Braille dan Identitas Difabel Netra
Braille merupakan sebuah sistem tulisan bagi difabel netra untuk mengenal budaya baca tulis. 4 Januari 1809 merupakan hari kelahiran Louis Braille, penemu Braille, yang kemudian diperingati sebagai hari braille sedunia. Berkat penemuan Louis Braille, difabel netra di seluruh dunia dapat membaca dan menulis melalui sebuah sistem yang unik. Seperti halnya orang nondifabel, pembelajaran membaca dan menulis braille diajarkan pada seorang anak difabel netra sejak ia masuk usia sekolah.
Tulisan braille saat ini memiliki sejumlah tantangan. Kemudahan akses teknologi dan informasi membuatnya sedikit banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh sebagian difabel netra. Biaya produksi Braille yang relatif tinggi membuat sebagian penerbit dan penulis enggan mengkonversi hasil karya mereka ke dalam bentuk braille. Sebagai sarana aksesibilitas, mereka memberi solusi dengan membuatkan versi digital dan versi audio untuk sebuah pengetahuan pada difabel netra.
Sebagai sebuah sistem tulisan yang hingga detik ini masih dipergunakan difabel netra untuk menulis, braille masih dapat diandalkan dan memiliki sejumlah keunggulan jika dibandingkan dengan berbagai informasi digital. Sejumlah aktivis difabel netra masih beranggapan bahwa bagaimanapun braille tak dapat digantikan dengan sistem tulisan lain.
Presti Setiati, salah satu pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (DPW ITMI) Yogyakarta mengungkapkan bahwa budaya membaca buku Braille tetap tidak bisa tergantikan “Aktivitas membuka sampul buku, membuka halaman demi halaman, meraba tulisan. Sama halnya dengan orang nondifabel yang merasa tak akan tergantinkan dan lebih cenderung memilih membaca buku cetak dibandingkan dengan hanya membaca e-book,” ungkap Presti yan
“Saya dari kecil suka membaca, termasuk membaca buku braille, bahkan dahulu, saya tidak akan bisa tidur, sebelum membaca buku braille. Novel setebal apa pun biasanya bisa saya baca dengan cepat. Saya juga suka baca buku audio, tapi menurut saya, asyiknya tetap beda. Aktivitas membaca dan mendengar itu tetap berbeda. Saya lebih suka membaca daripada hanya sekedar mendengar,” ungkap Presti.
“Kalau buku braille kan jelas. Di pusat penerbitan braille kan dia pernah menerbitkan buku tentang resep masakan dan buku tentang panduan memasak. Nah untuk dipraktikkan, kan lebih enak sambil membaca, dibandingkan hanya mendengar melalui mp3 atau melalui pembaca layar” tambah aktivis perempuan ini.
“Masih banyak difabel netra yang bertempat tinggal di daerah pedesaan dan bahkan tidak dialiri listrik. Tentu mereka sangat membutuhkan asupan informasi yang hanya dapat diperoleh dari berbagai sumber berbentuk tulisan braille,” ungkap Wardi, salah satu difabel netra penjual pulsa di kawasan Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta.
Keterampilan membaca dan menulis huruf braille menjadi sangat penting bagi difabel netra. Braille sudah menjadi sistem tulisan yang universal yang sudah diakui di seluruh dunia. “Saya sangat prihatin kalau ada difabel netra yang dalam membaca dan menulis braille itu tidak lancar dan bahkan kurang familiar. Di beberapa negara maju, sudah terdapat tanda-tanda aksesibilitas untuk mengenal suatu ruangan atau untuk bernavigasi pada lift misalnya, kita harus tahu tentang tombol yang ada simbol braille. Bahkan lift buatan jepang itu, di luar lift terdapat tulisan braille untuk menandai lift sedang berada di lantai berapa” ungkap Hendro Sugiono Wibowo, salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (DPP ITMI).
Belajar Braille Menyimpan Kenangan yang Tak Terlupakan
Belajar membaca dan menulis huruf braille tentu merupakan kenangan yang tak terlupakan bagi beberapa difabel netra. Proses untuk dapat membaca dan menulis tentu bukan sesuatu yang mudah. Anung Tri Prastowo, guru SLB Nageri Sragen yang juga aktif di Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (DPD ITMI) Kota Yogyakarta mengungkapkan “Bagi saya, braille adalah sebuah gerbang. Saya jadi bisa komputer, bisa bermain keyboard itu ya dari braille. Waktu itu, pertama kali saya belajar huruf braille itu di SLB Ma’arif Muntilan. Awal mula saya belajar braille itu belum pakai reglate dan stylus,” ungkap Anung.
“Saya masih pakai semacam papan yang ada lubang-lubangnya dan dapat dimasuki paku-paku atau biasa disebut rekenplang. Pertama saya belajar bikin pola-polanya dulu. Bikin titik-titik penuh dan membedakan pola satu kotak dengan kotak yang lain. selanjutnya saya baru diperkenalkan dengan berbagai pola huruf dan mulai belajar menulis dengan mempergunakan reglate dan stylus”.
Tak jauh berbeda dengan Anung, Sandra, salah satu pengurus di Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia Kabupaten Bantul mengungkapkan bahwa tulisan braille itu adalah sebuah dasar baginya untuk mengenal dunia pendidikan. “Bahkan dulu waktu sekolah, saya sempat mengisi majalah dinding di sekolah dengan mempergunakan huruf braille. Bikin-bikin cerpen atau puisi yang bisa dinikmati oleh teman-teman yang lain”.
Keunikan huruf braille membuat banyak teman nondifabel sangat tertarik untuk belajar membaca dan menulis dengan huruf braille. Wawan Adi Handoko, salah satu guru SLB Wonogiri mengungkapkan “kadang-kadang tulisan braile itu bisa juga menjadi media untuk mendapatkan banyak teman waktu kita mulai sekolah di sekolah inklusi. Waktu saya SMA dulu, banyak teman yang sangat tertarik untuk belajar tulisan braille, mungkin mereka berfikir bahwa ini sangat unik dan merupakan sesuatu hal yang baru. Saya jadi banyak teman karena mereka tertarik ingin belajar tulisan braille,”
Braille merupakan sebuah sistem tulisan universal bagi difabel netra. Keberadaan braille di tengah kemudahan kemajuan teknologi masih sangat dibutuhkan untuk difabel netra. Pengalaman difabel netra “berinteraksi” tak dapat tergantikan dengan media apapun. Braille tetap akan lestari dan memiliki berbagai keunggulan tersendiri. Proses belajar membaca dan menulis braille merupakan sebuah kenangan yang tak terlupakan. Meskipun sulit, namun ketelatenan dan keuletan telah membuktikan bahwa banyak difabel netra telah menguasai keterampilan membaca dan menulis dengan huruf braille. (Ajiwan Arief)