Safrina Rovasita: Berpikir di Luar Cara Orang Lain Berpikir
Mimpi-mimpi tidak begitu saja hadir dalam genggaman tangannya. Perjuangan panjang dengan berbagai ejekan, tatapan sinis, penolakan, bahkan diskriminasi ditanggapinya sebagai tantangan yang membuatnya tumbuh. Menghidupi Safrina menjadi pribadi yang kuat, mengantarkannya meraih satu persatu mimpi-mimpinya.
Solider.or.id,Yogyakarta-Saat ini, Safrina Rovasita adalah seorang guru honorer, mengajar di kelas tiga sekolah dasar Luar Biasa Yapenas Yogyakarta. Hanya satu kata kunci bagi Safrina “Aku harus berpikir di luar orang lain berpikir,” ungkapnya pada Solider di ruang kelasnya seusai jam mengajar selesai, Rabu (13/8/2014).
Sofrina Rosavita yang dipanggil Nina, adalah gadis bungsu dari empat bersaudara pasangan Suprapto (66) dan Masriyah (53). Seorang gadis Cerebral Palsy (CP), yang mengalami gangguan pada otot bicara, sehingga membuatnya terlihat sulit berbicara dan kurang jelas dipahami. Gangguan gerak motorik pada tangannya, berakibat sulit mengarahkan tangganya untuk menuliskan huruf-huruf dengan pensil di atas kertas.
Setelah menyelesaikan pendidikan di TK ABA selama dua tahun, Nina melanjutkan ke SLB Kalibayem Yogyakarta. Satu tahun dilaluinya di tingkat taman kanak-kanak (TK), jenjang SD dilaluinya selama tujuh tahun. Pada jenjang SD ini dirinya mulai mengalami diskriminasi. Tidak adanya assesment, membuat Nina dianggap sebagai anak CP yang juga mengalami retardasi mental
Di kelas tiga, Nina justru sering membaca buku- buku tetangganya yang kelas lima. Ia bisa mengikuti dengan baik, padahal di sekolahnya ia hanya diajari membaca “ba ba ba”, “bi bi bi” dan “bu bu bu”. Nina mulai protes, dan oleh sekolah diberi kesempatan dengan mencoba di kelas tiga dengan syarat. Syaratnya adalah, apabila bisa mengikuti maka boleh melanjutkan, jika tidak, vonis berlaku bahwa Nina adalah bocah CP yang juga MR. Selama tiga bulan masa percobaan dilaluinya, dan Nina mampu naik kelas empat, kelas lima hingga lulus SD.
Diskriminasi ditemuinya lagi ketika hendak melanjutkan ke sebuah SMP Negeri di Sleman, tanpa melihat nilai ujiannya, melihat tubuh Nina dan cara bicaranya yang beda dari yang lain, membuatnya ditolak. Kemudian dipilihnya SMP Negeri 2 Depok sebagai tempat mengenyam pendidikan di tingkat SMP.
Ungkapan Kasihan Yang Salah
Di SMP Negeri 2 Depok, Nina menemukan sosok kepala sekolah, Sujono, yang sudah berperspektif inklusi. Pak Sujono berkata, “ini adalah teman kalian, nama Safrina Rovasita, selama tiga tahun dia akan menjadi bagian aktivitas kalian di sekolah ini. Silahkan dieejek, karena dia sudah terbiasa diejek.” Nina cukup kaget, tapi dia sanggup menguasai diri.
Sujono juga mengatakan, “Sebagai kepala sekolah, saya tidak akan menerima siswa hanya karena kasihan. Kasihan adalah ungkapan yang salah, Nina diterima di SMP Negeri 2 Depok karena dia berprestasi.”
“Apa yang disampaikan kepala sekolah menguatkanku, karena prestasilah aku di terima di SMP 2 Depok, hal tersebut menguatkanku. Dan pengumuman kepala sekolah saat upacara bendera, membuat tak satupun teman di SMP yang meledekku, meski juga tidak banyak yang mau berteman dan dekat denganku, yang pada umumnya dilihat sebagai mahkluk aneh,” kenang Nina.
Hasil tes penerimaan SMA Negeri, di posisi urutan 361, sedangkan yang diterima adalah sampai dengan nomor urut 360, dengan selisih nilai 0,08. Sedih dirasakan Nina, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapinya. Akhirnya SMA Gadjah Mada menjadi tujuannya, sebuah sekolah swasta yang mudah dijangkau dengan bis kota menjadi salah satu alasan bagi Nina untuk memilihnya.
Nina menjadi siswa dengan nilai terbaik di sekolanya. Namun, dirinya gagal di ujian nasional (UAN). Nina yang CP dengan gerak tangan yang tidak bisa dikontrol membuatnya tidak mampu mengerjakan lembar jawab komputer (LJK) sebagaimana mestinya. Permohonan mendapatkan pendamping saat UAN tidak dikabulkan, meski dari hasil lembar soal yang dikerjakan Nina dengan nilai terbaik, tetapi Nina tidak sanggup memindahkan jawabannya di LJK dengan benar.
Tidak patah semangat, Nina pun menempuh paket C dengan memohon untuk diberikan pendamping untuk mengerjakan soal di lembar LJK, dan Nina lulus SMA dengan ijazah Paket C. Nilai rapotnya yang selalu bagus, membuat Nina diterima di perguruan tinggi dengan mudah sebelum dirinya dinyatakan lulus ketika itu. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) adalah PT yang dipilihnya. Nina memilih Jurusan Bahasa Indonesia sebagai pilihan utamanya, tetapi petugas pendaftaran memutuskan Nina untuk memilih Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) hanya dengan melihat fisik Nina yang CP, dan petugas menyarankan Nina untuk meminta ijin pada dosen untuk dapat menjadi mahasiswa di jurusan PLB.
Memaknai Diskriminasi dengan Positif
Walaupun diskriminasi selalu mengikuti setiap jengkal langkahnya, Nina berhasil menyelesaikan bangku kuliahnya hanya dalam waktu tiga setengah tahun, dengan IPK 3,25. Kampus menobatkannya sebagai mahasiswa tercepat yang lulus dari UNY Yogyakarta.
Setiap diskriminasi yang didapatkannya, dimaknainya dengan positif. “Jika pada umumnya orang akan putus asa karena didiskriminasi, saya mencoba berpikir berbeda dengan orang lain. Sehingga saya mampu melewati segala diskriminasi dan menjadikannya sebagai tantangan yang harus dilalui dengan baik,” ungkap Nina memaknai kisah hidupnya.
Satu demi satu diraihnya mimpi-mimpinya, di antaranya mimpinya sebagai guru, penulis, hingga mimpinya melanjutkan studi di jenjang S2 pun juga tercapai. Saat ini Nina tercatat sebagai mahasiswa S2 di sebuah perguruan tinggi inklusif di Yogyakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta.
Mereka Bicara tentang Nina
Tri Rukmana, salah seorang guru di SLB Yapenas mengatakan, “Bu Nina yang hebat, dapat memotivasi anak-anak didiknya, baik yang CP maupun difabilitas lainnya. Bu Nina juga memberikan motivasi bagi bagi orang tua siswa, dan rekan-rekan mengajarnya,” ungkapanya.
Sedangkan Marjani, M.Pd, sebagai kepala sekolah merasa bangga dapat memberikan kesempatan mengajar pada Nina. “Bu Nina adalah guru yang penuh semangat, selalu bekerja dengan baik, menyelesaikan tugas-tugas administrasi mengajar dengan baik pula, dan benar bahwa bu Nina mampu memberikan motivasi bagi kami semua sebagai rekan dan atasannya,” tutur Marjani.