Mewadahi Imajinasi Anak-anak dengan Lukisan
Solider.or.id, Sleman. Di bawah langit berwana saus tomat itu, dua orang memakai caping duduk di atas sebuah sampan yang mengapung mengikuti aliran sungai berwarna senja. Di tepian sungai, ada dua pohon yang sedikit doyong dengan daun hijau kekuning-kuningan tinggi menjulang, dan ditumbuhi rerumputan yang mengakar di bawah kedua pohon.
Gambaran tersebut berada dalam sebuah bingkai lukisan berjudul Senja di Samuderaku karya Irfantoro seorang anak retardasi mental. Karya lukisnya terpampang bersama 109 lukisan gabungan dengan para perupa ternama seperti Kartika Affandi. Karya lukis tersebut terkumpul dalam sebuah gelaran pameran seni rupa yang berlangsung selama tiga hari 27-29 Maret di aula Yayasan Satu Nama.
Selain karya lukis Irfantoro, berjejer pula sekira puluhan karya lukis anak-anak difabel. Seperti lukisan dengan judul cantiknya negeriku karya Rekawati, Pagi yang Indah karya Yanuar Aji, Buah karya Tata, dan lain sebagainya. Gelaran pameran puluhan seni lukis tersebut merupakan bagian dari serangkaian memperingati 19 tahun sudah yayasan Satu Nama berdiri.
“Dalam kesempatan ini, kami menyediakan ruang bagi anak-anak untuk mengekspresikan dirinya melalui lukisan” tutur indra Sanjaya salah satu relawan yayasan Satu Nama.
Karya lukis anak-anak yang tergabung tidak lepas dari kebersamaan dengan anak-anak yang mendapat undangan lainnya. Seperti anak-anak dari Komunitas Guyub Bocah 65 orang, Organisasi Difabel Mlati (ODM) 7 orang, dan Sekolah Tegar harapan 5 orang. “Jadi kita kumpulkan dalam satu waktu dan ruang yang sama untuk membuat lukisan-lukisan ini,” lanjutnya pada Rabu siang (29/3).
Prabu Ayunda Sora, staf departemen Penguatan Masyarakat yayasan Satu Nama menjelaskan adanya pameran sebagai media ekspresi, ingin mewadahi karya para seniman dan anak-anak dalam satu ruang bertema Bergembira, Melukis Bersama. Dalam ruang tersebut terdapat dua poin utama, memberikan hak anak untuk berekspresi dan inklusifitas dalam berkarya. Disamping dua poin tersebut bagian dari program besar pembangunan inklusi.
“Dengan menyediakan ruang seperti ini, sama hal kita menghargai karya lukis anak ini adalah upaya sedikitnya mendorong pembangunan yang inklusi,” tutur Prabu. Bagi Prabu, karya lukis anak merupakan representasi dari gambaran keinginan, pengalaman, cita-cita, harapan, dan ideal-ideal imajinasi lainnya yang ada dalam benak anak.
Sejak 2010 sudah ada konvensi hak anak, dan Indonesia meratifikasinya melalui Undang-undang hak anak. Di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak sudah ada pewacanaan untuk menyusun perencanaan pembangunan supaya ramah terhadap anak.
Kendati demikian, Prabu melihat bahwa kinerja pemenuhan hak anak belum begiu maksimal, terutama di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Walaupun SKPD pengampu ataupun unit SKPD sudah komitmen, belum menjamin kinerja satuan pemerintah tersebut akan lebih baik.
Menurut Prabu ada tiga persoalan yang menjadi tanggung jawab bersama, yaitu pemahaman terkait pemenuhan hak anak, performa ritme kerja untuk menyediakan kebutuhan anak, dan sinergitas antara masyarakat, pemerintah, komunitas, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). “Saya saya lihat sekarang, sinergitas ini hanya musiman,” tambahnya.[Robandi]