Cerebral Palsy, Perjuangan Orang Tua serta Upaya Terapi
Solider.or.id, Tuban - Kebutuhan seorang difabel dengan nondifabel tentulah berbeda, kalau difabel Cerebral Palsy tentu butuh Fisioterapy dan Okupasiterapy. Untuk melakukan fisioterapy secara berkesinambungan, perlu biaya yang tidak sedikit. ’’Hal itulah yang mendasari saya untuk tetap bekerja, tentu dengan izin suami ‘’ujar Widiarti, ibu dari Ufaira Nur Afifah gadis kecil Berusia 4,5 tahun difabel CP Spastic,ketika di konfirmasi via telepon.
Perang batin selalu dirasakan Widiarti, mana kala ia harus meninggalkan Faira untuk mengajar. Namun ia juga harus professional terhadap tugas dan tanggungjawabnya. “dulu Faira saya ajak ke sekolah saat saya mengajar, ada teman-teman yang bantu menjaga’’ujar Widiarty. Tapi sejak kepala sekolah ganti kebijakannya berubah. Saya tidak memunginkan lagi membawa Faira turut ke sekolah”.
Pengalaman yang hampir serupa dialami oleh Ana, ibunda dari Octa difabel CP campuran, ia harus berjuang demi pengobatan putranya. Hal ini karena obat-obatan yang harus dikonsumsi berharga mahal.
Sehari-hari, ia berjualan es untuk memenuhi kebutuhannya. Ia harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk keperluan pengobatan Octa yang harus menghabiskan biaya sekitar 3 juta rupiah untuk setiap bulannya. Hal ini terutama untuk pembiayaan fisioterapy dan pembiayaan membeli obat kejang setiap bulannya.
Ana bercerita awal mula kelahiran Octa yaitu terkena plasenta previa disaat usia kandungan tujuh bulan. “sering panas dan kejang sampai saat ini’’. Saat ini, Octa tinggal bersama ayahnya yang menikah lagi.
Sementara itu pengalaman lain dirasakan Ivana Kurniawati ibu dari dua anak kembar CP Kayla dan Naufal. Dia bercerita kalau kelahiran si kembar dulu premature 8 bulan. “berat badan sangat rendah 1,8 dan 1,9. Belum lagi bilirubinya tinggi sehingga tiap pagi harus dijemur dan perkembangannya lambat’’ujar ibu yang seorang PNS ini.
Ivana sudah mengusahakan untuk terapi bagi anaknya di Mojokerto, namun menurutnya hasilnya kurang optimal. Oleh karenanya, ia harus pergi ke Surabaya untuk melakukan terapi terhadap anaknya. Ivana melakukan hal ini saat sore hari usai pekerjaan di kantor selesai. Lagi-lagi profesionalisme menjadi tuntutan bagi Ivana sebagai PNS tapi sekaligus ia ingin mengusahakan yang optimal bagi anaknya.
“Alhamdulilah punya atasan dan rekan-rekan kerja yang pengertian’’ujar ibu asli Mojokerto ini.
Dia bercerita banyak hal yang harus dia dan suami korbankan agar anak kembarnya tetap bisa terapi sampai saat ini. Berjualan baju adalah salah satu contoh usaha yang ditempuh untuk terus dapat memberikan terapi yang optimal bagi si kembar. Meskipun dirinya seorang PNS, namun penghasilan yang ia dapatkan tidak cukup untuk membiayai terapi si kembar. Lebih-lebih, terapi tersebut tidak tercover oleh BPJS.
Fihaknya berharap kepada pemerintah agar kedepan lebih bisa memberikan pelayanan maksimal sekaligus memberikan jaminan kesehatan yang layak bagi difabel.
Beberapa penggal kisah diatas merupakan contoh perjuangan orang tua dan keluarga anak dengan Cerebral Palsy untuk terus mengusahakan yang terbaik untuk difabel CP. Terapi dan pengobatan yang terus berkesinambungan, membuat CP menjadi semakin optimal untuk hidup dan sangat memungkinkan untuk berpartisipasi aktif di masyarakat. ironisnya, kebutuhan CP untuk berobat dan menjalani terapi belum memiliki jaminan dari pemerintah. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan jaminan kesehatan bagi difabel, termasuk terapi bagi CP. (Fira Merenda Asa)