yang konsen pada advokasi hak difabel.
Tulus ikhlas mencintai
Next, dibalik getir, kegagalan, stigma, berbagai tantangan, ada banyak bahagia mewarnai hari-hari Cak Fu dengan keluarga kecilnya. Bagi Cak Fu, kebagian orang-orang yang dicintai adalah segalanya. Dalam segala kondisi yang menyertai, menemani putri kecilnya yang bernama Ayesha menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Bermain-main, bercanda dengan keluarga terlebih putri kecilnya merupakan moment indah yang tidak ingin dilewatkannya. Mengangkat dengan kedua tanganya, mengayun-ayunkannya di udara selayak orang tua lain pun dilakukannya. Hingga menemani Ayesha bermain layang-layang. Itu saat-saat seru yang membahagiakan bagi keluarga kecil itu.
Dan kisah haru menyentuh kalbu pun dikisahkan sore itu. Putrinya sempat menolak ayahnya menghadiri acara wisudanya. Putrinya yang lulus dari Taman Kanak-kanak berdalih malu, jika teman-temannya melihat sang ayah yang berjalan dengan kursi roda. Hal tersebut membuat Ayesha menolak ayahnya menghadiri acara wisuda yang dilangsungkan di akhr minggu (Sabtu), bulan Mei 2016.
Sepenuh hati dituruti keinginan putrinya. Sedih, tapi demi putrinya bahagia, sedih itu tak seberapa berartinya. Begitu pikir Cak Fu.
Hari Kamis Ayesha memohon ayahnya tidak hadir pada wisudanya. Tapi entah kenapa, sepulang dari kantor di hari Jumat, dengan raut muka berseri Ayesha berkata, “Besok Ayah ikut wisuda ya, sudah didaftarkan bunda kok.”. “Serius? Ayesha gak malu? Nanti jalannya ayah dilihat dan ditertawakan teman-teman?” tanya Cak Fu pada putrinya. “Gak ayah, ikut saja ya,” rajuk Ayesha pada sang ayah.
Benar saja Sabtu pagi, bertiga mereka menghadiri wisuda Ayesha. Memang benar, semua mata tertuju pada Cak Fu. Teman-teman Ayesha memandangi Cak Fu sambil berbisik dan tertawa kecil melihat perbedaan yang ada. “Namun yang membanggakan dan mengharukan, Ayesha dengan cuek berjalan di depan saya dan istri,” kenang Cak Fu.
Usai diwisuda, Ayesha menuruni panggung lalu berlari membawa sekuntum bunga kertas, seraya menghampiri saya sambil memeluk dan berucap “Terimakasih Ayah.”
Sedih dan haru yang dibungkus dalam ketulusan demi membahagiakan orang-orang tercinta, ternyata berbuah nikmat yang teramat lezat.
Kedifabilitasan bagian keberagaman
Bagi Cak Fu, kedifabilitasan itu seharusnya dilihat sebagai sebuah realita. Sebagaimana dengan hidung pesek atau rambut pirang. Kedifabilitasan merupakan bagian keberagaman, kebesaran Sang Pencipta.
Hingga saat ini, masyarakat Indonesia tidak mendidik orang-orang difabel untuk menerima kedifabilitsannya sebagai sebuah realita. Mestinya, masyarakat yang harus ditata. Seperti halnya di negara-negara maju, di mana difabel dapat hidup setara.
Dari obrolan panjang dengan Cak Fu, ternyata ada sebuah cita-cita mulia yang hendak diperjuangkannya. Cak Fu ingin menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua elemen masyarakat, tentu saja masyarakat difabel, untuk berpartisipasi penuh di masyarakat.
Berbicara tentang difabel, realita dan hambatan, saya merasa perlu mengutip kata-kata seorang komedian, jurnalis, dan aktivis hak-hak difabel asal Australia, yakni mendiang Stella Young. Sepanjang hidupnya Stella menggunakan kursi roda dalam beraktivitas dan bermobilitas. Dia mengatakan, “Disabilitas saya ini terjadi bukan karena saya menggunakan kursi roda, tapi karena lingkungan yang lebih luas tidak memberi akses (pada saya).”
Semoga kita semua bisa belajar dari pengalaman hidup Cak Fu, demikian juga memaknai ungkapan Stella Young. Mengantarkan kita mengubah cara pandang tentang orang dengan difabilitas, sehingga terwujud kesetaraan hak sebagaimana harapan semua. (harta nining wijaya).