Lompat ke isi utama

Tuli dan TOEFL Sebagai Syarat Kelulusan Meraih Gelar Sarjana

Solider.or.id.Yogyakarta. Bisa jadi benar tentang manfaat yang diharapkan dari kebijakan TOEFL (Test of English as a Foreign Language) sebagai syarat kelulusan atau meraih gelar sarjana. Yakni menguji kemampuan berbahasa Inggris melalui sistem pengujian yang telah diakui secara internasional. Hal tersebut berhubungan dengan jaminan kelancaran dalam proses belajar lanjut, maupun mengakses pekerjaan tertentu nantinya.

Beberapa universitas mensyarakatkan calon-calon lulusannya memiliki target skor TOEFL (listening, structure,reading) tertentu sebagai syarat kelulusan. Apabila mahasiswa belum mendapatkan target skor sebagaimana ketentuan, maka belum diperbolehkan mengikuti wisuda untuk mendapatkan ijazah akademik.

Tantangan bagi tuli

Tantangan baru muncul bagi mahasiswa tuli maupun universitas atas kebijakan penerapan TOEFL tersebut. Bagian listening, merupakan bagian yang tidak memungkinkan diterapkan terhadap mahasiswa dengan hambatan pendengaran (hearing impairment) yakni tuli total. Sehingga perlu adanya tindakan afirmatif dalam penyelenggaraan TOEFL.

Untuk mengetahui sejauh mana universitas mensiasati TOEFL bagi Tuli, beberapa kali Solider melakukan kunjungan dan tahapan wawancara dengan dua universitas negeri dan swasta di Yogyakarta. Dua universitas tersebut yakni, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN) dan UST Yogyakarta, yang memiliki mahasiswa Tuli yang  menempuh studi di sana.

TOEFL di UST Yogyakarta

Rektor UST Yogyakarta, DR. H. Pardimin, M.Pd.,kepada Solider pada pertengahan Mei 2017, mengatakan bahwa TOEFL diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi lulusan mahasiswanya.

“Agar lulusan kampus UST Yogyakarta memiliki kemampuan bahasa Inggris yang akan menunjang kelanjutan studi maupun kerja, maka TOEFL dipersyaratkan bagi semua mahasiswa. Terhitung mulai 2016, mahasiswa yang akan sidang skripsi disyaratkan memiliki skor TOEFL tertentu berkisar 400 - 450,” tandasnya.

Menanggapi implementasi TOEFL bagi mahasiswa Tuli di kampusnya, Pardimin mengatakan belum terpikir sebelumnya. Namun, sebagai pimpinan universitas dirinya menyerukan adanya tindakan afirmasi, yakni mengganti soal listening dengan jenis soal lainnya. Adapun persoalan teknik dalam penggantian soal diserahkannya kepada lembaga yang spesifik berwenang, yakni P3BI (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Bahasa Inggris).

Mengakomodir hambatan

Bagi UST Yogyakarta yang mulai memiliki mahasiswa Tuli, mulai berbenah dan bersiap diri mengakomodir hambatan mahasiswanya yang Tuli. Ditemui Solider di ruang kerjanya, Selasa (12/6) Direktur P3BI  G. Suharto mengatakan benar perlu adanya tindakan afirmasi atas kebijakan yang diterapkan di kampus kebangsaan dan kerakyatan tersebut.

Meniadakan listening namun mentranskrip dan mengubah menjadi tambahan dalam soal reading, atau betul-betul meniadakan listening akan menjadi beberapa alternatif. Hal ini masih akan menjadi pembahasan dengan pimpinan fakultas dan rektorat.

“Nilai kemanusiaan dalam hal ini menghargai mahasiswa tuli tuli total harus dilakukan,” ujarnya. Masalahnya lanjut dia, bagaimana penulisan dalam sertifikat TOEFL akan jadi pembahasan di kampus. Sementara ini sertifikat TOEFL harus menyertakan tiga skor pada bagian listening, structure dan reading.

Terobosan lain yang akan dilakukan (menunggu persetujuan) menurut G. Suharto, seluruh mahasiswa terlebih mahasiswa tuli, diberikan kesempatan mengikuti pelatihan bahasa Inggris selama satu bulan. Pelatihan akan membangun pemahaman pentingnya proses yang mengantarkan para mahasiswa menunjang keberhasilan.

TOEFL di UIN Sunan Kalijaga

Adapun bagi UIN Sunan Kalijaga melakukan afirmatif action bagi mahasiswa tuli, yakni dengan cara memodifikasi bagian listening dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga yang juga perintis berdirinya Pusat Layanan Difabel (PLD), Ro’fah Makin memaparkan bahwa TOEFL tetap diberlakukan sebagai persyaratan mahasiswa Tuli meraih gelar sarjana. Adapun praktik lapangan yang diterapkan, yakni meniadakan tahapan listening, dan menggantinya dengan reading.

“Tahapan listening ditiadakan, soal-soal listening ditranskrip menjadi soal reading. Elalui cara ini, nilai pada sertifikat tetap dengan tiga komponen penilaian, yakni listening, reading dan structure,” tuturnya.

Lebih lanjut Ro’fah mengatakan pada TOEFL tahun berikutnya akan menggunakan sistem yang dilaksanakan oleh berbagai perguruan tinggi di Kanada. Yakni meniadakan tahapan listening bagi Tuli. Sehingga Tuli hanya akan mengerjakan tahapan reading dan structure. Dengan sertifikat yang hanya akan mencantumkan dua komponen penilaian, yakni reading dan structure.

“Hal tersebut lebih bermartabat, tidak ada yang tersakiti, lebih manusiawi. Lebih jujur dan mengakomodir hambatan yang dihadapi Tuli,” ujar Ro’fah yang diamini Direktur PLD Arif Maftukhin,kepada Solider akhir Mei 2017.

The subscriber's email address.