Ardi Kuswantoro, Antara Mimpi dan Nasihat Orangtua
Narasi tentang Seorang Tuli yang Ingin Mengembangkan Bahasa Isyarat
Oleh: Ramadhany Rahmi
“Besok Sabtu kamu bisa temani aku ke rumah Ardi? Aku, Mala, Kiki rencana ketemu orangtua Ardi untuk kasih surat Ardi lolos ke Jakarta”, kata Arief menggunakan bahasa isyarat. Aku langsung mengiyakan karena aku suka rumah Ardi. Rumahnya berada di kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo, 60-90 menit dari pusat kota Jogja ke arah barat.
Sabtu, 20 Juni 2015 tepat pukul 11.00 WIB Arief menjemputku dan kami bertemu Mala dan Kiki di daerah Tugu Jogja. Teriknya matahari saat kami sedang berpuasa terasa lebih panas dari hari biasanya. Namun, kami tetap senang berkendara bersama menuju rumah Ardi. Aku senang karena rumahnya sejuk dan mereka senang karena hendak bertemu sahabat mereka yang sudah lama tak jumpa.
Sesampainya di rumah Ardi, kami disambutnya dengan senyuman dan pelukan. Meskipun tangannya kotor karena sedang berkebun, aku tidak menolak dipeluknya seperti yang dia lakukan pada Arief, Kiki, dan Mala. Aku melihatnya terus tersenyum dan langsung mengajak kami berbincang. “Kamu cuci tangan dulu nanti kita ngobrol di dalam,” kataku mengisyaratkan pada Ardi.
Setelah solat zuhur, aku melihat Arief, Ardi, Kiki, dan Mala mengobrol cepat sekali menggunakan bahasa isyarat. Terlihat jelas mereka sudah lama tak bertemu, hingga aku terlewat kata isyarat dan aku meminta Ardi untuk mengulangnya. Maklum, aku baru dua setengah tahun mengenal bahasa isyarat. Kemudian Arief memberikan surat keterangan lolos pelatihan pembuatan kamus bahasa isyarat kepada Ardi. Ardi tersenyum sembari memegang kertas itu.
Sebelum dia serahkan kepada orangtuanya, Ardi bertanya apakah pelatihan itu gratis. Arief menjelaskan bahwa pelatihan tersebut sepenuhnya gratis. Selain itu panitia akan memberikan fasilitas akomodasi, transportasi, dan uang saku selama satu bulan selama mengikuti pelatihan di Universitas Indonesia.
“Bapak marah, aku tidak boleh ikut ini. Aku ingat dulu Bapak juga melarangku kuliah. Bapak senang kalau aku kerja di rumah saja seperti melukis, berjualan, beternak, dan berkebun. Bapak tidak suka melihat aku berkumpul dan ngobrol dengan teman Tuli. Bapak bilang percuma. Aku sedih dan iri melihat kalian bisa bermain bersama artinya kalian bisa belajar, kemampuan tambah, informasi banyak, dan senang. Aku pernah stres karena tidak ada teman ngobrol sampai aku merokok, pulang malam, dan aku pukul kaca. Aku ingin ikut acara ini karena aku sudah ikut tes, aku ingin jadi Tuli pintar seperti kalian”, ungkap Ardi dengan bahasa isyarat. Ekspresi memudahkanku mengartikan bahasanya.
Kami semua menghela nafas dan hanya bisa merespon, “Sabar, tapi orangtuamu sayang kamu.”
***
Ardi mengajak kami berjalan-jalan melihat pemandangan alam di sekitar rumahnya. Kami sampai di puncak Suroloyo dan melihat candi Borobudur di bawah pandangan kami. Sungguh teduh pemandangan yang kami lihat namun miris saat Ardi kembali bercerita.
