Zulfikar; Difabel yang Terampas Hak Pendidikannya
Zulfikar adalah seorang difabel Muscullar Dystrophy (MD) yang mengalami kelainan bawaan yang melibatkan kelemahan otot dan hilangnya jaringan otot, yang memburuk secara progresif dari waktu ke waktu. Lima tahun sebenarnya Zulfikar telah lulus dari sekolah menengah MTs. Kini ia tak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ijazah Zulfikar masih berada di MTs tempat ia belajar dahulu. Hambatan biaya menjadi salah satu penyebab ditahannya ijazah Zulfikar.
Sekian waktu menunggu, Zulfikar tidak pernah tahu kapan ijazah MTs nya bisa ditebus. Kepala Sekolah tempat dia belajar membebankan sejumlah uang dengan nilai yang tak masuk akal demi lembar ijazah yang semestinya adalah haknya.
Tertahan, hanya itu yang akhirnya Zulfikar fahami. Kertas berharga yang menjadi bagian dari lembar perjalanan pendidikannya sama sekali belum ia dapatkan.
Menjalani pendidikan dan menyelesaikan belajar di MTs Al-Wathoniyah, Bangetayu, Semarang telah membuat Zulfikar sebenaranya layak untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Semula, saat mendaftar ke sekolah tersebut, orangtua Zulfikar dijanjikan pendidikan gratis. Kepala sekolah yang tak lain adalah teman dekatnya menyarankan agar Zulfikar bersekolah di MTs. Al- Wathoniyah. Keluarga Zulfikar tak menyangka bahwa apa yang dijanjikan kepala sekolah tersebut tidak terbukti.
Sebelanrnya, Zulfikar sudah memiliki surat ketrangan tidak mampu dari tempat tinggalnya, selain itu, orang tua Zulfikar juga sudah mengajukan keringanan ke sekolah. “Kami sudah minta surat keterangan tidak mampu. Tapi setiap kali mengajukan ke tata usaha sekolah selalu diberi tagihan. Hal itu berlanjut hingga saat mau ujian saya kembali diberi tagihan. Dari kelas I hingga kelas III tagihannya semakin banyak.” Ansori, ayah Zulfikar memberi penjelasan.
“Tiap kali bertanya bagaimana cara agar bisa menebus ijazah putranya, Ansori selalu disodori tagihan. Nilai tagihan yang berjumlah 30 juta telah membuat Ansori putus asa” tutur Anwari menjelaskan.
Dibantu Komunitas Sahabat Difabel, Zulfikar mengadukan masalahnya pada Walikota Semarang. Menanggapi masalah tersebut, Hendi sebagai Walikota mempertemukan Kepala Sekolah, Kepala Dinas Pendidikan dan orangtua Zulfikar untuk menyelesaikan persoalan.
Namun sayangnya, Kepala Sekolah MTs. Al Wathoniyah, Sukasno, S.Pd, mengelak telah menahan ijazah dan menagihkan sejumlah uang pada orangtua Zulfikar. Dalam pengakuannya kepada Walikota, kepala sekolah justru mengatakan bahwa orangtua Zulfikar tidak melakukan komunikasi dengan pihak sekolah sehingga terjadi kesalahpahaman.
“Orangtua Zulfikar belum pernah menemui saya. Mungkin saat mau ambil ijazah orangtua murid tidak ketemu saya sehingga ada yang mengatakan tidak bisa bila persyaratan utamanya belum lunas. Namun setelah saya periksa ternyata Zulfikar belum pernah cap tiga jari sehingga ijazah tidak mungkin kami berikan. Jumlah tagihanpun tidak mencapai nilai jutaan. Hanya sejumlah Rp. 871.500.-“ papar Kepala sekolah.
Menanggapi kejadian ini, dalam pernyataannya Hendi mengatakan bahwa Pemkot memiliki beasiswa yang bisa diberikan, sehingga bila ada masalah kendala biaya bagi siswa yang tidak mampu Hendi berharap agar menyampaikan masalah untuk dibantu penyelesaiannya. Hal ini bisa dilakukan dengan diserahkan pada orangtua atau siswa agar persoalan keuangan tidak menghambat pendidikan mereka yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah.
Banyaknya sekolah swasta yang melakukan penyimpangan dengan penahanan ijazah membuat Hendi juga merasa gerah. “Saya rasa kalau sekolah negeri sudah berjalan sesuai dengan tata aturan dan ketentuan yang berlaku. Jadi apabila seseorang kesulitan mendapatkan hak untuk sekolah, maka akan dibantu oleh pemerintah. Tugas dinas pendidikan mensosialisasikan masalah ini pada kepala sekolah yang ada di kota Semarang, khususnya sekolah swasta sehingga kalau kedapatan ada siswa yang kesulitan secara ekonomi agar bisa segera berkoordinasi sehingga bisa kita bantu dengan APBD kota.” Hendi menegaskan.
Keadaan Zulfikar dan keluarga yang tergolong kelompok rentan mestinya menjadi tanggungjawab pemerintah untuk dapat mengakomodasi. Zulfikar yang seorang difabel, ayahnya yang seorang penjahit berskala kecil serta ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga tentu sangat keberatan jika dibebani dengan membayar biaya pendidikan yang sangat tinggi.
Zulfikar hanyalah salah satu contoh betapa pendidikan di negara ini masih dinilai cukup mahal. Masih banyak persoalan yang hampir serupa seperti yang dihadapi Zulfikar, sudah saatnya negara tak lagi abai dan bahkan acuh terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat kecil, anggaran pendidikan yang telah pemerintah alokasikan, mestinya digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan serupa kasus Zulfikar. (Yanti)