Workshop Pembebasan Stigma Difabel: Bongkar Ideologi Kenormalan
Solider.or.id, Boyolali- Selama satu hari pada Sabtu (24/1/2015) peserta workshop diajak untuk berdiskusi mengenai ideologi kenormalan. Sapto Nugroho yang bertindak sebagai fasilitator dalam rangkaian kegiatan yang diselenggarakan di Asrama Brayat, Jalan Bido II No. 4A Cinderejo Kidul, Gilingan, Banjarsari, Surakarta pada 24-25 Januari 2015.
“Saya menjadi difabel sejak 2007, sampai saat ini tidak tahu dan tidak ada masalah dengan istilah itu (difabel, disabilitas, cacat-red) sama saja. Yang paling penting saya bisa bebas berekspresi,” tutur salah satu peserta Heru Supriyanto saat mengawali diskusi dengan memberikan tanggapan awal dengan penggunaan terminology difabilitas.
Senada dengan Heru, ada beberapa peserta yang menyatakan penggunaan istilah bukan menjadi sebuah permasalahan. Umumnya mereka tidak mempermasalahkan istilah selama mereka masih bisa bebas berekspresi. Sementara sebagian peserta menyatakan terminology menjadi salah satu langkah afirmasi bagi difabel.
Difabel dan Disabel
Sementara Sapto menjelaskan mengenai apa itu “cacat” dan “normal”. Dia memaparkan bahwa di masyarakat ini terdapat pandangan mengenai “kenormalan”. Ia menjelaskan, ketika antara difabel dan no difabel terjadi interaksi sosial yang tidak wajar menjadikan terbentuknya asumsi. Asumsi-asumsi ini menyebabkan ketakutan dalam memandang pihak lain, difabel takut menghadapi no-difabel sebaliknya nondifabel takut menghadapi difabel.
Kemudian relasi “kenormalan” ini juga berefek pada munculnya permasalahan psikologis dan arogansi. Permasalahan psikologis ini masih mendera difabel yang menimbulkan kendala bagi diri difabel itu sendiri. Sementara arogansi yang terjadi pada kelompok “normal” menjadikan hambatan dalam mengakomodasi kebutuhan difabel. Hasilnya misalkan pada pembuatan bangunan yang tidak aksesibel.
Selain itu Sapto juga mengkritisi penggunaan istilah disabilitas dan difabel. Terminologi disabilitas bertumpu pada aspek medis, sementara difabel lebih banyak berlandaskan pada aspek sosial. Pegiat difabel senior ini menyerahkan sepenuhnya pada peserta untuk mengacu pada terminologi mana, asalkan mengetahui landasan penggunaannya.
Workshop yang berlangsung satu setengah hari ini diikuti oleh pegiat difabel dari beragam wilayah. Mengusung judul “Pembebasan Belenggu Difabel” kegiatan ini diselenggarakan bekerja sama dengan Yayasan Difabel Mandiri Indonesia (YDMI).