“Dulu kalau aku stres aku kesini biar tenang. Pemandangannya bagus. Aku tahu orangtuaku sayang, tapi aku sedih aku harus bagaimana? Karena aku tidak ingin di rumah tetap. Aku ingin aku mengenal dunia luar tapi aku bingung kalau aku tidak di rumah, siapa yang akan mengurus ibuku kalau ibuku sudah tua?”, ujar Ardi.
Lelaki kelahiran tahun 1989 ini sudah tidak menangis saat dia bercerita. Dulu dia bersekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta bersama dengan sahabatnya yang Tuli, Arief. Sudah dua kali Ardi hendak mendaftar kuliah tetapi tidak disetujui orangtuanya. Bakatnya melukis didukung ibunya untuk mencari nafkah dengan melukis. Selain itu, di ruma Ardi beternak ayam dan kambing, menjual makananan ayam, berkebun, dan menjual susu kambing. Terkadang dia membantu ibunya untuk menerima pesanan dekorasi pernikahan.
Ardi mengaku menikmati kegiatan hariannya itu di rumah meskipun sering merasa kesepian karena Ardi ingin keluar dari rumah mencari ilmu dan bercengkrama dengan sesama Tuli pengguna bahasa isyarat.
Sebelum berpamitan pulang, aku bertemu dengan ibunya dan menjelaskan ulang mengenai surat yang kami bawa. “Aku senang Ardi bisa lolos, boleh ikut saja. Nggak usah pikir omongan Bapak tadi”, kata ibu Ardi.
Kemudian kami berpamitan pulang setelah berbuka puasa bersama di warung mie ayam sebelah rumah Ardi.
Kamis, 23 Juli 2015 aku mendapat telepon dari bapak Ardi yang menanyakan mengenai pelatihan yang akan diikuti Ardi. Setelah itu, kami mendapat kabar bahwa Ardi diizinkan mengikuti pelatihan. Senin malam, 27 Juli 2015 kami bertemu dengan Ardi diantar oleh orangtuanya ke Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Ini kali pertama Ardi menggunakan pesawat dan kali pertama baginya mengikuti pelatihan di luar kota. Aku melihat telepon genggamnya baru dan dia langsung memelukku saat bertemu.
“Dulu Ardi juga aktif di Deaf Art Community, tapi Ardi jadi sering pulang malam soalnya kegiatannya sering di Jogja kan rumah kami jauh di Kulon Progo. Apalagi dulu Ardi pernah pulang ke rumah habis dipukulin orang. Kami keluarga kaget banget dan merasa nggak terima. Sejak itu kami memang memaksa Ardi untuk bekerja di rumah saja,” ungkap bapak Ardi.
“Waktu aku tahu Ardi Tuli umur empat tahun, aku langsung mengajarkan dia hidup mandiri. Tak suruh dia mandi sendiri, makan sendiri, sampai sekolah aku masukin dia ke asrama. Biar dia bisa hidup mandiri walaupun dia Tuli. Aku menjadikannya petani dan pelukis saja soalnya aku lihat dia bakat. Kalo mimpi yang tinggi-tinggi boleh saja tapi kalau ada kesempatan di depan mata ya harus segera diambil. Yang aku pikirkan kalau dia sudah menikah biar dia siap hidup mandiri karena nggak mungkin orangtua akan terus menemani dia. Nggak mungkin juga kalau terus mengandalkan adiknya,” cerita ibu Ardi.
Sebelum bapak Ardi menelponku, kami berpikir kalau orangtua Ardi tidak mengizinkan Ardi mengikuti pelatihan. Malam kami di bandara bertemu dengan orangtua Ardi, kami menyadari bahwa dibalik kerasnya orangtua Ardi mendidiknya, itu bertujuan yang terbaik untuk Ardi. Setelah Ardi check-in bersama Diki, Arief, Adhi, dan Alim, mereka kembali ke pintu masuk untuk berpamitan. Kami semua tersenyum dan melambaikan tangan melepas keberangkatan mereka.